Lamunan Bersepeda XCIX

Bintang-bintang masih menampang di langit, bulan sabit masih tersenyum di arah tenggara ketika saya mulai keluar dari rumah. Ya, hari semakin gelap saja kalau saya berangkat bersepeda ke kantor. Belum ada jam 7 pagi dan melihat lapisan uap air yang membeku di atas kaca-kaca mobil di muka rumah orang, kutahu suhu sekitar 0C tanpa perlu melihat temperatur. Akibatnya, saya mulai memakai celana 2 lapis, baju dan sarung tangan juga 2 lapis sebab kecepatan pembalap Anda sedikitnya 40 km sejam :-), ya kalau turunan. Hanya pembalap sepeda kelas dunia yang mampu berkecepatan rata-rata sedemikian. Sambil mengenjot lamunan saya terkenang lagi ke Bang Usman. Untuk Anda yang tidak mengikuti serial LB yang sudah sampai ke nomor 99 ini, Bang Usman montir sepeda idola bapakku, kekagumanku juga. Kerusakan sepeda macam apapun bisa dibetulkannya, umumnya tanpa perlu mengganti suku-cadang. Sepeda tua warisan anakku yang baru kubetulkan ini, beberapa hari yang lalu ngadat. Maklum udah gaek, termasuk rantainya. Setiap 4-5 putaran pedal, berbunyi jeglek-jeglek. Berpengalaman naik sepeda sekitar 50 tahun dari mulai yang roda tiga :-), kutahu ada sesuatu yang tak beres dengan rantainya. Ketika kuperhatikan, benar saja, ada satu mata rantai yang mengok alias kaku. Setelah menyebut nama Bang Usman dengan hormat, Bang Jeha Anda melaburkan oli silicon di atas mata rantai itu dan membengkok-bengkokkannya. Manjur memang menyebut nama montir Gang Tepekong tersebut sebab bunyi gelejeg-gelejeg-nya hilang. Dengan asyik saya meluncur sepanjang Don Mills Road.

Di jalanan menurun sambil meneruskan lamunan saya tersenyum. Bukan saja karena asyiknya naik sepeda, saya teringat surat seterom per japri yang baru saja kubaca, kiriman sahabatku Dapot. Memang anak ini jenius di dalam melawak dan canggih humornya tetapi saya tersenyum mengingat sesuatu peristiwa bersamanya. Ia dan saya ditugaskan ke Bangkok, Thailand oleh comberan kami. Tidak lumrah dilakukan di Amrik/Kanada tetapi biasa (waktu itu, ga tau sekarang) di antara perusahaan Indo, saya menginap sekamar dengan Dapot di Montien Hotel. Baru saja kami menaruh tubuh di ranjang setelah selesai check-in, membaca-baca, ketika pesawat telepon berdering. Saya yang menerimanya. "Hello, may I speak to Mr. Hilwan?" "Speaking." "Mr. Hilwan, my name is Lo Bang Tai and I am the General Manager of Montien Hotel. I would like to ask you to move out from your room because we need it." Saya syok tidak bisa langsung menjawabnya, ia berbicara dengan aksen Thailand (yang kemudian ternyata aksen anak Padang:-)). "You cannot do this, we already have the reservation." Dapot kebingungan melihat kog temannya jadi gugup dan begok. "It doesn't matter, you have to move now, we need the room." "Are you going to change my room with another one?" Terdengar suara terbahak-bahak dari ujung telepon disana, "Hahahaha, gue jus, Aswin." "Sialan lu Win, gua kirain siapa, ja'ul lu, gua ampe kaget." "Pan gua bilang nama gua lo bang tai, lobang ta'i, masa elu engga engah." "Ya, gua terkesima elu bilang GM Montien Hotel, sialan deh lu," kata saya masih frustasi dikerjain ama si Aswin, anak Padang asuhan Uda Ilyas dari milis Sanbima :-). Itulah lamunanku di turunan Don Mills Road menjelang Sheppard Avenue. Beberapa orang polisi yang menjaga di persimpangan sibuk itu tidak membuat hatiku meloncat melihatnya :-), engga ngumpet di "warung bensin" kali ini :-). Mereka mengatur lalulintas di konstruksi subway Sheppard Line yang hampir selesai sebentar lagi. Hatiku menjadi THP lagi kalau mengingat rencana pembuatan subway di Betawi yang bubaran. Jangankan seluruh Jakarta ber-subway, seluruh Indonesia pun akan cukup biayanya kalau saja tidak dikorup oleh asu-asu Tanah Melayu.

Apa-apaan tuh, seruku di dalam hati melihat genangan banjir di muka pintu masuk shopping mall Don Mills Centre. Genangan air setinggi sekitar 10 cm tak mungkin bisa kuhindari. Cepat-cepat kurem sepedaku dari 40 km sejam menjadi 4 km sebab kalau tidak cipratin air dari roda belakang akan membasahi jaket dan tas ranselku. Rupanya ada keran air pemadam kebakaran yang bocor dari dalam syoping mal tersebut. Memang genangan air, apalagi banjir, bukan sesuatu yang lumrah di kota ini. Lain halnya bila di kampung halaman. Lamunan beralih ketika tanteku, adik ibuku masih tinggal di Grogol di Jl. Dr. Semeru. Suatu ketika, banjir bandang melanda seluruh Grogol karena jebolnya tanggul Kali Grogol. Di sebagian daerah, banjirnya seleher dan di rumah tanteku sampai sepinggang. Karena ogut masih mahasiswa waktu itu, kebetulan bermodal jaket kuning yang bisa dipakai buat "ambil cat" gratis di toko encek di depan kampus UI di Salemba :-), eh :-(, saya diminta tolong jaga malam. Jaga malam ceritanya Bang Jeha Anda bersama puluhan warga sekampung. Maklum bukan saja tikus air, tetapi kepala item banyak dimana-mana, memanfaatkan kesempatan di dalam kebanjiran. Tidak ada maling yang berani datang melihat ada mahasiswa berjaket kuning ikut patroli :-). Asyiknya bernostalgila sambil melamun di atas sepeda :-). Restoran Memories of Japan sudah kulewati, tempat Pak Pram sekali-kalinya makan dengan lahap selama kunjungan muhibah beliau di Toronto. Artinya, tikungan ke kantorku sudah tampak dan selesailah lamunan pengemudi sepeda Anda hari ini. Sampai jumpa, salam dari Toronto.

Home Next Previous