"Si Padang dicolong mobilnya?," kata tanteku, kakak ibuku ketika kami datang ke rumahnya kemarin di Tanjung Duren. Bayangkan, se-Jakarta sudah mendengar amblasnya Toyota tetangga ibuku. Bukan itu yang mau kudongengkan lagi tetapi betapa labeling dan stereotyping menjamur di negeri ini. Seberang rumahku si Padang, dulunya si Banjar. Sebelahku si Makassar dan seberang mencong (miring istilah Betawi) si Batak. "Ente sendiri?," tanya Anda. :-) Tergantung. Kalau ada beberapa Tionghoa segang, apalagi sederetan, mungkin kami mendapat label si Cina Betawi, sebelah si Cina Medan, sebelahnya lagi si Cina Pontien (Pontianak). Sori bagi para prensku yang engga suka membaca "four letter words" itu, tapi istilah Tionghoa baru mulai dipakai lagi akhir-akhir ini setelah si Makassar Habibie lengser :-). Juga, di dalam labeling, orang kan tidak peduli apakah itu menyinggung atau dapat menyebabkan THP. Waktuku kecil, rasanya, seingatku sih tidak ada labeling separah sekarang. Me-refer ke keluarga temanku si D. anak Jawa Islam prenku yang paling kudemen ketika ia habis disunat :-), kami tidak menyebut mereka si Jawa atau si Islam tapi si D. atau Ibu D. untuk ibunya, Pak R. nama bapaknya. Me-refer ke tetangga sebelah rumahku yang anak perempuannya manis-manis :-) dan berasal dari Parahyangan, kami tidak menyebutnya si Sunda, melainkan Pak Dj. atau si I., nama anak laki-lakinya yang jadi "anak bawang" karena beberapa tahun lebih muda dari kami-kami tapi mau ikut bermain. Pokoknya, para tetangga kami panggil sesuai dengan nama yang diberikan ortu mereka, bukan seenak-jidat diberi label daerah atau atribut agama.
Ketika Mas Philip prenku eks Paroki-Net mensyer kehepiannya bisa syoping ke sembilan gua Maria :-), kubertanya, "Aman tuh Mas, naik bis keliling Jawa?" "Ya, relatif amanlah, hanya terkadang memang bis suka ditimpuki," katanya. Entah apakah berita yang hari ini kubaca di Kompas ada di Kompas Online engga. Seorang bernasib sial yang tidak mendapatkan perlindungan karena "Tuhannya sedang libur", Parlindungan Tampubolon, harus kehilangan mata kirinya. Ia naik KA Parahyangan Jakarta-Bandung dan di dekat Purwakarta seorang "iseng" melempar batu yang masuk tepat ke matanya. Hampir saja ia amblas dibawa kelilingan, mulai dari Stasiun Sadang ke Stasiun Purwakarta ke R.S. Purwakarta yang tidak bisa menanggulangi kasusnya. Ia sempat mengalami syok karena kehabisan darah sebelum dirawat di R.S. Cicendo. Masih untung ia selamat, mungkin Parlindungan perlu berganti nama Untung. Bukan karena ia pemain sinetron (soap opera untuk Anda di Amerika Utara) tetapi apa yang kubaca di akhir berita yang memicuku menulis kisahnya. Oya, patut Anda ketahui, kata berita TV setiap bulannya 300 kaca jendela KA yang pecah disambit batu. Jadi, tulis Kompas, Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi Agum Gumelar menyatakan: Pemerintah tidak bisa mengawasi sepanjang jalur rel kereta api. Oleh karena itu, pengamanan jalur kereta api diserahkan kepada masyarakat. "Oh my God," kata Anda yang berbahasa Inggris.
Yes my dear friends, that is why anarchy is alive and well in this country. Saya jadi teringat ketika bersama beberapa temanku menghadap para direktur Imigrasi Kanada di Ottawa. "Could you give refugee status to the Chinese Indonesian?," kami menghimbau mereka seusai peristiwa Mei 1998 di Jakarta. "No, we can't do that, your country is not at war, your government has not abandoned to protect its citizen." Apa mau kukata, "Pale lu bau"?, tentu kami akan diusir dan dipanggili satpam :-). Anda yang tinggal di negeri tanpa hukum ini sudah tahu bahwa pemerintah sudah tidak mampu melindungi warganya dari bermacam-macam kekerasan, tindakan teror dan perbuatan kejahatan lainnya. Bila kita terkena musibah, berurusan dengan polisi hanya membuat kita jadi warga THP kelas berat. Kuambil satu contoh tanteku yang suaminya pensiunan pegawai negeri. Alkisah ia memiliki sebidang tanah hak miliknya yang sah yang mau dijualnya. Tanah itu jatah Departemen P&K untuk para guru ketika Sukarno masih berkuasa alias sudah puluhan tahun yang lalu. Saking lamanya, maka tidak ada satupun dari antara koleganya yang berhasil menjual sang tanah dengan harga layak. Ancaman, pemalsuan surat, tekanan dari pihak yang berkuasa dan beruang membuat para pensiunan guru di pihak yang lemah. Hanyalah tanteku satu-satunya yang berhasil karena ia gigih di dalam berjuang mempertahankan haknya, disemangati oleh suaminya (yang sudah agak jompo). Tetapi, sebagai akibatnya harus berurusan dengan polisi, ia menjadi trauma, THP banget bila melihat atau mendengar kata "polisi".
