Berjumpa Sahabat-sahabat. Sehari sebelum saya dan Cecilia berangkat ke Puncak untuk tetirah di kaki Gunung Pangrango dan Gede saya menelepon temanku, seorang Muslim toleran atau lebih sering disebut 'Islam abangan'. Di tahun-tahun terakhir waktu kutinggal di tanah air, ia selalu menemamiku kemping. Setelah berbincang sebentar, kuminta bantuannya untuk mengumpulkan teman-teman kempingan lainnya agar kami semua dapat bertemu dan bersilaturahmi. "Beres Jus," katanya. "Gue baru aja ketemu si ..., Natalan bersama. Dia Natalan gue diundang, gue Lebaran die dateng." Dalam hati saya mengangguk karena kenal mereka berdua. Itulah temanku sejati, agama dan keyakinan tidak memisahkan kami tetapi siapa kami sehari-hari dan apa yang kami lakukan terhadap orang lain, itulah yang mempersatukan kami. "Elu tau dong, die baru aja diangkat jadi dirut ...," katanya menyebut nama suatu bank di Jakarta. "Iye gue denger, kog bisa?" "Lantaran die ngerakyat," jawab temanku lagi dengan maksud bahwa teman kami satu ini memang sederhana dan jujur serta dekat kepada orang kebanyakan. Hal itu sungguh dapat kami buktikan bersama ketika kami bertemu dan saling berbagi cerita. Meski kantornya sudah sebesar "lapangan bola", ia masih tetap seperti biasa dan gayanya juga masih urakan :-). Semoga jabatan atau kuasa yang dimilikinya tidak menyilaukannya sehingga ia mampu untuk berbuat sesuatu bagi ekonomi negaranya yang sedang amburadul terutama bagi sesamanya manusia.
Jadi Orang Norak. Masih ingat tayangan saya 2 tahun lalu di kisah serial ini, bahwa 'handphone' atau pesawat telepon genggam dijual di persimpangan-persimpangan jalan di Jakarta? Banyolan itu sudah menjadi kenyataan! Pesawat genggam hasil jarahan memang dapat Anda beli di persimpangan jalan dengan harga yang tentu akan sangat miring :-(. Konon salah satu pusat penyalurnya ada di daerah Pademangan sebab seorang temanku, rumahnya disitu. Yang ingin kudongengkan kali ini adalah mengenai betapa hesbatsnya "kemajuan teknologi" di Indonesia, tepatnya kemajuan perusahaan telepon menjual pesawat genggamnya. Segala macam atau merk pesawat telepon genggam dari mancanegara dapat Anda jumpai di Jakarta. Pesawat yang paling kecilpun di dunia dipakai orang disana. Dari merk yang dijual di Toronto (tidak banyak, paling 3-4 merk dipasarkan) seperti Nokia, Motorola, dan Ericsson, sampai ke Philips, Sony, Siemens, dan puluhan merk lainnya yang seumur hidup tak pernah kudengar, ada di Indonesia. Itu masih belum apa-apa. Baru kutahu bahwa pesawat telepon genggam dapat memakai sistim kartu. 'phone card'. Kartu telepon ini tidak sejenis tapi juga bermacam-macam merk atau sistim. Salah satunya, memprosmotsikan beli 11 kartu a Rp 100.000, dapat diskon satu kartu ekstra. Mengapa 11 kartu? Sebab setiap kartu bergambar pemain sepakbola tim Perancis yang memenangkan Piala Dunia tahun lalu! Hebat sekhalei kan cara-cara pemasaran di tanah Melayu. Memang orang dari ndeso Toronto menjadi norak bila saat-saat ini mengunjungi Betawi :-). Sedemikan melimpahnya pemakai pesawat genggam sampai-sampai di setiap daun pintu di gereja Paroki Bonaventura dimana saya berdua Cecilia ke Misa pagi, tertera tulisan sebesar alaihim: "Terima kasih untuk tidak mengaktifkan pesawat telepon genggam Anda." Di latar belakangnya tertera gambar handphone yang diberi tanda silang berwarna merah. Nah, untuk mengatasi larangan itu, beberapa merk pesawat telepon genggam mempunyai 'feature' yang disebut 'vibra' atau ia tidak akan berbunyi tetapi hanya bergetar bila nomornya dipanggil. "Brrrrr," begitu yang akan Anda rasakan bila pesawat itu Anda taruh di saku Anda. Sekarang Anda mungkin percaya akan kehebatan kemajuan teknologi di Indo.
Negeri Peraturan. Larangan untuk mengaktifkan pesawat telepon genggam di atas memang masuk di akal dan oke oke saja ya. Tetapi semakin banyak saja larangan yang kutemui kali ini. Karena atau demi lebih seimbangnya enersi yang masuk dan keluar dari tubuh kami berdua, setiap pagi kecuali hari libur, saya dan Cecilia berenang di kolam renang Tirta Mas, tidak jauh dari tempat tinggal kami. Ada 20 peraturan atau larangan yang terpasang di beberapa tempat di kolam Tirta Mas. Hampir semuanya tidak ada yang mematuhi atau mempedulikannya. Misalnya, peraturan nomor 6, "Bilaslah tubuh Anda sebelum masuk ke kolam" hanya dipatuhi oleh dua orang bego dari Toronto. Tidak ada satupun rakyat Melayu yang mungkin merasa dirinya bersih, membasahi diri di bawah air pancuran sebelum masuk ke kolam. Larangan untuk hanya boleh berenang dengan celana renang model kancut dan tidak boleh model kolor, sudah dicueki orang. Banyak yang berenang memakai 'beach swim wear' dan satu dua memakai celana. Saya hanya menganggukkan kepala ketika Cecilia memperlihatkannya kepadaku. Satu hal lagi yang membuatku geleng-geleng adalah bukan saja para penguasa yang membuat aturan dan larangan, sampai-sampai Satpam pun berusaha mencari "mangsa". Suatu ketika, saya baru saja selesai memperbaiki konfigurasi suatu komputer dibantu temanku dari Sistelindo. Meski ia sudah berbaik hati membantu mengangkat sang PC ke lantai dasar sampai di tempat untuk memanggil supir (car call), eh seorang satpam disitu bertanya. "Pak, mana surat jalannya?" sambil menunjuk ke sang komputer :-(. Bukan main, tidak ada yang tidak membutuhkan "surat" untuk "berjalan" di kota Betawi saat-saat ini. Saya lalu jadi teringat suatu pemeo di dalam bahasa Inggris, "If you cannot enforce it, you don't have a rule." Itulah yang sudah terjadi, ada 1001 peraturan tetapi atau tidak ada "polisinya" atau si pembuat aturan yang harus menjadi "polisi". Di dalam situasi seperti ini, jelas, hukum rimbalah yang berlaku, siapa yang kuat, ia yang menang :-(. Sampai di kisah berikutnya.