Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 26

Tiga rupa masakan restoran yang cukup uenak, dianterin ke rumah, hanya membutuhkan pengganti Rp. 44.000 alias sekitar Cdn $ 8 saja. Bandingkan dengan makanan di Zurich yang air di botol atau coca- colanya doang sudah 4 Swiss Franc (senilai dengan $ Canada). Untuk pensiunan golongan kere :-) (bandingkan dengan gaji pensiun Oom Lou Gerstner :-)) sepertiku, Indonesia sebetulnya pilihan yang sangat oke untuk hidup dengan penghasilan pensiun. Temanku yang masih mencangkul di Toronto pasti setuju atau tak takut lagi gajinya kemakan inflasi bila biaya hidup seperti di Jakarta. Masalahnya atau kendalanya tentu berlainan. Makanan memang murah dan seabrek-abrek hingga pengemispun tak perlu mati kelaparan. Namun karena salju tak pernah turun di kota ini, hidup lama-lama kan jadi membosankan, panas mulu :-) dengan variasi banjir dari waktu ke waktu :-(. Bukan itu saja tentunya yang membuat Indonesia bukan pilihan para pensiunan Kanada seperti banyak di Florida atau di Mexico serta negara Amerika Selatan lainnya. Masalahnya adalah keamanan dan ketenangan hidup, tanpa perlu menyembunyikan ponsel (telepon seluler) bila kita bepergian, tanpa perlu was-was di setiap persimpangan jalan. Boleh Anda wawancarai setiap pengemudi mobil di kota Jakarta ini, pastilah ia mempunyai kisah THP kecuali mobilnya ada gambar bintangnya (baca: mobil ngabri).

Ya, seperti di setiap kunjungan pulang kampungku, saya pun mengambil SIM Internasional sebelum cabut. Semoga tidak akan pernah kuperlukan. Karena uniknya Jakarta, semakin bagus mobil yang kita kendarai atau supiri, semakin gosbloks lah kemampuan mengemudi kita, diukur dari "sekolah mengemudi Betawi". Artinya, kita tidak akan berani untuk menyodok atau akan terus disodok dari waktu ke waktu. Karena masih sangat okenya Toyota Kijang yang kupinjam saat ini, maklum tahun lalu pemiliknya membelinya khusus untuk Bang Jeha bisa bermobil (contoh kesayangan Oom Han kembali :-)), maka saya hanya mampu mengucap kalau disodok. Bukan berdoa tentu tapi kosa kata Betawiku seperti contohnya: "Ja'ul loe". Supir goblok Anda semalam benar-benar blo'on. Saya mau ke suatu gedung di Kuningan, Plaza 89 namanya. Hanya beberapa gedung dari Menteng tapi berada di sisi kananku alias harus U-turn. Sudah sejak mulai jembatan Kuningan, Bang Jeha dan keneknya mulai memperhatikan nama-nama gedung di kanan, tidak ada satupun yang bernama Plaza 89. Terpaksa ponsel dipakai untuk bertanya ke sang sponsor pertemuan. Berhubung ia pun bukan pegawai di gedung itu, berkat bantuan pren eks P-Netku, Sisca Grandy alias si nCis, saya dibantunya lewat hubungan ponsel untuk mencapai sang gedung. Masya-malaikat, nama sang gedung hanya terpampang untuk dilihat dari arah lalulintas di selatan. Coba bilang yang ada Wendy-nya, pastilah supir Anda tak perlu harus sampai ke ujung Kuningan. Untungnya sang sponsor menghadiahkan kue jongkong di akhir pertemuan sehingga IQ-ku yang jongkok dalam mengemudi menjadi oke lagi.

Tim Thomas diarak keliling Bandung, begitu bunyi berita Kompas pagi ini. Sayang tidak bisa KKN :-) sebab saya juga ingin ke Bandung meski tak mau diarak tentunya. Soalnya, konon, outlet factory dari cem-macem benda duniawi berjubelannya di Bandung dan siapa tahu ada sepatu Gortex yang sedang kuidam-idamkan. Bukan itu yang ingin saya ketengahkan sebetulnya tetapi inilah bedanya pahlawan nasional bulutangkis (atau olahraga lainnya) di kampung kita ini dibandingkan dengan kampung bulek. Atlit pemenang medali Olympiade Kanada misalnya, boro-boro diarak, diterima dan dijamu Bupati Bandung, Walikota Cimahi, Walikota Bandung dan Gubernur Jabar, diberikan "angpao Sunda" bernama kadeudeuh, sudah ada yang akan menjemputnya di airport sudah bagus nasibnya :-). Kekecualian tentunya para atlit pro atau yang bisa dikomersiilkan kaya si Simon Whitfield juara dunia triathlon dari Vancouver, Canada. Di akhir berita itu bos tim Thomas Cup, Lutfi Hamid mengatakan bahwa "prosmotsi" yang dilakukan semuanya itu adalah agar menggairahkan kembali dunia bulutangkis di Indo sebab sudah kalah pamor oleh olahraga lain seperti basket hingga sukar mencari bibit-bibit pemain muda. Masih ingat cerita 100 "kecebong"ku kemarin yang berenang di Tirta Mas bersamaku? Itulah prens sadayana, bukannya fasilitas olahraga yang dibangun di kota-kota Indonesia, tapi shopping mall. Tak heran kalau anak-anak Indo mulai pada 'obese', terokmok bahasa Betawinya sebab "olahraganya" ke restoran :-(. Ketika saya masih kecil dan tinggal di Gang Mandor dekat Pasar Baru, selemparan batu ada 3 lapangan badminton. Satu di muka kantor kelurahan dimana pemain kampung bermain. Satu milik PB (Perkumpulan Bulutangkis) Progress dimana eks pemain Thomas Cup kita, Tan King Gwan bermain dan satunya lagi di halaman rumah temanku, D atau S.R., prenku anak Jawa yang ketika ia disunat kami menjadi hepi sekali (cerita rincinya ada di serial Pengalaman Anak Betawi). Bagaimana anak-anak mau dipicu dan dirangsang sejak kecil bila lahan untuk bermainnya hanyalah mal berbelanja? :-( Bandingkan dengan anak-anak kita di Toruntung yang leluasa bermain hockey ataupun basket dimana saja mereka sukai. Di muka halaman rumah, di lapangan sekolah ataupun di kelab-kelab khusus untuk bermain hockey. Satu lagi yang membuat olahraga itu menjadi populer atau sukses memang "kapitalisme" :-) alias kemungkinan menjadi pemain pro dan berganti nama "sugiharta". Kalau saja saya bisa menonton pertandingan semutu piala Thomas, 100 $ pun aku rela berpisah dengannya. Itu harga karcis yang jenis sedang untuk menonton pertandingan pro di Toronto. Menjadikan badminton suatu tontonan bayaran, mungkin perlu dipikirkan oleh Pak Lutfi dan dapat dijadikan salah satu "obyek pariwisata" :-). Tentu saja untuk wong lokal, harga perlu disesuaikan alias bila punya KTP, diskonnya 90% :-). Seriusan, anakku yang tertua selain bekerja di suatu stasiun TV olahraga (The Sport Network atau TSN) juga senang menonton pertandingan pro. Lebih sering ia mendapat karcis gratisan dan ia pakai kesempatan itu untuk berkencan atau mentraktir cewek-cewek yang ia taksiri. Satu lagi daya tarik tontonan badminton pro untuk dipikirkan Bang Lutfi. Sekian dulu dongengan hari ini, sampai tayangan berikutnya. Bai bai lam lekom.

Home Next Previous