Lamunan Bersepeda LXII

Empat puluh dua kilometer, ketika kami tiba di rumah kemarin dan melihat angka di-displei komputer sepeda kami untuk memeriksa berapa jauh jarak yang telah kami tempuh. Yah, guna persiapan melakukan 'bike-a-thon' hari Minggu depan, membantu mencari dana untuk 'Heart and Stroke Foundation' di kota ini, saya dan Cecilia memutuskan menjalani trayek atau 'trail' bersepeda terpanjang di Toronto yang bernama 'Martin "anak-bae" Goodman Trail' :-). Asyik sekhalei bersepeda sepanjang trail itu. Pemandangan memang sudah ber"warna-warni" dan inilah salah satu kesedihannya si MoTe yang harus berpisah dengan kota Toronto yang pernah "menghidupinya" selama tiga tahun setengah. Bila Anda kenal pribadi dengan doi, tanya dan apakah ia akan jujur mau mengaku, "pemandangan" apa yang paling mengesankan selama ia di Toronto :-).

Kolega Meme alias tukang hot-dog, baik yang bergerobak saja, maupun yang bermodal dan memiliki kendaraan penjual hot-dog (dan makanan lainnya) ada dimana-mana. Di daerah downtown, setiap seratus meter kami berjumpa dengan mereka yang memasang tarip dengan huruf yang besar-besar, jumbo hot-dog $ 2, polish sausage $ 3. Selain banyaknya pemandangan, bertemu dengan pengendara sepeda lain dan mayoritas pemakai trail yakni mereka yang ber-inline-skate, dulu disebut 'rollerblading', memang banyak sekali kesempatan untuk melamun. Kalau saja perut sudah tidak kelaparan karena mengayuh non-stop 2 jam dan sudah jam 8 malam lewat, tentu saya masih akan terus melamun.

Berapa lama Anda sudah berlangganan atau masuk Paroki-Net? Kalau baru saja sebulan, saya sungguh kasihan kepada kalian :-). Soalnya setiap hari harus, terpaksa, membaca puluhan email "tidak bermutu" termasuk tulisanku, padahal waktu Anda terbatas. Karena tidak kenal siapa yang menulis, akibatnya Anda harus membaca satu persatu, sebelum dapat mengambil keputusan bahwa si anu adalah penulis tayangan "sampah" :-). Untung juga Anda tidak masuk ketika tayangan yang betul-betul jenis sampah, buatku tentunya, dikirim orang ber- puluhan per harinya. Nah, kalau Anda sudah lama di P-Net ini dan beruntung masih sempat menikmati tulisan warga P-Net bernama Prasetyo Yudono, kami panggil Mas Pras atau Bang Jeha menyebutnya capres, calon presiden RI di tahun 2000 nanti :-), Anda mungkin masih ingat tulisannya tentang Pak Wa-nya.

Itulah yang memicu saya melamun selama bersepeda kemarin. Seperti juga Pras yang banyak bergaul dengan anak kampung, itu juga "hobiku" ketika masih kecil di Betawi. Kalau tidak, darimana simpanan kata-kata sumpah serapahku di dalam bahasa yang benar-benar bahasa ibuku ini :-). Mungkin lebih tepat bahasa nenekku sebab ia tidak bersekolah dan bahasanya tulen bahasa Betawi. "Eiii elu T., ude makan belon,?" demikian sapanya selalu bila saya bertandang ke rumahnya di bilangan Kwitang. Hampir semua kata yang dipakainya, mirip dengan anak Kanada, berakhiran e atau ei. Balik ke topik lamunan :-).

Nah, selain bermain dengan anak kampung, salah satu kesenangan lainku adalah menonton tukang becak bermain gaplek atau kartu domino. Kalau salah satu pemainnya Bang Asan, salah seorang tukang becak yang c.s. dengan Bang Jeha karena ia naksir kepada pembantuku :-), maka saya diperbolehkan nongkrong di belakangnya. Tukang becak lain suka judes, maklum karena bisa "membawa sial". Jadi dari Bang Asan (Hasan) lah saya belajar trick-trick bermain domino, bagaimana memperhatikan kartu-kartu yang dibuang lawan, bagaimana menggencet pemain di bawah kita, yakni kartu apa yang ia tidak miliki sebab jalannya "miring", bagaimana berusaha bermain "abis", yakni semua kartu kita dapat kita keluarkan alias tidak sampai "mati".

Seperti juga salah satu filsafat hidup Pak dan Mak Wa, filsafat hidup tukang becak seperti Bang Asan itu, kalau saja dimiliki oleh semua orang Indonesia yang bernama pemimpin dan pejabat, kuyakin akan membuat nyanyian Rayuan Pulau Kelapa-nya Ismail Marzuki dengan lantang dinyanyikan 200 juta orang. Tanah airku pasti akan menjadi makmur dan tidak "dimiliki" segelintir orang kaya saja seperti saat ini. Mengapa? Sebab mereka puas dengan penghasilan yang mereka peroleh, cukup sehari. Kalau sudah mendapat uang cukup untuk setoran, untuk makan anak-isteri (bagi yang sudah berkeluarga) hari itu dan tersedia sedikit untuk dipakai domino, itulah kepuasan hidup dan "surga". Meskipun mereka tidak pernah berdoa Bapa Kami, paling-paling ada yang ke langgar, tapi mereka sudah "berdoa" ... berilah kami rejeki HARI INI ..., bukan hari esok atau hari seratus tahun kemudian, bagi pejabat yang korup milyaran trilyunan.

Bukan saja paha dan betisku tidak ada apa-apanya dibanding para tukang beca, tetapi filsafat hidup ataupun "doa Bapa Kami"-ku pun masih perlu kupelajari dari mereka. Masih sering aku merasa tidak puas dengan hidup ini, meski aku sudah memiliki sepeda yang bukan main asyiknya. :-) Yah, sepeda bekas ini selain ideal beratnya, juga warnanya 'manyala bob' pinjam istilah generasi Bung Luki di Betawi tempo doeloe :-). Serakah, itulah kata inti atau keramat. Mungkin di dalam soal harta duniawi, aku tidak begitu serakah, sebab kalau ya sudah kukejar pangkat dan posisi ataupun pekerjaan di Amrik sono yang dapat memberikan $ yang lebih banyak dan kantong yang lebih tebal. Tetapi masih sering aku "serakah" di dalam mendambakan hubungan antar anggota keluarga dan teman-temanku agar saling mencintai 100% "unconditional" tanpa pamrih. "Mana ada itu Mas, memangnya di surga?," kata Anda kaum realis. Mungkin Anda benar hanya bukankah kita sering bermimpi seperti Oom Frans P3K, agar suasana surgawi bisa terjadi di dunia ini? Litani keserakahanku dapat kuteruskan tetapi nanti lamunan ini jadi kepanjangan dan tiada topik lagi bagi LB yang berikutnya. Silahkan Anda merenungkan "keserakahan" Anda sendiri, syukur-syukur tidak punya :-) dan bila ya, doakanlah kami-kami yang serba serakah ini di Hari Raya Pentekosta, 31 Mei 1998 ini, agar Roh Kudus yang meraja di hati Anda, juga dapat menyelinap ke hati kami-kami yang "kemaruk". Salam dari Toronto teriring ucapan trims kepada Pras atas tayangan pemicunya :-).

Home Next Previous