Prakata: Seri pertama dan kedua ini saya mulai tulis ketika pulang kampung ke kota kelahiranku, Betawi, pada bulan Januari 1996.

Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 1

'Tanah airku Indonesia, negeri elok amat kucinta ....', demikian bunyi bait pertama Rayuan Pulau Kelapa yang bagi kita yang lahir di Indonesia merupakan lagu yang tak akan dapat dilupakan. Di tahun 1995 lalu saya memperoleh kesempatan 2 kali mengunjungi Indonesia. Yang pertama kunjungan liburan pada bulan Agustus bertepatan dengan ulang tahun emas kemerdekaan Republik Indonesia, yang kedua pada bulan Desember untuk menengok ayah yang sakit.

Mungkin karena tinggal di Toronto, tetapi demikian pula waktu saya masih tinggal di Jakarta dan kerap bertugas ke luar negeri, setiap kali pesawat mulai mendekati pantai utara pulau Jawa, timbullah bermacam-macam perasaan hati. Meski tubuh terasa lelah dan penat setelah duduk puluhan jam di pesawat terbang, rasanya 'excited' bila sudah melihat batas daratan pulau Jawa, terlebih bila mulai melihat 'skyline' kota Jakarta yang saya cintai. Napas panjang selalu saya tarik sambil berkata: "Terima kasih Tuhan engkau mengijinkan aku melihat lagi tanah airku." Rasa gembira dan bahagia bercampur umumnya dengan rasa sedih dan prihatin. Bahagia karena akan mendapat lagi kesempatan melihat, menghirup bau, mendengar, mengecap semua hal-hal yang membuat aku seperti aku ini, manusia yang lahir di Indonesia. Sedih karena akan melihat, mendengar dan merasakan macam-macam ketidak- adilan dan segala hal yang negatif yang terjadi di tanah air tercinta.

Bagaimana mungkin saya tidak mencintai tanah air saya. Anak saya yang terkecil saja, yang meski lahir di Jakarta tetapi masih bayi waktu kami sekeluarga pindah ke Canada, mengatakan "I love Indonesia" padahal dia baru 2 kali datang sebagai turis. "The Indonesian girls are pretty," katanya. Maklum ia seorang remaja. Tapi ia sangat benar. Selama 5 tahun terakhir ini, terakhir tahun lalu, saya kerap mengunjungi kota-kota Asia lainnya, terutama Taipei, Taiwan. Tidak dapat saya mengatakan "Taiwanese girls are pretty." Anak saya tidak sendirian dengan pendapat seperti itu. Beberapa teman saya orang asing di kantor yang juga pernah mengunjungi Indonesia memberikan komentar yang sama. Tentu kalau saya mempunyai anak puteri, komentar yang sama akan diberikan terhadap cowok-cowok ganteng yang akan dijumpainya.

Saya tahu bahwa tanah airku elok karena seringnya dahulu pada saat masih mahasiswa saya bepergian kemana-mana mengunjungi tempat-tempat yang sekarang menjadi obyek wisata. Pegunungan Puncak saja, untuk orang yang pertama kali mengunjungi Indonesia, tentu merupakan tempat yang indah pemandangannya. Itu juga saya alami kalau sekarang saya pergi ke Puncak, "memang engkau elok" kata saya di dalam hati. Tidak puas hanya mengagumi pemandangan Puncak saya memutuskan melepas sedikit rasa rindu, yakni berdua dengan isteri mendaki lereng Pangrango Agustus lalu, tidak untuk mencapai puncaknya tetapi hanya mendaki sampai ke air terjun Cibeureum. Di perjalanan ke tempat awal pendakian cagar alam Cibodas, kami berdua naik kendaraan umum berupa bis mikrolet. Sekali lagi saya mengalami 'first hand' betapa sabarnya dan toleran manusia Indonesia. Bangku yang hanya untuk 3 penumpang, dapat memuat 6 orang dewasa termasuk isteri saya, masih ditambah satu anak kecil yang dipangku.

