"Orang IT mana ada pensiunnya Jus," kata Ag salah seorang teman kempinganku ketika kelik kami reuni kemarin malam. Memang saya sedang berusaha "menjual" kepadanya, untuk bersamaku keliling Indoneisyia bila saya sudah pensiun. Soalnya ia salah satu temanku, pencinta alam yang telah menjelajahi tanah air kita, dari Sabang sampai ke Merauke :-). Seriusan, ia bermobil dari Jakarta sampai ke Banda Aceh bersama isterinya. Sekeluarga ia pergi ke Irian Barat menapak-tilas di pegunungan Jayawijaya. Ia juga fit sekali sehingga meski umurnya hanya berbeda beberapa tahun denganku, ia masih mampu mendaki Gunung Gede, 7 jam non-stop katanya. Pendaki yang prima, dapat mencapai Gede dari Cibodas sekitar 5-6 jam sehingga prestasinya, not too bad. Tidak kutanya berapa puluh kilo beban yang dibawanya sebab hal itu dapat membuat pendaki sehesbats Reinhold Messner pun empas-empis kalau harus ke Gede membawa 50 kg beban. Hanya, meski sedemikian saktinya ia, tak bisa ia cuti berminggu-minggu. Katanya lagi, "Jus, kalu gue pegi ama elu 3 minggu, gue pulang "sawah" gue ude diambil orang." Ia tidak becanda. Di jaman sekarang di Kampung Melayu ini, sehebat apapun jabatanmu, hanya dalam waktu beberapa jam pangkatmu dapat sirna, digeser mereka yang lebih sakti lagi darimu.
Teman-temanku di kelik itu memang orbek semuanya. Si Ag itu mantan presdir salah satu bank yang pastilah Anda yang tinggal di Indo tahu. Tidak ada tokoh di Indo yang tidak mereka kenal, terkadang pribadi. Jadi mereka mensyer siapa siapa yang dalam waktu yang singkat, dicopot, karena tidak ngerti "how to play the game" di comberannya. Kesempatan reuni dipakai buat saling berbagi info. Saya mensyer teman-teman kami di mancanegara yang masih kuikuti jejaknya, mereka mendongeng mengenai para prens kami di Melayu. Si A barusan mati kena serangan jantung, si B sedang recover setelah terkena stroke, si C sudah jatuh miskin karena tak sanggup membayar hutang, si D melarikan duit satu trilyun Rp, si E berhenti bekerja dan jadi pendeta. Semuanya bukan isapan jempolku tapi kisah nyata yang dapat kuteruskan sampai huruf Z. Jadi prens sadayana, di negeri yang diklasifikasikan sebagai "messy states" ini dapat terjadi dialog sbb. "Pak PresDir, berapa bapak mau menyumbang untuk partai ABC?" "Ogah Pak." Keesokan harinya, secara ajaib, turunlah surat perintah agar Pak PresDir lengser digantikan oleh PresDir baru yang datang dari langit, titisan dewata. Jadilah Pak PresDir kita "Pak Ogah" di U-turn kalau saja ia selama ini tidak memakai aji mumpungnya. Artinya, selama ia masih berkuasa, ia harus menumpuk harta benda, agar bila ia digeser, ia akan mengalami "soft landing". Untuk Anda yang belum tahu kriteria suatu "messy states" (Rusia adalah negeri yang satu lagi), inilah negara dimana korupsi meraja-singa, kekuasaan terpecah-belah dimana baik tentara, DPR, pemerintah maupun sisa-sisa orde lama saling berebut kuasa. Messy state because it is too big to fail; too messy to work.
"Yang, kita ke Bandung yuk," kata Cecilia mengajakku di awal kunjungan kami kali ini. "Ngapain?," tanyaku. "Makan siomay Bandung." "Gile sekhalei kalau kamu mau ke Bandung hanya buat makan siomay," kataku tanpa perlu mengubah paradigmaku. Soalnya, mau makanan atau masakan apapun ada di Jakarta ini, kecuali kue ladu :-). Buktinya, bermobillah sepanjang Kelapa Gading Boulevard dan dikau akan bertemu dengan 100 kedai restoran warung makanan dari seluruh daerah di tanah air. Setiap minggu makan di Kelapa Gading, setahun masih belum habis restoran dan warung yang telah Anda kunjungi. Nah, demi memuaskan dahaganya nyonyaku akan siomay Bandung, tadi kami mengunjungi Pasar Baru sekalian cuci mata pelepas kangenku :-). Di lantai bawah Toko Matahari memang tersedia segala macam masakan yang populer, dari siomay Bandung ke gado-gado Boplo Gang Cemara sampai ke nasi campur Gang Kenanga. Dari Bakmi Gang Kelinci ke es doger sampai ke KFC alias ayam goreng Oom Kolonel Sanders. Hanya Cwie- mie Malang dan Rujak Cingur Tunjungan yang tidak kulihat dijual disitu. Melewati Toko Buku Tropen, yang lebih tua dari usiaku, saya sempat tersenyum dalam hati. Disitulah dan di Toko Buku Gunung Agung Gunung Sahari (dulu dekat depan Gunung Sahari VI, sekarang sudah wafat) saya melewatkan waktuku, membuka-buka halaman buku berbagai topik. Asyiknya membaca.
