"Inilah lapangan golf tempat orang-orang yang rumahnya dijarah mengungsi dan berkumpul Pak," kata si supir kepadaku ketika kami melewati daerah Pantai Indah Kapuk. Anda yang tinggal di Jakarta atau mengikuti berita kegilaan yang terjadi pada tanggal 13-15 Mei 1998 di Betawi tahu apa yang terjadi di Kapuk. "Kaya kiamat Jus," ujar si bos yang menjemputku dan mengajakku ke kantornya disitu, bercerita. Memang, bagi beberapa ratus perempuan Tionghoa di kota ini, dunia kiamat di hari itu, Tuhannya sudah mati! :-(, meminjam istilah Eli Wiesel dalam novelnya Night. Kami melewati Taman Grisenda, salah satu kompleks perumahan yang konon, tidak ada yang tidak dijarah. Semuanya sudah normal lagi, dihuni manusia, 'life must go on' kata mereka. Memang itulah yang tampak dari luar. Apa yang terlihat di negeri ini, sepertinya keadaan oke-oke azha. "Saya tak sangka kamu berani datang Jus," kata si bos lagi. "Hidup dimanapun berisiko Koh," kataku menenangkannya. :-) "Makanya jangan dagang aja Koh, orang Tionghoa perlu berpolitik," kataku lagi kepada si engkoh konglomerat. "Orang-orang Tionghoa di Kanada dan Amrik kuat karena mereka kompak berpolitik," kataku lagi. Lalu kudongengkan sedikit akan Gubernur Jendral Kanada, si Adriene yang dulunya imigran pengungsi dari Hong Kong. Si Engkoh konglomerat cuma manggut-manggut, mana bisa ia membantah sebab ia tidak membaca Toronto Star.
Masih mengobrol mengenai keadaan di Indo dan pusingnya berbisnis di jaman reformasi mandeg gini saya bertanya kepadanya kapan ia pensiun sebab Bang Jeha tinggal sebentar lagi bekerja di comberannya sebelum 'say goodbye'. :-) "Pensiun mau kerja apa Jus?," kata si konglo. Ada benarnya, diperlukan perencanaan sedikitnya setahun sebelum pensiun untuk mengetahui apa yang akan kita kerjakan setelah terima gaji melek. Alasan dia untuk terus bekerja sampai mati adalah karena tiadanya asuransi kesehatan di negerinya. "Kalau kita tidak mempunyai tabungan dan jatuh sakit, bagaimana Jus," katanya lagi. Ada benarnya juga. Hal itulah yang menyebabkan orang Tionghoa di Indo menumpuk hartanya, suatu jenis "asuransi". Kalau saja ada OHIP yang gratis (Ontario Health Insurance Plan, asuransi kesehatan pemerintah) seperti di Toronto, mungkin ia akan berhenti jor-joran mengumpulkan uang dan waktu yang lalu tersedia akan dipakainya untuk berdiskusi dan berdebat di milis :-).
Kemarin saya berjumpa dengan sekitar 20 warga Serviam di kota ini. Sebagian besar sudah memiliki visa Kanada, tinggal cabut menunggu konfirmasiku bahwa tidak ada rasialime alias mereka engga akan dicina-cinain di Toronto :-). Inilah seumur hidup saya pulang kampung berjumpa dengan sekitar 10 keluarga yang akan cabut. Sejak dari dulu sih, kalau pulang ke Melayu saya ditanggap, istilah Betawi untuk ditanya-tanyai, mengenai berbagai hal yang menyangkut menjadi imigran di Kanada. Kebegoan keadaan di Indo tercermin dari jumlah mereka yang ingin bertemu denganku dan Cecilia. Kepada Anda semua, sekali lagi terima kasih untuk traktirannya di Sari Kuring. Di Kanada tidak ada gurami goreng selezat itu karena pakai Ajinomoto :-), apalagi cumi bakar yang asyik banget tersebut. Banyak sekali pertanyaan mereka sampai saya mesti minta tambahan Aqua karena mulutku mulai berbusa :-). Untung ada Silvi yang sekali-sekali membantu menginformasikan apa-apa yang ia ketahui mengenai perimigrasian Kanada. Mayoritas pertanyaan mereka dilandasi kekwatiran. Siapa sih yang tidak kwatir pindah dari negeri yang sudah berpuluhan tahun dihuni ke nagari asing yang membaca iklimnya saja sudah mengerikan :-). Meskipun banyak pertanyaan yang secara psikologis sukar dijawab, semoga saya dan Cecilia telah berhasil untuk lebih memantapkan Anda-anda bahwa surga canoeist adanya di danau-danau di Ontario dan bukan di kali Pantai Indah Kapuk :-).
Masih dalam rangka kunjung-mengunjung, kemarin saya mendapat satu undangan, berhadiah lagi :-). Rupanya apa-apa di Indo saat ini harus ada hadiahnya. Buktinya, ketika saya memulai kursus saya kemarin, sang bos yang membukanya memberi kisikan kepada saya. "Mas Jusni, nanti saya kasih 2 hadiah yang dapat Anda berikan kepada mereka yang mau bertanya." Saya hanya manggut tetapi dalam hati berkata, "Gile sekhalei, mengajukan pertanyaan mesti dipancing dengan hadiah." :-) Tapi memang benar, anak-anak Indo kurang sekali sih assertiveness-nya. Yang heran, mereka bisa agresif tapi ini lain judul tayangan :-). Undangan itu adalah gabungan Perayaan Natal Idul-Fitri yang diselenggarakan oleh AREK-KAJ bersama PMII. Karena sudah janji bertemu Romo Sandyawan, dengan sangat menyesal saya tak bisa menghadirinya.