Kesenangan yang lain mengunjungi tanah air adalah kesempatan untuk kembali mendengarkan bahasa ibu kita diucapkan oleh semua orang, dengan segala macam variasinya, dengan berbagai aksen karena pengaruh bahasa daerah. Terkadang saya kagum kepada anak saya yang dapat menirukan aksen bahasa Inggris berbagai bangsa yang bermukim di Toronto. Mereka juga umumnya tahu kalau mendengar suatu aksen, dari negeri mana yang bersangkutan berasal. Saya jadi teringat kepada Professor Higgins dalam cerita My Fair Lady atau Pygmallion-nya George Bernard Shaw, ahli bahasa yang mempelajari aksen-aksen Inggris. Kalau memperhatikan seseorang berbicara, saya dapat memperkirakan dari daerah mana ia berasal. Yang lebih saya nikmati adalah kalau mendengar anak-anak kecil di tempat umum berbicara bahasa Indonesia sebab hal itu tidak saya peroleh lagi di Toronto. Anak-anak Indonesia segera setelah mereka bersekolah, akan kehilangan kemampuannya bercakap-cakap dalam bahasa ibunya meski di rumah keluarga masih memakai bahasa Indonesia. Memang mereka tetap 'bilingual' tetapi pasif bahasa Indonesianya. Entah mengapa senang mendengar anak-anak kecil berbahasa yang sama dengan bahasa ibu kita. Apakah karena merasa bahwa bahasa yang kita miliki lalu tidak akan mati dan tetap akan abadi?

Saya tahu salah satu sebab lainnya anak saya "jatuh cinta" dengan Indonesia adalah karena segala hal "serba murah". Kegemarannya adalah membeli pakaian. Memang tekstil/baju buatan Indonesia sekarang sudah diekspor kemana-mana termasuk ke toko-toko di Toronto. Terkadang saya sudah melihat label 'made in Indonesia' di beberapa pakaian termasuk yang merknya terkenal. Kegemaran saya membeli buku dan meski baru seminggu di Jakarta, sempat 2 kali saya mengunjungi toko buku Gramedia. Sebetulnya buku, terutama buku terjemahan sudah tidak terlalu murah, tetapi buku karangan penulis Indonesia masih tetap relatif murah. Sayang sekali saya tak bisa membeli atau menjumpai buku-buku karangan Pramudya yang karya sasteranya saya kagumi dan senangi.

Hari Minggu lalu saya menghadiri Misa Kudus di gereja paroki Bonaventura. Meski misa adalah yang terakhir (atau karena itu?) umat yang datang sampai meluap puluhan kalau bukan ratusan ke luar gedung gereja. Upacara liturginya sangat penuh, hikmat dan mengesankan. Memang gereja di tanah air sangat subur tumbuhnya, sedemikian subur sehingga saat ini mulai terjadi 'reverse mission'. Jaman angkatan saya, para missionaris adalah pastor kulit putih, umumnya dari negeri Belanda. Sekarang, imam-imam Indonesia sudah mulai menjadi missionaris dan yang saya tahu sudah mulai dikirimkan ke beberapa negara lainnya yang kekurangan imam. Saya tidak akan heran kalau nanti generasi anak cucu saya di Toronto, akan dilayani oleh imam missionaris dari Indonesia.

Sambil menyiapkan tulisan ini, lagu-lagu keroncong nyanyian Hetty Koes Endang sedang saya nikmati. Itulah salah satu kesenangan lainnya berkunjung ke tanah air, berkesempatan membeli kaset yang sudah murah harganya isinya adalah musik atau lagu yang tak dapat kita beli di toko-toko di Amerika Utara. Waktu saya pulang dari kunjungan bulan Agustus, saya bawa kaset berisi 60 lagu-lagu dari penjuru tanah air. Karena sarat dengan lagu-lagu nostalgia, kembali dari jaman remaja dan mahasiswa, kaset itu terus saya putar dari waktu ke waktu sampai isteri saya bosan mendengarnya. Untunglah ia orang Indonesia, Jawa lagi, sehingga toleransinya sangat tinggi dan membiarkan saja saya terus memutar kaset itu.

Terakhir, 'last but not the least', kunjungan ke Indonesia tidaklah akan lengkap kalau kita tidak mencicipi macam-macam masakan, penganan atau kue-kue kesenangan kita. Kalau melihat sedemikian melimpah-ruahnya makanan (ya di kota Jakarta) selalu timbul kekaguman saya akan kekayaan bumi ini yang terus mampu menghasilkan sumber-sumber untuk menghidangkannya. Memang tanah airku negeri yang kaya, sayang .... Nah, sebelum tulisan kenang-kenangan serba indah dan penuh rasa terima kasih kepada-Nya yang telah membuatku lahir di Indonesia, berubah menjadi tulisan kritik, saya kira sedemikian dulu serba-serbi kisah kunjungan saya tahun ini ke Indonesia, 'tanah tumpah darahku yang mulia, yang kupuja sepanjang masa'.

Home Next Previous