"Lewat mana Pak?," tanya supir taksi kepadaku. Itulah pertanyaan sakti seorang supir taksi di Betawi, terutama mereka yang mau "nakal". Kalau Anda tidak mampu menjawab pertanyaan itu, "habislah riwayatmu" alias siap-siap membayar argo beberapa puluh persen lebih mahal. Pertanyaan itu juga hebat karena si supir "melemparkan tanggung-jawab" kalau sampai jalanan macet kepada Anda yang blo'on salah pilih rute. Jadi, jawaban yang baik adalah: "Gimana kalau lewat Pramuka, Diponegoro, Kuningan Pak, macet engga?" Itu rute utama ke kantorku dan terkadang atau ia bisa jujur bahwa memang rute itu sedang heboh karena ada yang demo di muka kantor PDI-P :-), atau ia suka menguji lagi, "Gimana kalau lewat Manggarai Pak?" "Kalau pagi suka macet Pak, mending lewat Menteng azha," kataku. "Iya Pak, benar." Artinya Anda lulus test si sopir taksi dan dianggap prennya :-). Anda lalu bisa rileks, mata boleh dipejamkan karena Anda tahu tidak akan diajak ikut "tour" keliling kota sebelum sampai ke tempat tujuanmu :-).
Bang Jeha Anda memang bertaksi sejak ia menjadi guru kemarin. Soalnya prens, saya tidak punya asisten hingga mulut sudah berbusa ngecap, kakiku hampir jompor keliling ruangan memeriksa kemajuan dan terlebih kemandegan para siswaku yang menjalankan lab-lab (exercise) tugas mereka. Kalau saja sebelumnya daku tidak mempersiapkan diri berenang sekilometer per hari, di akhir hari kakiku mungkin akan serasa bayem, disamping mulutku monyong kaya babi yang membawa kesialan bagi PT Ajinomoto :-). Sekali lagi, para muridku tidak mengecewakan pak gurunya hari ini. Semuanya berhasil menyelesaikan tugas sampai Lab IV yang serba ngejelimet dan panjang. Terkadang kubantu mereka melakukan 'debugging' tetapi seorang anak mencerahkan daku ketika sesudah memutar otakku 7 kali, daku tetap bingung kenapa masih terus terjadi kesalahan. Ialah yang menemukan penyebabnya, sesuatu yang belum terpikirkan olehku. :-) Tentu saja kubuat pengumuman mendadak akan jasanya disamping memberikannya sebagai kiat agar tim-tim yang lain jangan melakukan kesalahan yang sama. Siapa bilang anak Indonesia begok dan gosbloks? Seriusan, kalau saja anak-anak Indo ini dipindahkan ke Kanada semua, dalam waktu yang singkat Kanada akan menyaingi Amrik dalam jumlah patent dan hadiah Nobel yang diperoleh :-).
Bila Anda tinggal di Jakarta, kecuali Anda ABG, Anak Baru Gede, mestinya Anda kenal dengan Maria Oentoe. Saya bersahabat dengan Ma'i, nama akrabnya sejak ia di Ursula dan saya di Kanisius. Karena ia anak yang baik dan ramah, saya juga suka berkunjung ke rumahnya di Jl Pasar Baru Timur nomor 10 :-) (duluu). Nah, Ma'i belajar menyiar di Radio Angkatan Muda-ku. To be fair, ia lalu dididik oleh Pater Daniels (almarhum) bos Sanggar Prathivi. Sukar kukatakan, apakah Sanggar menjadi terkenal karena RAM atau RAM menjadi bagus karena acara-acara bermutu produksi Sanggar Prathivi. Eniwe, kami bekerja-sama erat dengan Pater dan para anak buahnya, mulai dari ketika studionya masih di Jl. Kemiri 15 sebesar kandang kambing :-) sampai sesudah sebesar rumah di Jl. Pasar Baru Timur di samping Gang Kelinci. Dari dulu saya mempunyai koleksi kaset berjudul "Lagu-lagu Daerah Seluruh Indonesia" produksi Madamaya yang dinarasi oleh Ma'i. Namun, saya tidak punya alias kehabisan yang nomor 2-nya. Jadi Bang Jeha hepi sekali ketika di kunjungan kali ini ia berhasil berjumpa dengan volume 2 serial itu, di dalam rekaman CD lagi. Yang lebih oke, koleksi nomor 2 itu dimulai dengan lagu dari Tapanuli kegandrunganku dan kemudian lagu-lagu Betawi kecintaanku :-). Hanya, weleh-weleh Ma'i, jij ben en beetje te laat zeg, itu Timor Timur sudah bukan propinsi termuda negerimu :-). Mungkin saya tak akan sempat berjumpa dengan Ma'i di kunjungan kali ini, jadi bila Anda berjumpa dengannya, sampaikan kritikku kepadanya :-).
