Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 16

Kemarin saya bertemu dengan seorang sahabatku ketika saya masih berpolitik di jaman mahasiswa. Ia dikirim ke Irian Barat, proyek OPSUS. Bila Anda ABG dan tak tahu apa itu, itulah salah satu "dosa" Orde Baru ketika mereka memanipulasi rakyat Irian Barat di akhir tahun 60-an untuk memilih masuk RI di dalam referendum PBB. Tampangnya sudah tua sekhalei, padahal kutahu sebaya denganku. Kami lalu saling bertukar berita. Biasalah, anak berapa, apa masih sekolah, sudah kawin belum, deeste deesbe. Tidak heran ia kelihatan tua, wong sudah punya 1 cucu. :-) Nah, prenku itu hanya satu contoh. Masih banyak kami bertemu teman sebaya kami yang sekarang tampangnya sudah tuwek banget. Sebagian bertanya, "Jus, rambutlu dicat? Kumislu kog masih item? Cil, kog awet muda sih?," dan seterusnya juga. Jawaban kami standard. Itulah bagusnya tinggal di Kanada, setahun sekali kami di-freeze alias masuk freezer. Jadi akibatnya kami menjadi lebih awet. :-) Tentu saja mereka harus percaya, lah buktinya di depan mata :-). Ya, kalau kami terus ngobrol, akhirnya mereka tahu bahwa saya dan Cecilia aktif berolahraga. Hanya itu satu resepnya, hidup secara aktif baik mental maupun fisik. Jadi Anda-Anda temanku yang sedang kedinginan di Toronto, selamat menyekop salju. Nikmatilah hidup di dalam "freezer" sebab saat ini saya sedang kepanasan bak di neraka :-).

"Berape duit sekilonye Bang?," kata ibuku ke si abang yang meneriakkan beliannya. Ya, tak salah lagi, ia adalah tukang loak dengan salah satu komoditinya, yakni kertas koran bekas. "Lima ratus Nya," kata si abang. "Delapan ratus kalu mau," kata ibuku yang salah satu penghasilannya memang dari berjualan koran bekas. :-) "Lima." "Engga ah, sebelon Lebaran 600," kata ibuku lagi yang rupanya cuma iseng ingin memeriksa berapa harga "saham" koran bekas di awal tahun ini. :-) Itulah sesuatu yang pada waktu saya baru menjadi imigran di Toronto, setiap saya membuang koran berkilo-kilo, saya suka bergumam sendiri, "Di Indonesia jadi duit nih." :-) Untunglah sekarang ada program daur-ulang alias recycling yang dilakukan pemerintah kota sehingga kita tidak merasa terlalu menyesal tidak bisa menjualnya ke tukang loak.

Di dalam rangka mengajarkan Java tool ke wong Jawi di tanah Jowo, saya mulai bertemu dengan para programmer ini. Sedih hatiku. Mereka sama sekali tidak up-to-date di dalam ilmu komputernya. Boro-boro mereka menggeluti Linux seperti anak Amrik dan Kanada. Melihat program yang ditulis dalam bahasa Java saja mereka tidak pernah padahal mau mempelajari soal situs Web. Kuanjurkan mereka untuk membeli atau membaca buku Java for Smarties. :-) Kepada juragannya, kusarankan untuk membina SDM (Sumber Daya Manusia) di perusahaannya, memberikan kesempatan untuk karyawan terus mengapdet ilmu mereka. Di dalam dunia komputer, apa yang kita ketahui dan pelajari, dalam waktu 2-3 tahun sudah daluwarsa. Itulah sebabnya, meskipun SDM di Indo jumlahnya cukup seabreg-abreg, mereka "nehi acha" dibandingkan dengan anak-anak India yang sering mendapat kontrak karya pengembangan perangkat lunak (software) dari mancanegara.

Seperti Anda ketahui, saya mulai bermobil dari hari pertama daku di Betawi. Kemarin saya ke daerah Kota, karena mau syoping membelikan CD casette untuk ibuku. Maklum kismin, ia hanya punya radio kaset padahal saya membawakan oleh-oleh lagu-lagu jaman nostalgianya di dalam CD. Asyik sekhalei bermobil bisa pindah jalur saenake-dewek tanpa diklakson dan setiap detik kita bisa membunyikan tuter, tin tiiiinnn ... :-) sampai back-seat driver atau kenekku ngiri dan mengeritik timing membunyikannya tidak efisien :-). Nah, malamnya kami harus pulang cukup jauh, dari daerah Tomang, sehingga kami dibekali beberapa kiat untuk survive :-). Soalnya lagi, rumah ibuku ada di daerah rawan banget, yakni harus melewati persimpangan pabrik Coca-Cola yang bagi orang lokal pun angker. Ambil jalan tol dan jangan lewat jalan biasa, bunyi kiat pertama. Amblas pren, kami salah ambil jalan sehingga tidak menuju ke arah tol tetapi tetap di jalanan biasa. Sudah, kuambil rute lewat Gunung Sahari mau menuju Salemba, menghindari daerah sekitar Pasar Senen. Weleh-weleh salah lagi ambil jalur, bukannya ke Salemba, kebuang ke Senen. Jadi Cecilia lalu menyitir kiat kedua untukku: "Yang, kalau cellphone-mu berbunyi di persimpangan, jangan terima (telepon)," katanya membeo apa yang dinasihatkan sedulurnya. Soalnya, perampok di musim bom ini memperhatikan siapa-siapa yang memiliki HP (istilah cellphone di Jakarta) di lampu-lampu stop dan akan bergegas "mengamankan" HP penumpang di dalam mobil bila nasibnya apes. Itulah prens sadayana, caranya orang survive di kota ini, dengan saling membagi kiat, bagaimana untuk hidup di dalam rimba belantara bernama Jakarta.