Semacet seperti apapun lalulintas di kota kediamanku, Toronto, tidak ada artinya dibandingkan dengan macetnya Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk di hari ini. Ya tentu saja, engko-engko dan enci-enci sibuk berbelanja keperluan Sintjia. Dari mulai kertas angpao sampai ke kembang sedap malam, dari mulai kue keranjang untuk sembahyang sampai ke ikan bandeng buat dipindang. Karena itulah, setiap kali saya pulang dari kunjungan ke tanah air, begitu bisa menyetir lagi di jalan raya, mulutku tersenyum lebar kaya orgil :-). Semua serba teratur dan mengasyikkan, tidak demikian halnya bagi temanku si Dp warga kelik kempinganku. Ketika ia harus ke Amrik dan mencoba menyetir, ia terkena senteres berats. Kutidak berdusta, ia jatuh sakit. Katanya, "Gua udah terbiasa dengan kesemrawutan dan selalu tidak mempercayai rambu lalulintas. Lah di Amrik, masa gua suka stop di depan lampu ijo. Sakit gua." Bang Jeha selama ini masih stop hanya kalau lampu sudah merah, tetapi besar kemungkinan kebiasaan menyodoknya saat ini, akan tersisa terbawa sampai ke Toronto.
Sekelompok orang berkumpul di muka rumah ibuku kemarin pagi ketika kami pulang dari Misa di BonVen. "Engga denger tembakan barusan Pak?," kata satu centeng alias satpam dari sebelah rumah kami. "Engga, ada apa Pak?" "Mobil di seberang barusan dicolong," katanya lagi memulai siaran berita 'live' dari depan rumah. Tembakan bukan dilepaskan oleh ketiga maling mobil tetapi satpam yang satu lagi dan kemungkinan berfungsi sebagai stress-reliever-nya. Bisa juga untuk memperlihatkan kepada majikannya bahwa ia 'still in charge'. Hanya sayangnya ketika ia menembak, sang maling mungkin sudah ada di dekat Pacuan Kuda Pulo Mas. Entah apakah mereka sudah melakukan "market survey" mengamat-amati mobil yang sudah distart sedang dipanasi dan ditinggal oleh sang supir ataukah ada main. Ya, konon sang supir tetangga seberang adalah supir baru. Seperti temanku yang serba curiga di dalam mengendarai mobilnya, rakyat Betawi pun, berdasarkan pengalaman hidupnya, perlu selalu curiga. Tidak mustahil, sang supir "bekerja sama" dengan sang maling. Soalnya, tetangga yang satu lagi, belum lama ini mobilnya dibawa lari supir barunya, yang belum sempat dimintai dan dicatat KTP-nya. Itulah contoh bursa berita di kampung Jakarta.
Belum lama kami kembali dari Misa, seorang tanteku, saudara sepupu ayahku, datang bertandang. Ia tinggal tak jauh dari rumah kami. "Gimane ceritanye tuh Y?," tanyanya ke ibuku yang sama-sama anak Betawi seperti dia. "Kog bisa tahu sih?," tanyaku ke beliau. "Ye disini pan kabar kaye gitu langsung nyebar," katanya lagi yang mendengarnya pada saat ikut senam pagi bersama para warga kelab kebugaran di kampungnya. Weleh-weleh prens, tidak berapa lama datang lagi bokapnya si Budi. "Mau nitip lagi," katanya. "Amblas tuh ya mobil di seberang," katanya mengulangi berita "PNN", PuloMas Network News. "Kog bisa tahu P?," tanyaku. Soalnya ia sudah pindah ke tempat jin buang menantu setelah si Budi cabut ke Toronto. "Pan tadi baru ketemu Pak RT," jawabnya. Jadi itulah prens, berita dari PNN ini lekas tersebarnya karena disiarkan kembali oleh setiap orang yang sudah mendengarnya, tak lupa ditambahi bumbu-bumbu yang akan membuat berita lebih menarik. Misalnya, P bapaknya si Budi membawa bumbu dari Pak RT bahwa mobilnya masih gres, baru. Tanteku bertanya apakah malingnya kena ketembak, padahal tembakan cuma keatas untuk "show" doang. Ya, begitulah dinamikanya hidup di Jakarta, penyebaran berita perlu dilakukan secepat mungkin sebab terkadang, jiwa atau keselamatan hidup kita tergantung dari sang berita. Sekian dulu para pemirsa, Bang Jeha mau mencari ada berita menarik apa lagi dari para tetanggaku :-). Salam dari Betawi, sampai tayangan mendatang.