Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 18

"Yang, disinilah aku menonton tukang beca main kiu-kiu dan domino," demikian kataku kepada Cecilia ketika kemarin saya mengajaknya turne meninjau kemajuan kampungku di Gang Tepekong :-). Ya, tiada acara pulang kampung yang "aci", istilah Betawi untuk sah, sahih, bila kita tidak menelusuri jalan-jalan, gang di kampung kita sewaktu kita masih bocah. Kutunjukkan pohon mangga dimana Bang Jeha sering "mangkal", mangga harum-manis yang oke puya. Sayang pohon jamblang di sebelah bekas rumahku ketika masih kecil, sudah ditebang. Memang pohon jamblang sangat memakan tempat sehingga sudah punah di kota Jakarta ini, yang harga tanahnya semeter persegi dapat dibelikan jamblang sepabrik :-). "Disini tempat aku ngelecein anak-anak kampung membeli "permen enak" bernama "C...i L......n" kataku lagi sambil menunjuk warung Encek yang menggampar sang anak. Encek encim mana yang tidak marah kalau ada entong-entong maupun akew-akew "ngomong kotor" :-). C dan L bukan singkatan nama orang memang, tetapi kata bahasa Tionghoa untuk perabotan perempuan dan laki-laki.

Hari-hari ini daku sedang mengalami beberapa kendala. Bukan saja perutku mulai amblas karena kemarin makan bakmi kampung yang dijualnya di dekat pelbak (istilah Betawi untuk tempat sampah) tetapi para mesinku bertingkah-laku aneh. Satu dua mesin bengong ketika kami meng-install 'Java tools'-ku. Semprotan omelan coro Jowo tidak digubris mereka :-), wong sang komputer bikinan bulek. Akhirnya kutemukan kebegoannya. Tidak semua mesin dengan Windows si Bill ada Internet Explorer-nya padahal perangkat lunak itu dibutuhkan. Memang sih ada di dalam readme file', apa-apa yang perlu dipasang dan dibutuhkan sang perangkat lunak, hanya mana ada programmer yang mau membuang-buang waktu membaca suatu 'readme' :-). Sudah begitu, mental santai para prenku jelas terasa, maklum masih suasana lebaran. Sang kepala proyek, prenku yang selama 29 tahun secomberan dan sama-sama menjalani 'basic training' di Hong Kong 3 bulan, suka mendongeng. Salah satu yang menarik: alkisah ada suatu proyek yang gampang banget, sama sekali tidak teknis tapi menyangkut mental dan psikologi manusia. Pindahan kantor atau ruangan. Selama 6 bulan proyek "canggih" itu tidak beres-beres juga sehingga diimpor ceritanya konsultan dari Australi. Di dalam waktu sebulan, si bule berhasil menyelesaikan proyek, memindahkan orang-orang bermental feodal di comberan tersebut. Tak heran sebab negara ini lebih patut disebut Kerajaan Indonesial. Satu lagi buktinya.

"Yang, 15 menit lagi aku akan sampai di Santa Maria," kataku ke Cecilia yang akan kujemput sepulangku dari kantor. Mudah sekali rutenya, dari Landmark Center balik ke arah utara-nya Jl. Thamrin, lewat RRI atau Medan Merdeka Barat, ke Harmoni, belok kanan, sampai kan. Tidak semudah itu. Sudah jalannya macet karena arus lalulintas pulang kantor, eh eh eh semakin mendekati Medan Merdeka kog semakin gawat. Baru setelah mendekati RRI, kusempat melihat para pendemo, entah dari kubu atau LSM yang mana. Yang jelas puluhan perempuan berjilbab sedang duduk di tengah jalan, persis gayanya ketika saya dan para prenku berdemo di jaman KAMI/KAPPI. EGP lach yauw, memang musim demo mulai merebak lagi di kota ini. Hanya, ketika baru sampai di ujung selatan Harmoni, kog lalulintas sama sekali tidak bergerak. Bermenit-menit kutunggu dengan tak sabar sebab kasihan isteriku sudah menunggu sendirian di tempat rencana rendezvous. Eh eh eh lagi prens, tak lama kemudian sirene berbunyi dan beberapa voorrijder si yang punya negara lewat. Dua tiga mobil setelah itu, kemudian muncullah limousine si Gus yang pulang dari kantornya ke rumahnya :-(. Itulah sebabnya mengapa orang di kampung ini senang banget jadi raja dungkul. Kalau Anda di Melayu setiap harinya berjam-jam melewati masa mudamu jadi supir karena kemacetan, Gus Dur melalui masa tuanya dengan hanya beberapa menit sudah sampai. Tak heran orang betah jadi presiden RI. Coba si Gus dan pengawalnya harus bermobil di jalan-jalan yang rusak berat di daerah Mangga Besar. Kalau tidak patah pinggangnya, ya patahlah per mobilnya. Itulah nasibnya para sohib, sobat, sedulur kita yang masih harus tinggal di Respublik Indonesial. Pemimpinnya eng-ing-eng kemana-mana pakai mobil sirene, mereka perutnya yang teng-ting-teng kelaparan di jalanan yang macet.