Masyaallah, gila bener-bener deh. Saya sedang mengetik tayangan ini sampai di baris atas ketika telepon berdering. "Si F. (nama keponakannya Cecilia) dirampok rumahnya," kata iparku yang agak panik. Kalau dibilang si rampok mau membuktikan analisisku di atas, lah kan belum kutayangkan. Keponakanku itu dilanda kemalangan lagi. Di tahun macan di bulan Mei, kios atau counternya dibakar habis di hari "kiamat" itu. Sebagai anak Tionghoa yang gigih, despite the set back, ia berhasil memiliki toko. Sekarang semua simpanan emasnya amblas dirampok di awal tahun ular. Kurasa 2 tahun lagi, ia akan memiliki beberapa toko dan rumah yang dijaga satpam. Anda di Toronto menggeleng- gelengkan kepala tetapi begitulah cara berpikir manusia di Indonesia. Tidak percaya, silahkan dikau telepon keponakanku. Masih untung katanya, anaknya tidak ada di rumah ketika dirampok. Sudah kunasihati agar ia tidak melapor kepada polisi, hanya akan menambah ke-THP-annya.
"Pinter bener ye si bule bisa ngomong bahasa Indonesia, lancar lagi," begitu kata anak-anak di kampung yang pertama kalinya melihat tayangan TV yang di-dubbing. Pertama kalinya saya mengagumi dubbing adalah ketika tinggal di Hong Kong selama 3 bulan dan si bule bukan saja bisa ngomong Cantonese, mereka juga bisa berkelahi dan menangis dalam bahasa Kongfu :-). Tidak heran anak-anak di Indonesia serba "up-to-date" dengan kebudayaan Barat maupun Amerika Selatan karena banyak tayangan TV berasal dari negara-negara disana. Pernah saya syer sedikit, ketika saya terakhir ke Rochester, MN, sudah ada channel khusus Arab hanya si Arab tetap berbahasa Arab. Akibatnya ya anak- anak Somali dan teman-teminnya yang banyak ngerumpi di sekitar Rochester, tidak akan lupa bagaimana caranya mengucapkan "Assalam mu'alaikum wr.wb." :-) Memang kemajuan teknik perfileman di Indo sudah cukup oke, meskipun anakku Alfa yang sekolahnya mengenai subyek tersebut, banyak mengeritik ketika ia bulan Juli yang lalu pulang kampung dan menonton sinetron-sinetron TV Melayu.
Bila Anda tinggal di Jakarta dan imanmu lebih hesbats dari Romo Alfons yang skeptis dan pesimis :-), mungkin Anda sudah ikut rombongan jiarah ke Kramat V di dekat Kwitang, kampung halaman babe, engkongku. Seorang tanteku yang tak kalah skeptisnya dengan Romo Alfons bercerita ketika dibawa anak-menantunya kesana. Segala macam gerakan mata dicobanya agar ia bisa setara dengan menantunya yang dengan jelas-las-las melihat Yesus tengah memandang mereka. Dari mulai dijerengin ke dijuringin, dikicep-kicepin ke dikedipin, tetap saja yang dilihat di tembok adalah guratan-guratan yang tidak karu-karuan, itu kata tanteku. Ketika bacotnya yang gede, maklum ia anak Kwitang kaya si Mi'oen pacarnya Nyai Dasima, berkoar, "Ah gue engga liat ape-ape," langsung katanya ada yang nyeletuk. "Hanya mereka yang bersih dari dosa dapat melihat Tuhan Yesus." Tidak seperti Romo Alfons, tanteku menjadi insap karena memang merasa ia banyak dosanya. Ketika ia sedang merenungkan apa saja kesalahannya selama ini, rakyat pejiarah berteriak-teriak, "Itu lihat Tuhan Yesus menampakkan diri-Nya! Ia sudah datang, haleluya!" Tanteku melihat ke langit dan yang tampak hanya segumpalan awan katanya, tak mungkin memang dalam sekejap orang bisa menjadi suci :-).
Meskipun kota Jakarta ini banyak maling dan rampoknya, dari yang kelas teri alias maling ayam sampai pencoleng milyaran dollar, selama saya bisa berenang saya tetap betah :-). I love swimming. Ketika saya masih bekerja di cabang comberanku di Indo, saya menjadi ketua seksi renang sang kumpeni. Kerjaannya sih enteng, cuma menagih setiap bulannya dan jarang sekali ada yang ngutang atau menunggak. Salah seorang anggota yang setia, si N.K., sekarang jadi bendahara PKB sebab ia memang termasuk yang rajin nyetor duit :-). Nah, sampai saat ini, kalau saya berenang dan sudah agak lelah dalam melakukan stroke-stroke-ku, terutama bila bergaya bebas, saya switch bagian memory saya ke kolam renang Bojana Tirta di daerah Rawamangun. Ya, di kolam renang milik Bea Cukai tempat anggota IBM Club berenang itu, ada seorang bapak yang sudah cukup tua. Berenangnya selalu gaya bebas dan berpuluh kali ia mampu bolak-balik. Mulus sekali strokenya, perlahan sekali kecepatannya, pokoknya gaya rileks dan santai. Itulah yang kulakukan, meniru gayanya dan menikmati berenang di kolam renang yang tak berombak. Memang sih, di dunia ini tidak ada yang mengalahkan asyiknya berenang di Killarney Lake di pagi hari, ketika danau jernih itu seperti cermin dan suara loon sekali-sekali berbunyi, ailapyu ailapyu ailapyu ..... I love swimming out there among His creations. Selamat tinggal Indonesia tanah airku, bebek Kanada sudah memanggilku. Sampai berjumpa, bai bai lam lekom prens sadayana, sadulur sakabehna.