Seorang temanku kemarin memecahkan rekor. Kuyakin. Kali ini taruhan ambil-ambilan IBM ThinkPad-ku yang harganya 10 kali lipat HP di atas pun aku berani. Kuberani bertaruh, sepanjang hidup Pramoedya Ananta Toer, tak pernah beliau di dalam sekejap diminta menanda-tangani seluruh judul bukunya yang dimiliki penggemarnya :-). Kutidak bercanda prens. Temanku membawa satu peti buku-buku karangan Pram, dari mulai yang dibelinya di atas jembatan penyeberangan :-), sampai ke yang tukang loak, hingga ke toko buku. Waktu aku membantunya membuka halaman kedua setiap buku, agar siap terbuka bagi Pak Pram, kuberhitung. Satu dua tiga, sepuluh dua puluh, akhirnya daku menyerah. Entah berapa puluh buku Pram yang dimilikinya. Pak Pram sudah semakin tua memang dan asap rokoknya terus mengepul selama kami bertandang. Ketika temanku menasihati Pak Pram untuk berhenti merokok, beliau berkata bahwa itulah tandanya ia sehat. Maksudnya, hanya orang yang masih sehat yang mampu untuk merokok. Ada benarnya, tak percuma namanya Pramoedya, si bandel :-). Hanya kalau Anda perokok dan berharap hidup sampai 75 tahun seperti Pram, hal itu hanya mungkin kalau dikau mampu menulis buku beberapa puluh judul :-).

Mong-ngomong fans, kalau penggemar Pram mencari dan menemuinya dari waktu ke waktu, demikian pula Bang Jeha Anda. Engga sombong ye. :-) Seorang warga salah satu milis dimana saya ngerumpi yang tinggal di Amrik dan sedang berkunjung ke Jakarta juga, kemarin mencariku sampai ke pelosok-pelosok Pulo Mas. Ia tinggal di Houston dan tak perlu kusebut namanya. Soalnya ia datang untuk memohon restuku. Ia membawa gacoannya anak Amrik. Kuberi mereka berkat hanya tentu sebagai layaknya romo gadungan, tanpa tanda salib :-). Dahulu, kalau aku menulis dongengan di dalam bahasa Inggris, aku suka heran kalau ia berkomentar bahwa tayanganku ia salinkan (forward) dan berikan kepada temannya. Sekarang baru kutahu bahwa itu teman istimewa dan sudah kubertemu dengan anak Amrik yang cukup bawel tersebut, padahal ngakunya ngensinyur :-).

Anda yang sudah lama tinggal di Jakarta dan pencinta makanan mungkin tahu soto Betawi Bang Mamat di pinggir lapangan Persija di Menteng. Waktu saya masih suka kesana di tahun 70-an, kapasitas warungnya hanya 2 bangku panjang, that's it. Ketika saya sudah pindah ke Toronto dan suatu ketika kangen akan soto Betawi, berkat Internet :-), ada yang menginformasikan dimana soto Bang Mamat bermetamorfosa. Yakni di prennya bernama Bang Husein sebab ia sendiri lalu pensiun. Nah, ketika daku pertama kali makan soto Bang Husein yang memang sama enaknya dengan soto Pak Mat, istilah panggilan kami bagi si abang, kapasitas sang restoran "amigos" (Agak MInggir GOt Sedikit) itu hanya beberapa bangku. Ketika kemarin dulu saya mengunjunginya lagi dengan beberapa sahabatku di Jakarta warung soto Bang Husein sudah bisa menampung sekitar 60 orang. Namun, antriannya bukan alang kepalang. Tak kalah jumlahnya dengan yang sedang makan di dalam restoran. Yang menarik adalah sistim serabat-serobot di dalam mencari tempat duduk. Si Empok Cecile, ikut saja masuk ke dalam mengikuti teminnya yang memang seleboran dan sradag-srudugan :-). Tak lama kemudian mereka sudah berhasil mendapatkan tempat duduk, memenangkan saingan dari beberapa puluh orang lain yang menunggu agak di luar. Itulah lagi survival skill di kota ini, buang suara dari hati ketika suara keroncongannya perut lapar lebih kencang terdengar :-). Sambil menunggu Bang Jeha menikmati soto Betawinya, sekian dulu dongengan kali ini, sampai berjumpa.

Home Next Previous