Kemarin dulu saya bertandang ke rumah tante saya, adik ibuku. Anda warga Paroki-Sby mungkin masih ingat dengan teman kita almarhum Lukas Putuhena yang rumahnya di Jatibening. Tanteku tinggal dekat situ, tapi lebih jauh lagi alias di Cikunyir. Untuk Anda di Toronto letak kedua daerah itu di Bekasi kesono lagi, di arah tol ke Cikampek. Kucukup yakin, kalau waktu yang kami pakai untuk kesitu dilewatkan di jalan tol, kami sudah sampai di Cikampek. Sama seperti ketika mau bertandang ke rumah Lukas, ada Jeffry P. yang mengantarkanku dan Cecilia, tidak mungkin daku sampai ke rumah tujuan bila tidak diantar. Jalanannya berkelak-kelok, jalanan masuknya kaya gang rahasia alias tak jelas. En toh, yang membuatku kagum adalah tekad tante dan oom-ku bahwa itulah rumah atau daerah yang paling oke punya sedunia :-). Indeed home is where the heart is. Meski kulihat mata mereka masih sipit :-), mereka merasa hepi hidup di tengah warga mata belo. Sebagian yang tinggal sama dengan mereka, pendatang dari luar Cikunyir, lainnya warga asli disitu. Anak-anak mereka tinggal tak jauh, ada yang segang ada yang lain gang dan konon tak ada yang complain. Menantunya yang bekerja di Glodok membutuhkan waktu 2 jam untuk nyampe ke cangkulannya. Kalau Anda mengatakan, "Dikasih juga gue engga mau tinggal di tempat jin buang anak gitu," ente tidak memahami teori psikologi. Orang yang punya banyak pilihanlah yang sering tidak hepi. Karena mereka tahu sebagai keluarga elit (ekonomi sulit) mereka tak mungkin tinggal di dalam kota, mereka harus menyesuaikan processing cognitive-nya. Bila Anda penggemar tayangan psikologiku, mestinya Anda masih ingat akan 'cognitive dissonance theory' oom Leon Festinger. Supaya tidak terjadi disonansi, agar mereka langgeng umurnya, tempat yang jauhnya aujubilah biyung-biyung tersebut menjadi asri dan 'homey' bagi oom dan tanteku. Itulah bedanya cara berpikir kita warga Toruntung yang suka kwatiran mengenai keadaan di Indo dengan warga lokal. Kata Rudyard Kipling, 'West is west, east is east, never the twain shall meet'.
Sepandai-pandai tupai meloncat, sekali akan jatuh juga. Kata Cak Indratmo yang hapal semua tulisanku, itu ada di seri Pengalaman Anak Betawi :-). Peribahasa itu bukannya Bang Jeha Anda yang akhirnya kepincuk dengan anak Pekalongan tetapi kisah bojoku yang amblas perutnya. Karena hampir semingguan ia 'going strong' termasuk bisa menghabek es teler jalanan yang lewat depan rumah, ia menyikat segala macam sambel. Sambel memang biang penyakit atau kuman. Berbahagialah ia yang alergi kepada cabe :-). Karena sambel 'genuine authentic' Pempek Palembang yang kemarin dulu digasaknya, kemarin ia terkapar di ranjang. Anda para pendoa kami, kemungkinan besar Anda lalai akhir-akhir ini alias lupa berdoa :-). Becanda pren, moral of this short story, kita tak boleh takabur dan perlu "makan secukupnya" saja :-).
Anda warga Amrik Utara tentu paham bahwa alat KB IUD (Intra Uterine Device) sudah tak bisa dibeli karena pabriknya yang terakhir, Dalkon Shields sudah amblas di-sue habis-habisan tinggal "kancut" doang (baca: bangkrut). Demikian pula suntikan silikon sudah tidak dilakukan atau ada dokter/r.s. yang berani nekad melakukannya. Kasus pecahnya si bantal silikon di susu sang perempuan sudah tak cukup dihitung dengan jari dan kalikan saja angka tersebut dengan ongkos ganti rugi si penjual silicone implant yang di-sue. Kemana lalu larinya semua pabrik itu? Tidak salah memang kalau Anda menjawab ke Asia, a.l. Papua (dulu Irian Jaya). Di koran Kompas hari ini dikisahkan ke-THP-an Sri Astuti Purnamasari yang kabur setelah "burung" suaminya, Moses Jeky dijeksi silikon. Menyingkat cerita, Mbak Sri tak sanggup melihat sang burung yang katanya menjadi sebesar kucing dan kabur dari Jayapura. Gosbloks sekhalei si Moses itu memang, ia tak pernah membaca tayangan pakar seksologi Anda yang a.l. mencanangkan bahwa ukuran "burung" bukanlah jaminan kepuasan seorang isteri. :-)
"Masyarakat Indonesia kurang solidaritasnya," kata wapres Hamzah Haz. Terbukti dari masih belum mampunya Indo keluar dari krisis multidimensinya sejak 4 tahun lalu, padahal semua negara tetangga sudah oke, katanya lagi. Setuju Bung. Kualami sendiri soalnya. Beberapa hari yang lalu, saya dan Cecilia mengajak nyokapnya ogut syoping ke mal Kelapa Gading. Saya ingin membeli buku kedua karangan pakar bioetika kita, CB Kusmaryanto. Ketika saya bertanya kepada petugas di toko buku Gramedia yang mencarinya lewat sang kompi, ia hanya menemukan buku berjudul 'Problem etis kloning manusia' yang sudah dibahas habis-habisan oleh Bang Jeha di dalam resensinya. Nah, kelaparan buku tidak terpenuhi, saya menjadi lapar beneran dan bermaksud makan siang di food court di dekatnya. Anda mungkin belum tahu bahwa ibu saya di kursi roda, tak mampu lagi berjalan sejak kakinya patah dan menjadi bengkok. Karena penuhnya meja di satu bagian (datar, ada di bagian yang lainnya tapi beberapa anak tangga ke bawah alias susah pakai kursi roda) kami tunggui mereka yang makan. Ketika ada satu meja yang menjadi kosong, kami diserobot oleh satu anak remaja. Kuakui aku kalah cepat sebab sukar me-manoever orang di atas kursi roda di antara bangku-bangku. Sampai lebih dari 15 menit kami tunggui, tidak ada satupun yang mempersilahkan kami syer atau duduk, tidak ada yang bergegas pindah atau menyelesaikan makannya, tapi ngobrol-ngobrol sambil merokok. Bung Hamzah, adegan seperti yang kusyer di atas, tidak akan pernah terjadi di Toruntung. Anak-anak muda Kanada peduli akan orang lain, terlebih mereka yang cacat atau istilah kami 'disabled'. Dalam arti kiasan, manusia Indo juga sedang mengalami "kecacatan" dimana-mana, a disabled society. Memang mustahil ente dan rakyatmu akan bisa cepat keluar dari kepurukan bila tidak ada pendidikan etika dan moral yang oke punya. Satu pakarnya masih belajar di Roma, satu lagi membelot menghianati panggilannya. Ini satu kisah tersendiri mengenai seorang pastor di Jakarta yang dianggap tokoh moral di Betawi, eh eh mendadak kabur dan konon sudah beranak-isteri :-(. Sori prens para pencinta Indo kalau serialku kali ini banyak bernada negatif sebab itulah tanah airmu sekarang, masih tetap terpuruk dan entah bila "sang mentari" akan terbit kembali. Bai bai lam lekom.