Hampir sebulan lamanya saya berada di Jakarta dan karena senang membaca sudah 4 kali saya ke toko buku Gramedia. Kunjungan yang ke 3 dan ke 4 hanyalah untuk 'browsing', tidak beli apa-apa. Buku yang kelihatannya menarik untuk dibeli, harganya tidak menarik meski sudah saya alihkan harganya ke dalam kurs $ (Canada), tetap masih kemahalan. Buku yang murah, kelihatannya tidak menarik untuk dibaca atau dibeli. Jadi karena haus bacaan, saya bongkar beberapa sisa koleksi buku yang saya tinggalkan di rumah orang tua saya. Bertemu dengan buku 'Dibawah Bendera Revolusi' jilid I dan II! Disamping senang membaca kembali beberapa tulisan Ir.Soekarno, saya teringat jaman remaja dahulu pada saat sering "digiring" ke Istora Senayan untuk mendengarkan pidato beliau. Memang terus terang saya tahan dan semangat duduk berjam-jam mendengarkan pidatonya. Tak heran bahwa ia dijuluki demagog kaliber internasional. Mendengarkan kotbah setengah jam saja saya sudah melihat jam tangan, apalagi kalau melantur kotbahnya, mendengarkan Bung Karno pidato tak pernah melihat jam rasanya.
Disamping tulisan Bung Karno, saya juga bertemu dan membacai kembali tulisan MAW Brouwer di awal tahun 70-an lewat koleksi tulisannya di buku 'Antara Senyum dan Menangis'. Nah, judul buku itu tepat sekali. Inilah yang saya katakan hati sering sedih kalau bertamu ke Indonesia di dalam tulisan saya yang lalu 'Serba Serbi Kisah Kunjungan ke Tanah Air'. Meski sudah 20 tahun lewat, tulisan Brouwer masih sangat relevan dan sangat mencerminkan keadaan sosial Indonesia saat ini, kalau bukannya lebih lebih lagi. Ketambahan, pagi ini saya membaca tulisan Wildan Yatim di Kompas berjudul 'Hidup Seperti Kerang' yang intisarinya adalah mengkritik manusia Indonesia yang hidupnya bak kerang yang membangun mahligai dan istana sebagai rumahnya. Kalau kerang memang butuh untuk membangun rumahnya "semegah" itu tetapi manusia Indonesia? Tulisan Wildan yang juga saya senangi sejak dahulu, sangat menarik untuk dibaca. Analisanya tepat, kritiknya bagus, masalahnya siapa yang akan mendengarkan? Apakah tunggu 100 tahun merdeka?
Itulah yang saya tak habis mengerti bisa terjadi di bumi tercinta ini. Banyak pemikir bangsa yang hebat, sejak jaman Bung Karno, MAW Brouwer, sampai ke Wildan Yatim. Tetapi mengapa kog tanah airku tetap seperti ini, kemajuan hanya bagi yang kaya untuk semakin kaya. Yang lebih lebih menyedihkan lagi, inipun berlatar belakangi tulisan di Kompas hari ini yang melaporkan Rakernas I Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rachman Hakim, semakin meruncingnya pertentangan antara berbagai kelompok di Indonesia. Sejumlah tokoh KAMI yang disebut eksponen 66 hadir disitu dan melihat nama-nama mereka serta kenal secara pribadi kepada beberapa di antaranya, saya mempertanyakan, mengapa kita dapat bersatu padu dan mengesampingkan golongan, agama, suku, ras, dsb, di tahun 66? Apakah agar supaya terjadi kekompakan dan semangat juang bersama, kita perlu mempunyai musuh bersama lagi? Apakah perlu adanya "revolusi" a la Bung Karno kembali? Tentu jawabnya dan semoga anda setuju, tidak. Hanya masalahnya, lalu apa yang kita "rakyat kecil" mampu perbuat disamping menulis dan berkomentar? Semoga ada di antara anda yang dapat melihat titik terang dan memberikan penawar rasa sedih sebab saat ini saya belum melihatnya dan hanya mampu bersedih hati.