Berkanu di Pasar Ikan. Tidak, saya tidak mendongeng atau mengada-ada bahwa memang kami berkanu di Pasar Ikan. Secara kebetulan di suatu hari, empat anak Kanada tukang cari susah :-), 2 dari Toronto dan 2 dari Ottawa bisa berkumpul di Betawi. Pucuk dicinta ulam tiba ketika mereka mengemukakan keinginan untuk melihat 'de goede oude Batavia' alias kota tua dari jaman Belanda. Sudah berapa puluh tahun saya tidak mengunjungi Pasar Ikan sehingga tugas co-pilot yang kuemban gagal. Ya, si Mbak S. yang mengemudi dan saya duduk di sebelahnya mengawasi kalau-kalau ada polisi yang sedang bersembunyi :-). (Saya tidak becanda, dua kali ia hampir kena tilang dan berkat "mujizat" ia tetap selamat.) Akhirnya, setelah sekali berkeliling di daerah kota tua itu, kami menemukan juga jalan menuju Pasar Ikan dan sampai ke tepi sungai tempat bermuaranya tiga sungai, Kali Ciliwung, Kali Besar dan Kali Jelakeng. Mencium bau air meski 'yellow submarine' terlihat dimana-mana, melihat kali itu memang menuju ke Laut Jawa, tanpa ditawar lagi karena memang murah alias hanya $ 2, kami sewa suatu kanu alias kapal kayu yang lumayan besarnya. Di dalam harga sewa, bolak balik sampai ke muara atau tepi Laut Jawa, tukang kanu ikut jadi pengemudi atau istilah kerennya, 'stern paddler'. Waah, hesbats sekhalei teknik mendayung si abang meski ia, kuyakin, tidak pernah membaca satupun buku canoeing, maupun mengikuti kursus berkanu. J-strokenya muantep sekali, steeringnya lihay dan kekuatan dayungnya mengalahkan kami-kami yang masih muda belia :-). Demi menghormati kedua tamuku yang kulitnya memang bulek :-), maka kupersilahkan mereka bergantian menjadi 'bow paddler' atau pendayung di haluan. Ya, inilah pengalaman sekali seumur hidup, mendayung dari Pasar Ikan ke Laut Jawa. Kalau saja tidak prihatin akan merusak harga pasar, kuyakin tidak akan ada yang berkeberatan membayar dengan tarip di Kanada, $ 20 per hari kepada si abang yang cukup 'amused' melihat ada 3 orang Kanada mahir berbahasa Indonesia :-).
Mendapat Warisan. Sungguh, meski saya sedang mendongeng tetapi dongengan a la Bang Jeha bukan isapan jempol alias benar terjadi. Mereka yang berminat mengikuti 'Grief Support Group' yang semakin hari semakin banyak peminatnya (trims sekali lagi kepada Yono yang tanpa banyak cingcong sudah melakukan setup-nya), pasti masih ingat bahwa saya kehilangan dua teman baik di dalam kunjungan kali ini. Satu si Paino dan satu lagi sahabatku naik gunung, O. Guna memudahkan akan kupakai nama lain untuk O. sohibku ya, Cynthia deh sebab saya senang akan nama ini dan dulu bertekad kalau sampai punya anak perempuan akan kuberi nama Cynthia :-). Ia bukan saja temanku kemping dan naik gunung, juga teman kalau aku sedang sumpek dan ingin berbagi cerita. Sering kukunjungi rumahnya dan mungkin pacarnya juga tidak tahu :-). Ya, sejak saya bergaul erat dengan Cynthia, ia sudah mempunyai pacar, anak bae juga sehingga tidak kusaingi :-) lagipula Cynthia beberapa tahun lebih tua dariku. Senang sekali ngobrol dengan Cynthia karena salah satu hobinya membaca buku-buku roman. Jadi ia sangat "berpengalaman" dengan kasus-kasus hubungan cowok-cewek :-). Lagipula Cynthia cukup luas pengetahuan maupun pergaulannya, pokoknya sreg untuk diajak mengobrol ngalor-ngidul. Jadi, di suatu siang, setelah mendengar kabar tentang meninggalnya, saya dan Cecilia bertemu dengan L. suaminya. Kami berbincang-bincang cukup lama sambil makan siang bersama dan menghibur hatinya yang sedang berduka karena ia syok ditinggal sedemikian mendadaknya. Eh, di akhir pertemuan L. menawarkan kepada Cecilia, apakah ia mau diberi sepatu Cynthia yang masih baru alias belum pernah dipakainya. Tentu saja isteriku yang juga kenal baik kepada Cynthia mau, sebagai kenang-kenangan akan persahabatan kami. Jadi setelah berjanji bertemu, L. membawa sepasang sepatu baru yang setelah dipas oleh Cecilia, ternyata cocok. Itulah satu lagi pengalaman kami di kunjungan kali ini, mendapat warisan dari sahabat kami, almarhumah O., melalui suaminya.
Alah Biasa Karena Bisa. Tidak, otakku belum terbalik dan memang demikian bunyi peribahasa versiku :-). Memang sih sering alah bisa karena biasa. Misalnya di hari-hari pertama di kota Betawi, maklum kamar yang kami tiduri tidak ber-AC dan saya tidak suka memakai obat semprotan nyamuk, kami "digotong" nyamuk. Bila kupandang lengan dan kakiku, masing-masing "berhiaskan" sekitar 10 bentol-bentol yang cukup besar dan merah warnanya. Anak Kanada ini sudah 2 tahun tidak pulang kampung dan tidak terbiasa lagi dengan air liur nyamuk Betawi. Barulah setelah kami seminggu, kulit mulai terbiasa meski nyamuk pasti masih senang kepadaku. Nah, yang saat-saat ini kualami adalah kebiasaan-kebiasaanku yang baik, hanya karena "racun" tiga minggu di Betawi, menjadi terkalahkan. Salah satunya adalah kebiasaan memakai sabuk-pengaman atau seat-belt. Setiap kali saya menyetir, saya menjadi lupa dan baru sesudah mobil berjalan seratus dua-ratus meter, baru saya ingat bahwa saya belum memakai sabuk-pengaman :-(. Soal kebiasaan tidur jam 12 dan bangun jam 6, jangan dikata lagi. Jam tidur dan bangunku masih kacau karena tubuh mengalami pergantian 12 jam. Itu hanya 3 minggu di Jakarta. Bayangkan kalau 3 bulan tinggal di Betawi :-). Pasti aku menjadi seperti supir angkot (angkutan kota) dalam mengendarai mobil. Syukur bahwa aku hanya diberikan visa maksimum 2 bulan yang pada kunjungan tahun 1997 hampir kulewati. Akibatnya bukan saja kebiasaan-kebiasaan baikku harus kumulai lagi, juga nama teman-temanku di kantor harus kuhapali kembali :-). Sampai tayangan berikutnya, salam dari Toronto.