Hidupku sedang ironis hari-hari ini. Mencium wangi aroma bunga tanjung dan cempaka sepanjang berjalanan bersepeda pagi ini, mengayuh di udara pagi yang segar di tengah musim semi kota ini, bukannya aku menikmati semuanya tetapi pikiranku melayang ke kota yang kutinggali 18 tahun lalu. Mengendarai sepeda "baruku", yakni sepeda asyik yang beratnya sangat ideal, tidak mengurangi kesedihanku. Ya, sepeda bekas yang baru kubeli minggu lalu, beratnya hanya 31 pound alias tidak terlalu ringan sehingga melayang bila ditiup angin 50 km sejam, tidak terlalu berat untuk mendaki jalanan yang paling curam pun di Toronto. Yach, kalau saja aku tidak perlu berkwatir akan nasib yang tengah melanda ibuku, adikku, semua kerabat dan sahabatku di Betawi, tentulah aku akan dapat menikmati semua karunia-Nya itu dan hati akan tersenyum, wajah bergembira. Belum dapat kulupakan keluhan ibuku ketika kutelepon minggu lalu, "Paling sedih ... (menyebut nickname-ku di keluarga) pas Mamie keluar di hari Minggu (17 Mei) ngeliat dimana-mana dipasang tanda, 'milik pribumi','milik muslim'," katanya. Seumur hidup ia tidak pernah melihat Jakarta, kota kelahirannya, menjadi lebih gawat dari pada masa Perang Dunia II :-(. Katanya lagi, "Jaman Jepang memang anak perempuan harus hati-hati, takut diperkosa, tetapi tidak ada yang masuk ke rumah dan merampok, memperkosa, membunuh, membakar. Paling sial, pagar rumah (yang dari besi) harus dicabut dan diganti dengan pagar kayu karena Jepang membutuhkannya." Litani kesedihannya tak berkesudahan, sampai hari ini :-(.
Memang sungguh hidup bak di surgawi rasanya mengayuh di jalan yang lenggang tanpa adanya bangkai mobil bergulingan di tengah jalan, tanpa hati harus ketakutan, tidak tahu apakah esok hari kita masih akan selamat. Pertanyaan mengapa, 'why', tentu tak akan berkesudahan dan tidak menjawab persoalan. Lalu saya teringat kepada pekerjaanku di kantor saat-saat ini. Mungkin seharusnya tayangan LB ini diberi judul Lamunan Seorang Programmer XXV, tetapi saya sedang tidak berminat meneruskan tayangan LSP satu itu. Saya sedang mengubah program-program baik yang pernah kutulis maupun yang ditulis orang lain, berpuluh, beratus, agar supaya ia dapat di-convert ke dalam bahasa programming yang sedang 'in'; tak salah lagi, Java. Konon sekarang ini, bila Anda bekerja di bidang IT dan kekurangan dana, majukan atau masukkan kata 'Java' ke dalam fungsi proyek usulan itu, dijamin dananya akan segera turun dan proyek Anda akan langsung tinggal landas.
Nah, bahasa programming Java yang diciptakan oleh imigran Amrik dari Kanada, James Gosling, memang bahasa yang dibuat sederhana agar dapat dipakai oleh "orang kebanyakan". Selain tidak ada apa yang namanya 'pointer manipulation' yang dapat membuat program menjadi sangat kompleks, Java juga tidak mengenal instruki 'GOTO'. Busyet busyet rasanya mengubah beberapa logika programku :-) maupun program orang lain yang berisi 'GOTO'. Bila Anda tidak mengerti soal programming, instruksi itu banyak dipakai dan dibutuhkan programmer jaman baheula, yang menulis di dalam bahasa mesin atau 'assembly language', untuk mempercepat processing. Maklum komputer jaman dulu serba lamban. Pokoknya kalau kita sudah selesai mengolah sesuatu dan tidak perduli lagi akan apa yang perlu dilakukan, kita suruh si program 'GOTO' ke hal yang lainnya dan jangan pusing-pusing atau membuang waktu mengolah instruksi yang tak perlu. Semacam melakukan 'by pass' jadinya. Nah, program yang penuh dengan 'GOTO' akibatnya dapat membuat orang lain yang bukan penulis aslinya, menjadi posing membacanya. Itu sebabnya si Gosling tidak mau membuat koleganya posing :-). Akibatnya lagi, aku yang sekarang pusing memeriksa logika setiap program ber-GOTO, termasuk segala macam pembatasan Java programming lainnya. Inilah "seninya" mengubah program yang sudah "kepalang" ditulis dan harus diubah.
Lalu lamunan beralih ke melayu lagi, apa lagi kalau bukannya melamunkan melayu hari-hari ini :-(. Nah, sistim masyarakat yang penuh dengan 'GOTO', jalan pintas, termasuk segala undang-undangnya, sedang mau diubah oleh orang-orang yang sudah terbiasa dengan 'GOTO'. Seperti program yang bila penuh dengan 'GOTO' disebut 'spaghetti code' oleh programmer, "program" bernama Indonesia merupakan 'spaghetti' kelas raksasa buto cakil yang 100 kali lebih besar dan ganas dari king kong. Jelas mereka yang sedang mencoba memahami sang 'spaghetti' sedang kepusingan, sama pusingnya dengan programmer yang harus membuang 'GOTO' di programnya. Apalagi bila yang bersangkutan tidak mengetahui apa "instruksi" untuk menggantinya, terlebih bila ia sama sekali tidak mengerti logika atau proses yang hendak diubahnya. Inilah kegawatan yang terjadi di melayu. Manusia bunglon dan THP beramai-ramai sedang bereksperimen dengan macam-macam instruksi pengganti 'GOTO' sebab "kata" itu sudah tidak ada di dalam kamus bernama kamus reformasi atau sudah tidak boleh dipakai lagi.
Bedanya programming komputer dengan "programming masyarakat" terasa sekali. Kalau ada kutu di programku, relatif mudah bisa kupetani, trims kepada Mo Kus yang memperkenalkan istilah 'debugging' dalam bahasa Indonesia itu. Satu jam tidak ketemu, sehari biasanya sudah akan beres. Sekarang, kutu yang ada di dalam "program" bernama Indonesia, sudah mengalahkan kemampuan si "programmer". Jadi kalau saya masih belum dapat tertawa maupun bergembira bila mengenangkan Indonesia, Anda sekarang dapat memahaminya, semoga. Salam dari Toronto, terutama kepada mereka yang sedang mencoba memetani sang kutu.