Lamunan Bersepeda LXXXIX

Ramalan cuaca mengatakan hari ini akan cerah dengan suhu sekitar 15C. Tapi ketika kumulai mengenjot sepedaku, kog langit masih mendung berawan dan matahari masih bersembunyi di balik sang awan. Tetapi karena percaya akan para peramal jaman modern ini, weather forecaster, meskipun nanti sore jam 6 daku ada meeting di paroki daratku, kuputuskan untuk tetap melamun :-). Sebagai makhluk sosial, mau tak mau kita harus mempercayai orang lain bila kita mau bergaul. Tidak bisa tidak, terkadang kepercayaan kita disalahgunakan atau si makhluk lain menghianati kepercayaan itu. Jadilah kita warga THP. "Lho, ini serial THP atau LB?," kata seseorang yang membaca semua tulisanku, tidak perduli isinya suka begok :-). Memang ini lamunan bersepeda my dear friend, tapi mau tidak mau lamunanku masih membawa kenangan akan renungan harian untuk 14 April yang kubaca di pagi ini. Renungan yang membawa kesan itu ditulis oleh Sandy Prather di majalah Our Family dari Saskatchewan yang kuberlangganan. Ia theolog yang menjadi direktris Oblate Retreat Centre di St. Albert, propinsi Alberta sehingga credentialnya mestinya oke punya :-). Ya, di jaman sekarang kalau kita berkotbah, suka ditanyakan kita lulusan sekolah apa :-).

Di awal renungannya Sandy mengutip kalimat bijak orang Zulu, "I cannot hear what you are saying because of the thunder of what you are doing." Memang begitulah, sering perbuatan kita lebih dahsyat dari apa yang kita katakan. Sayang perempuan belum boleh menjadi pastor Katolik. Sandy ini menulis lagi, bahwa sering kita berkotbah Tuhan maha mengampuni namun kitanya si keiristen sering mencap melabel menghakimi orang lain seenak jidat kita. Bagaimana reaksi orang bila kita berkata "Engkau cantik dan ganteng di mata Tuhan," tetapi kita memperlakukannya hanya sebagai angka atau penyebab beban? Kata Sandy lagi, "If we say Jesus models humble leadership, and then we are authoritarian in our own leadership, guess what people will believe?"

Ya prens sadayana, kita sering kecewa akan para pemimpin kita, akan kepala RT dan RW :-), akan bapak dan ibu rumah tangga kita, karena apa yang "dikotbahi" mereka tidak cocok dengan apa yang dilakukannya. Bukan itu saja, perbuatan sekali lagi jauh lebih mengesankan dari perkataan atau tulisan. Itulah sebabnya, banyak di antara Anda yang senang akan serial LB ini sebab atau Anda masih bersepeda atau mengenangkan secara nostalgia ketika Anda masih kismin, belum bermobil dan "terpaksa" bersepeda :-). Bila Mario S.Pak kerjanya hanya kotbah doang tapi melengos kalau bertemu dengan mereka yang dikotbahinya, bulan depan "dagangannya" tidak akan laku lagi. Bila Mang Ucup pengkotbah di Paroki-Sby mengecap tentang toleransi gereja terhadap warganya yang homo dan lesbi tetapi ia meludah ke tanah bila berjumpa, NV Robert Nio tidak lama lagi akan gulung tiker alias bangkrut :-).

Nah, dipicu oleh kalimat bijak Zulu di atas, Bang Jeha juga mau melontarkan satu kalimat bijak anak bulek. "Do not judge other before you walk a mile in her/his shoes." Pengendara bo'il yang kurang ajar dan sering mengklakson daku bila terlalu ke tengah jalannya, kemungkinan tidak pernah turun naik bukit di Don Mills Rd sepanjang 10 km. Bukan saja jalanan di pinggiran sering berenjal-berenjol ga karu-karuan, retak botak karena garam yang merusak jalan selalu menumpuk disitu, juga sering dipenuhi oleh benda pecah-belah dan tajam. Itulah sebabnya bila melihat ada bahaya di depan ban sepedaku yang dapat membuatnya gembos atau lubang yang dapat membuat pelekku penyok, saya suka menghindar ke tengah. Pengendara mobil yang pernah bersepeda tidak akan mengklakson sahabatnya tetapi akan memperlambat kecepatannya bila melihat ada sepeda di mukanya. Seorang teman saya di kantor bertanya apakah 'worth' menonton film 'Boys Don't Cry' yang pemegang peran utamanya, Hilary Swank, mendapat hadiah Oscar untuk tahun ini. Jawabku, "Unless you are tolerant to lesbian and homosexual people, you won't like it." Maksudku, kalau belum apa-apa dikau sudah menghakimi perbuatan kaum homoseks sebagai dosa, engkau akan muntah eneg mbleneg menonton film itu yang memang tidak terlalu hesbats.

Apakah mudah lalu hidup seperti di atas, "berjalan kaki dulu satu mile pakai sepatu orang"? Tentu saja tidak. Jangankan berjalan 1600 meter, 16 meter pakai sepatu orang dikau sudah akan kapok, apalagi kalau sepatunya berhak :-). Ooops, seseorang bersepatu pakai hak menyeberangi jalan 'jay walk' alias tidak di jalur penyeberangan. Saya lalu teringat kepada sedulurku yang baru saja dioperasi kakinya, mungkin karena sepatunya pakai hak terus. Itulah harga yang terkadang harus kita bayar bila kita ingin kelihatan "tinggi dan anggun". Kita sering mengambil banyak risiko di dalam kehidupan agar kita dapat memelihara "ketinggian dan keanggunan" kita. Is it worth it? Saya tak tahu, tak bisa menilai dan tak berani menghakimi. Yang saya lihat hanyalah banyak jalan pintas itu yang sudah mengakibatkan kita sengsara dan juga manusia lainnya di sekitar kita menjadi THP. Karena ini lamunan bersepeda dan tingkungan kantor sudah menjelang di muka, sampai berjumpa di LB berikutnya. Salam dari Toronto terutama kepada para warga THP di milis Serviam ini.

Home Next Previous