"You don't need to come back anymore," kata dokter orthopediku hari Rabu yang lalu di pemeriksaan rutin tulang selangkaku. "You can even fall again if you want to," katanya ngeledek. Memang kami sering ledek-ledekan sebab ia pernah senasib denganku dan malah lebih hebat lagi. Kedua tulang selangkanya, kiri dan kanan pernah patah. Kalau kami berjumpa pertanyaan pertama daku kepadanya adalah, "How is your clavicle?", mendahului doi bertanya :-). Jadi meski suhu sudah semakin dingin di kotaku ini, tadi siang saya dan Cecilia melamun lagi di sepanjang trail bersepeda kami. Pakaian sudah perlu beberapa lapis dan juga sarung tangan maupun penutup telinga mesti dikenakan kalau tidak mau kedederan seperti habis disiram air es. Sudah tidak banyak pengendara sepeda lainnya maupun pejalan kaki. Jadi pikiran memang bisa jelalatan kemana-mana.
Suasana atau tepatnya pengalaman dari Misa di hari Minggu ini masih terus terberkas di pikiranku. Misa kami adalah Misa khusus atau 'inclusive', yakni liturginya ditujukan bagi beberapa puluh orang-orang cacat yang hadir. Mereka dari paguyuban orang cacat, disabled people bernama 'Community Living' yang tempatnya berada di paroki kami. Kata Cecilia yang kelompok Outreach-nya menjadi seksi repot di acara itu, kelompok Daybreak-nya Fr. Henri Nouwen juga turut hadir dan membantu meramaikan liturgi, antaranya dengan sumbangan tari-tarian (liturgical dance). Beberapa anak yang lumpuh dibawa ikut bersama para penari di kursi rodanya. Satu dua kelihatan gembira sekali. Anak-anak maupun orang dewasa yang terkena CP, Cerebral Palsy, tampak paling banyak. Konon, manusia yang paling 'unconditional' cintanya adalah manusia yang terkena CP dan saya percaya akan hal itu. Seorang anak CP di bangku depan kami terus tertawa dan bergoyang-goyang bila ada lagu yang dinyanyikan. Dari saat ke saat ia melirik ayahnya di sebelahnya dengan tanda penuh cinta.
Di suatu milis lain dimana saya bergabung, sedang terjadi diskusi mengenai bio-ethic, tepatnya dialog antara seorang biologis dan teologis mengenai batasan ulah manusia, yang mana yang sudah 'playing God' dan tidak etis lagi. Sesekali saya nimbrung dan mengetengahkan sedikit hal yang saya ketahui. Para peserta diskusi umum setuju bahwa ilmu pengetahuan, terutama mengenai gen yang didiskusikan, perlu terus dikembangkan dan dipelajari. Beberapa hari yang lalu saya berdiskusi dengan S. temanku di kantor. Selain mempelajari computer science ia juga pernah belajar genetic engineering di universitasnya. Di akhir obrolan kami ia berkata, "I wish I can work on the computer field that is more useful for human." Saya mengangguk sebab hal yang kami kembangkan bersama lebih menyangkut aplikasi bisnis.
Nah, bacaan pertama di Misa di atas dibacakan oleh seorang yang kelainan atau disability-nya seperti Stephen Hawking. Ia tidak bisa berbicara tetapi memakai computer untuk menjadi speech-synthesizer-nya. Itulah bidang yang diminati oleh S. untuk berkarya, aplikasi yang berguna bagi manusia. Ketika saya bercerita mengenai kemajuan computational biology sehingga rencananya tahun depan seluruh gen manusia sudah akan berhasil untuk dipetakan, katanya "What's the use? It is as if you have a map of Ontario but there is no name or text that describe the cities, the rivers, the lakes, etc." Karena ia sudah pernah mendalami genetic engineering, tentulah kata-katanya berbobot. Kembali saya hanya mengangguk. Namun, kata saya ke S., "If you want to do something useful for human-being, why don't you study again?" :-) Kecapanku mengenai bidang sepikologi yang sedang digeluti mahasiswa Anda meyakinkan doi. Ia meminta brosur lengkap dari program Continuing and Distance Study-ku dan kemarin dulu mengatakan ia juga akan bersekolah lagi mulai musim panas yang akan datang. "Let me know what subject you choose," kataku dan ia mengangguk, "Of course."
Pastor parokiku di Misa di atas, memberikan syering di homilinya, betapa R., seorang anak yang lumpuh total, kerap memberinya semangat sebelum ia memulai Misa. Katanya kepada S., ibu R., "You don't know cause I never tell you, how many times R. ministered to me. At times I felt so down and there was no desire, no energy, no motivation for me to celebrate the Mass. But then I saw R. who was smiling cheerfully and I stood up again." Bukan saja mengesankan Misa tadi sampai seluruh lamunanku terisi olehnya, juga cukup mengharukan sehingga yang duduk di sebelahku dari waktu ke waktu kulihat menyeka air matanya :-). "If there is only one person you can help," kata Fr. V. mengakhiri homili dan lamunanku, "your life has been blessed and is worth it." Salam dari Toronto, trims berat kepada Anda-anda yang terberkati :-) yang telah membantuku dengan doa-doa sehingga tulangku sudah oke lagi.