"It looks familiar," kataku ke diri sendiri ketika mobil meluncur sepanjang Jl. Pajajaran, Bogor. Benar saja, tak lama kemudian terlihat kompleks perumahan di suatu lembah di pinggir Kali Sempur. Itulah kampung halamanku juga, bagian dari hidupku ketika aku masih balita. Sejak masih bayi aku tinggal di Jl. Sempur 61 bersama kakekku yang memilih tinggal di Bogor sebab lebih cocok rupanya bagi anak Samarinda/Banjarmasin :-). Konon, kata ibuku sih, aku susah makan kecuali dibawa ke Kebun Raya di seberang Sempur. Jadi, setiap jam makan aku dibawa ke Kebun Raya Bogor, kreasi Sir Thomas Stamford Raffles. Ditengah-tengah alam yang asri itulah baru sahaya mau disuapi :-). Engga heran yah daku sekarang gandrung akan pemandangan alam dan merasa kerasan makan ditengah-tengah alam raya sambil menyuap sendiri. :-)
Cak Indratmo, bila bagimu pemandangan terindah di Melayu adalah, mungkin, gunung Semeru atau Welirangmu, bagiku adalah Pangrango Gede, si kembar. Kalau dikau masih ingat dongengku, ketika sedang menunggu di rumah sakit bagian ortopedi, manusia paling hepi di dunia, adalah ia yang baru saja dibuka cast-nya atau gips yang selama berminggu berbulan membalut sang tulang yang disambung. Hari ini pun daku berseri-seri melihat kedua gunung di atas, sama dengan anak yang cast-nya baru dibuka. Hanya saja Cak, kumelamun, apakah tanpa "sherpa" aku masih kuat mendaki sang gunung. Perhaps, it is only a wish. At the very least it brought back so many good memories. Demikian pula halnya ketika daku ke Misa di Gereja Megamendung. Bila dikau yang hapal seluruh tayanganku masih ingat, di Pengalaman Anak Betawi kesekian puluh, kubercerita yang dulu aku suka kemping di sebelah gereja itu. Sang gereja lama sudah menghilang. Sebagai gantinya, konon sejak 3 tahun lalu kata si Romo dari Sukasari, berdiri gereja megah dan bertingkat-tingkat gedungnya. Hesbats. Kali kecil atau 'creek' di sebelahnya pun sudah lenyap, bukan lagi kebo yang berkubang disitu, tetapi rumah villa berjogrok di atas bekas kali. Dengan modal apa yang masih ada di memoryku, kubayangkan ketika saya dan man-temanku mencari kodok di pematang-pematang sawah yang juga sudah menghilang di seberang kali. Asyiknya bernostalgila :-).
Berkat kebaikan si Marsel, agen bukuku di Betawi, saya sedang menikmati "Tales from Djakarta"-nya Pramoedya. Cerpen berbahasa Inggris yang bahasa aslinya sudah hilang lenyap itu, diketemukan si Alfred Ticoalu, tukang pukul yang kugaet dari Buffalo untuk menjadi satpam selama kunjungan Mbah Pram di Toruntung. Konon, suatu ketika, saat ia mengobok-obok perpustakaan Cornell di Ithaca, New York, ia berjumpa dengan buku yang tak dipunyainya itu. To make a long story short, terbitlah lagi sang buku. Nah, cerita yang berjudul "News from Kebayoran" memicuku ketika melihat adegan di sepanjang jalan raya dari Ciawi ke Puncak. It is about the oldest profession in the world. Di salah satu koran yang kubaca beberapa hari lalu, ada informasi, tak heran, bahwa prostitusi meningkat drastis di negeri ini. Konon yang paling gawat adalah di Pantura (Pantai Utara Jawa), tempat si Mario dulu tinggal. Di setiap kilometer di jalanan Ciawi-Puncak, bertebaran para calo mucikari. Kukatakan kepada Cecilia, ketika kami pulang dari Pondok Pinang sehabis bersilaturahmi dengan Mo Sandy, "Itulah Yang, tandanya ada yang berjualan." Tentu ia kebingungan, selain ia perempuan, mana ia sadar akan sisi gelap dari kehidupan tersebut. Ya, dengan kode morse "S", dit-dit-dit, sang calo akan menyalakan lampu senter atau sentolopnya ke arah mobil yang lewat. Calon pembeli tentu tahu akan hal itu dan akan menepi bila "panggilan alamnya" sudah tak tertahankan. Indeed, the oldest business in the world, yang mengalahkan bisnis Hudson Bay Company, perusahaan dagang tertua di dunia dari Kanada, is thriving in this part of the world :-(. Salam dari negeri si Aminah, tokoh pelacur THP di "News from Kebayoran"-nya Pramoedya. Sampai tayangan mendatang, salam dari Betawi.