Teman-temanku di kota ini sering melanglang ke mancanegara, terutama ke kota-kota di Asia. Dahulu kami sepakat bahwa kota yang paling murah makanannya adalah Bangkok di Thailand. Dengan hanya 10 baht kami sudah bisa makan nasi campur. Saat ini 1 US $ bisa ditukar dengan sekitar 40 baht tapi kata prensku sudah tidak ada makan kenyang 10 baht. Nah, di basement-nya Landmark, saya bisa makan kenyang dengan modal hanya Rp 6000-an atau 1$ Kanada. Jelas bahwa harga makanan di Indo murah sekhalei, sesuai dengan harga bensin premiumnya yang cuma Rp 1100 per liternya, seperlima dari apa yang kita bayar di Toruntung. Jadi, ketika kutanya kepada pimpro kursus Web development-ku, berapa comberannya menagih uang kursus, saya hanya bisa tersenyum kecut. Tebak, berapa persen dibandingkan dengan harga di Toronto, bila anak Kanada harus membayarnya? "Sepuluh persen Mas." kata Anda. Masih mending! Kursusku di Toronto, biayanya 5000 $ saja per orang. Di Betawi, para siswa ditagih ... tahan napasmu ... Rp 500 ribu alias tidak sampai 100 $ atau 2% dari harga di Kanada. Gilak sekhalei :-). Mana dikasih makan 3 kali lagi. Tidak jauh bedanya dengan harga kursus membuat kue seharian. Kasian sekali memang si Rupiah Melayu, semakin hari semakin terpuruk saja. Sehingga para pemasang iklan suka memanfaatkannya, "Stay at our hotel with Rupiah advantage, 275K Rp.," bunyi prosmotsi Holiday Inn di Lombok. Memang murah, 40 $-an semalam di hotel mewah sebab di Amrik hanya untuk tidur di motel dan di Eropa di emperan hotel :-).
"Ujud Misa hari ini: Selamat ulang tahun pernikahan yang ketiga untuk pasutri blablabla dan bliblibli, semoga diberi anak yang banyak serta sehat." Saya tidak mengada-ada, itulah ujud Misa di pagi hari ini di parokinya si Budi, Bonven alias Bonaventura. Tentu saja ada sederetan borongan ujud yang lainnya, dari mulai permintaan agar seorang anak lulus ujian, seorang bapak sukses di kantornya dalam memberikan kursus (bo'ong), sampai seorang ibu agar insyaf dan pulang ke rumah, deeste deesbe. Seperti juga Radio Sonora yang mempunyai pilihan pendengar, begitulah cem-macem permohonan umat di paroki Santo Bonaventura tersebut. Hanya ada keanehan sedikit kalau ikut Misa di pagi hari. Pelayan altarnya, kukira sejak si Budi centeng Bonven kabur ke Toronto, nihil alias nol. Padahal kalau hari Minggu, selusin per Misa :-). Kemana mereka yang harusnya bersemangat "Ad Deum qui laetificat juventutem meam"? Masa mudanya digembirakannya dengan bermain video game dan bukan lagi melayani Misa.
Anda di milis Serviam masih ingat kenekadan si Andy dan Threes mengirimkan daftar makanan enak di Indonesia atau sekitar Jawa Barat? Entah berapa puluh restoran yang kata keponakanku, hampir semua sifatnya AMIGOS, Agak MInggir GOt Sedikit. Karena tidak mau mengecewakan mereka, Bang Jeha mulai mencobai apa yang ada di daftar. Salah satunya adalah roti bakar Eddy yang terletak di dekat blok M Kebayoran Baru, di muka gedung PU, tak jauh dari mesjid Al Azhar. "Boljug (boleh juga)," kataku ke keponakanku yang mengatur acara makan disitu, lengkap dengan bubur dan sate ayam disamping roti bakarnya. Sehabis olahraga bermain badminton bersama kolegaku sekantor yang cukup melelahkan, maka apa yang dihidangkan kusikat saja bersama nyonyaku. Ya, setelah para muridku kuusir semuanya menjelang jam 5 sore sebab saya mau badmintonan, saya berangkat ke lapangan badminton PBSI dekat TVRI atau Hotel Mulia di Senayan. Para mahasiswa yang mendemo juga kusuruh pulang. Karena mereka tidak dapat uang lembur, maka memang mereka sudah gulung tikar menjelang jam 5 sore tadi. Prens sadayana, anak-anak Indo memang hebat-hebat kemampuannya berbadminton maupun napasnya. Pasangan lawanku dan si Empok mulai menepok bola dari awal sampai akhir, tak pernah berhenti selama 2 jam. Akan halnya hamba, dengan mudah kami dipecundangi, pokoknya stand-nya bikin malu anak Kanada deh, jangan tanya :-). Alasan sih banyak, kaki hampir gempor seharian mondar-mandir. Sudah 20 tahun tidak pakai kok bulu tapi plastik :-) sehingga touch-ku jelek banget harus bermain dengan kok bulu angsa itu. Lapangan tidak ber-AC sehingga dalam sekejap kausku basah kuyup. Terpaksalah saya membeli kaus baru yang dijual penjaja cem-macem di pinggir lapangan :-). Hesbats memang lapangan PBSI itu. Ada toko yang menjual raket, Yonex SP21 kumplit cuma Rp 500 ribu, sama dengan harga kursus Web-ku :-). Baju kausku Rp 35 ribu tidak kurang lagi kata si abang. Kalau mau beli sepatu, harganya mulai Rp 350K. Pokoknya lengkap deh, asal Anda membawa uang cukupan, Anda dapat memperlengkapi dirimu untuk bermain badminton, meski dari rumah berjas dan berdasi. Siapa bilang Indonesia hebat? Memang ya, salam dari Jakarta, sampai jumpa di kisah berikutnya.