Pak Ogah memang sudah tidak banyak beroperasi di pengkolan-pengkolan kota ini. Anda semua tentu mengenal Pak Ogah bila Anda anak Betawi. Bagi yang telmi, telat mikir, itulah anak-anak jalanan yang mengatur lalulintas, umumnya di U-turn agar supir yang mau belok bersedia nyawer karena dilancarkan prosedurnya. Apa yang kini kujumpai dari waktu ke waktu di lampu lalulintas adalah Pak dan Bu Kemoceng. Di Betawi, tak ada gunanya jasa ini sebab setebal-tebalnya debu yang menempel di kaca mobil, masih lebih tebal asap polusi kota :-). Kalau Pak Bu Kemoceng dapat membersihkan kaca mobil Anda di Toronto di musim dingin, apalagi kalau habis turun salju dan jalanan menjadi kubangan air garam, itulah baru jasa yang laku banget :-). Sayangnya belum lama ini DPRD-nya Oom Mel Lastman, walikota Toronto, berhasil menggoalkan U.U. anti 'squeege kids' alias tak diperkenankan lagi mencari nafkah di persimpangan jalan di Toronto. Kalau tidak, kutawari mereka apakah mau ikut menjadi imigran ke Toronto.

Seorang temanku belum lama ini mengabarkan bahwa ia sempat mengunjungi 'emergency unit' rumah sakit di Winnipeg setelah digigit nyamuk satu batalyon waktu terakhir kemping denganku. Merasa solider, sebagai prennya Bang Jeha juga mencobai UGD di R.S.Ongkomulyo. UGD adalah Unit Gawat Darurat, sama dengan 'emergency unit' di rumah sakit kita di Kanada. Kalau nyamuk masih kelihatan, bakteri bakmi warung yang kumakan lebih ganas. Sudah 4 Immodium yang kutenggak, 3 Bactrim Forte sebagai antibiotiknya, tetap saja perutku masih menscret. Prens, kalau Anda tinggal di Toronto dan suka mengenyek tanah airmu :-) tunggu sampai dikau dapat membandingkan kedua UGD-nya. Dua kali saya harus mengunjungi emergency di tahun-tahun terakhir ini. Sekali patah kakiku ketika jatuh skating, kedua kalinya patah tulang selangkaku ketika terjerembab cycling. Bang Jeha harus bersandiwara mengeluh dan merintih :-) sehingga queueing-nya hanya sekitar 2 jam-an. Soalnya patah kaki doang, tidak membahayakan jiwa. Nah, waktu saya ke UGD si Ongko, dalam waktu semenit saya sudah diperiksa oleh noni dokter. Ia menambahkan 2 macam obat, Smecta dan Diatab ke dalam jajaran obat yang perlu kutenggak. Demi efisiensi, obat langsung kita tebus disitu juga, tak jauh dari kamar periksa. Nah, ini yang dapat membuat Anda kejengkang bila Anda tinggal di Toronto. Kalau dispensing fee-nya saja untuk kita menebus obat Cdn $ 10, belum harga obatnya, total kolonel obat di Tanah Melayu setelah kukurs sekitar $ 3. Total jendral ongkos ke UGD-ku sekitar Rp 58 ribu, tak sampai $ 10. Jadi dispensing fee kita cukup untuk berobat lengkap di Kampung Melayu dengan pelayanan kilat. MenKes Ontario perlu belajar dari RS Ongkomulyo :-).

Kedalam kotak surat seteromku maupun ke message box HaPe pinjamanku yang canggih sedang bertubi-tubi tiba informasi yang engga oke. "PASUKAN SERIBU WAJAH MAU BAKAR JAKARTA," kata satu berita dengan huruf besar semuanya. "Jangan keluar rumah besok bila tidak terlalu perlu," kata berita lainnya. Itulah suasana hidup di Jakarta ini prens sadayana. Kita mendapat tekanan psikologis setiap saat dan menjadi penyambung segala macam berita. Survival of the species? Mungkin, karena dengan berbagi berita dan beban mental itu, orang merasa tidak lagi sendirian di dalam menghadapi ancaman. Hanya tidak mungkin manusia dapat tahan terus-menerus dihujani berita teror. Ia perlu beradaptasi dan salah satunya adalah "to let go", variasi dari paradigma yang kudongengkan di atas. Ia perlu mencuekkan berita yang tak terlalu heboh. Itulah sebabnya kalau kita di Toronto menelepon sedulur kita ketika sedang terjadi kerusuhan atau seusainya, jawabnya selalu standard: "Engga apa-apa, cuma bom doang" atau "Situasi aman dan terkendali" meminjam bahasa pejabat. Kapan beban mental ini akan berakhir, kutidak-tahu dan demikian pula kuyakin Anda tidak mempunyai jawabnya. Yang kutahu, gereja atau Misa Pagi cukup laku dan teman-temanku senang mendapat 'jubilee rosary' oleh-olehku dan Cecilia dari kota suci Roma :-). Salam dari Betawi, sampai kisah mendatang.

Home Next Previous