Lamunan Bersepeda LXXXIII

Bila Anda pengikut setia tayangan serial ini yang sudah mencapai ke nomor 83, Anda mungkin masih ingat tayangan yang ke 82 kutulis sekitar 3 bulan lalu di hari terakhir Bang Jeha melamun bersepeda sebab sorenya ia jatuh dan patah tulang selangkanya. Setelah melalui "pemanasan" dua kali bersepeda di taman dekat rumahku, hari ini saya dan Cecilia bersepeda lagi di Don River trail diteruskan ke salah satu taman yang permai pemandangan musim rontoknya di kota ini, Taylor Creek Park. Suhu ideal sekali untuk bersepeda, sekitar 15C, artinya tidak perlu berjaket dan tidak akan sampai mengeluarkan keringat kalau kita bukan balapan bersepedanya. Udara cerah sejak awal pagi hari ini, hadiah tambahan dari-Nya di hari Thanksgiving Day untuk rakyat negeri Kanada. Seorang rekan kerjaku dari kantor menelepon sebelum kami berangkat, minta diajak :-). Karena memang saya sudah berjanji akan mengajaknya kalau kami pergi maka kami mampir dulu ke rumahnya. Isterinya, seperti biasa, tidak mau ikut. "She likes to stay home," kata doi. "If she ever wants to go out with me, the reason is so that she can say, let's go home," katanya menyindir. Nasib kami berdua memang mujur sebab apa yang daku senangi, disenangi juga oleh isteriku dan demikian juga sebaliknya, saya tidak berkeberatan main scrabble dari pagi sampai malam bersama Cecilia :-).

Karena salah keluar atau tepatnya salah arah, kami malah masuk ke jalan raya Don Valley Parkway dan akhirnya mulai bersepedanya dari daerah Bayview, bukan Don Mills seperti rencana semula. Kami menemukan tempat parkir yang cukup luas di dekat bangunan historis bernama The Brick Works, suatu pabrik batu bata di jaman baheulanya Toronto. Eh-eh-eh ternyata pemandangan disekitar situ cukup aduhai. Ada kolam alami yang dikelilingi pepohonan berwarna-warni dan dibatasi lamping-lamping bukit. "Not bad," kataku ke D. sohibku dan ia mengangguk, mensyukuri salah arah tadi sehingga menemukan tempat yang indah. Karena tidak biasa kami harus mencari dahulu dimana trail Don River dari tempat parkir itu dan berkat tidak malu bertanyanya Cecilia, kami menemukannya.

Cukup banyak pemakai trail ini, mungkin keluarga yang siangnya baru saja menghabiskan ayam kalkun dan perlu membakar enersi dari si kalkun :-). Dari mulai manula sampai ke anak-anak bersepeda roda tiga sampai ke bayi di kereta. Melihat pemandangan indah sepanjang trail di sisi kiriku, melihat manula yang satu dua bertongkat dan ada yang didorong di kursi roda oleh sedulurnya, saya mulai merenung. Apa yang kau pikirkan bila melihat pemandangan seindah itu, kek, nek, grandpa, grandma? Berapa tahun lagi? Itu juga yang kupikirkan kalau dikau menghitung berapa kali lagi musim rontok akan kau nikmati di dalam sisa hidupmu. Kalau usiaku sesuai dengan statistik orang Kanada, mungkin aku masih dapat menikmati 20 sampai 30 kali lagi tetapi kalau statistik orang Indonesia entahlah. Teman-teman seangkatanku sudah ada yang mendahuluiku dan beberapa minggu lalu, satu anak konon masuk RS Carolus karena terkena kanker paru-paru. Bagi orang Indonesia, apalagi saat ini, yang namanya 'life expectancy' adalah hal yang nisbi, sangat relatif. Merenungkan masih berapa lama kita dapat menikmati sesuatu, membuat kita lebih lagi menghargai pengalaman keindahan itu. Sedikitnya itu yang terjadi bila aku sedang melamun baik sambil bersepeda maupun bila sedang mendayung kanu di tengah alam yang indah permai.

Gedubrak!, bunyi sepeda jatuh menghentikan lamunanku. "Oh my God," seruku yang jarang mengucapkan kata Tuhan dengan sia-sia sebetulnya. Si D. jatuh dari sepedanya di depanku saat melintasi jembatan. Kuberhenti dan kutanya, "Are you OK?" Ia sudah bangun kembali dan mengiakan. "What happened?" "I went to the edge and I slipped," katanya menunjukkan pinggiran jalan. Kami meneruskan lagi persepedaan kami sepanjang Taylor Creek trail saat itu. Kecepatannya waktu jatuh perlahan sekali karena baru saja melintasi jembatan dan juga banyak pejalan kaki. Kalau saja ia berkecepatan 40 km, seperti pada saat daku jatuh, tidak mustahil si D. yang akan patah tulang selangkanya :-). Hidup memang berisiko. Bersepeda perlahan-lahan tentu kurang asyik dan sayapun hanya berani berkecepatan maksimum 25 km/jam saat-saat ini sebab bila daku sampai jatuh, alamat tulangku akan amblas lagi. Bersepeda cepat lebih asoi tetapi itulah, kita mungkin perlu membayar mahal seperti sudah kualami. Apa pilihanku nanti kalau tulangku sudah oke lagi sambungannya? Anda tentu tahu jawabnya. It is OK to take a risk in order to enjoy things that you love. Sekian dulu lamunan kali ini, sampai berjumpa di tayangan berikutnya, salam dari Toronto dengan pemandangan indah di musim rontoknya.

Home Next Previous