p>Prakata: Kisah ke 3 s/d ke 7 saya tulis ketika pulang kampung pada bulan Januari 1997.
Prolog: Kisah pertama dan kedua berjudul yang sama saya tayangkan pada bulan Januari tahun lalu pada saat saya 2 bulan tinggal di Indonesia. Karena tidak ada "pesan sponsor" yang ingin saya sampaikan, memenuhi permintaan satu dua warga Net ini di japri, cerita kali ini saya tayangkan dengan judul yang sama.
Kemakmuran yang sedang melanda Indonesia tampak sekali dimana-mana. Di persimpangan menuju kompleks Kelapa Gading dari Jl. Raya Kayu Putih, tampak seseorang menjajakan pesawat telepon genggam (cellular hand-phone) di antara mobil-mobil yang antri menunggu lampu lalu-lintas :-). Ya, sejak dari ruang tunggu di lapangan udara Changi di Singapura, menunggu pesawat SQ yang akan membawaku dari Singapura ke Jakarta, sudah terlihat makmurnya manusia Indo. Ada 2 pesawat telepon umum di ruang itu. Sejak saya masuk ke ruang tunggu itu, yakni kira-kira sejam sebelum penumpang diminta naik ke pesawat, saya tidak pernah melihat pesawat telepon itu menganggur. Karena mengerti bahasanya, maka yang menelepon adalah orang Indonesia ke keluarganya di tanah air. Seorang anak sekolah saya lihat mencoba beberapa kartu kredit sebelum berhasil mendapatkan sambungan. Anak sekolah yang lainnya, selama 1 jam mendominasi pesawat telepon yang satunya. Di kantong-kantong beberapa manusia Indo lainnya tampak nyata pesawat telepon genggam yang mereka miliki dan beberapa orang berbicara atau memakainya untuk mengobrol. Saya hanya dapat melongo melihatnya. Jangankan memiliki cell-phone, berbicara interlokal dari Singapura pun tidak terlintas di benakku. Consumerism memang semakin nyata, dari mulai Changi sampai ke Cengkareng sampai masuk kota Betawi, semuanya yang terlihat wah wah wah.
Seperti warga Paroki-Net yang lainnya, si jusni dari Toronto pun disayang Tuhan :-). Nah, di hari yang sama setelah mendarat, malamnya saya diboyong untuk bermalam di Cisarua, di kaki gunung Pangrango favoritku. Sambil menikmati udara yang sejuk dan berenang di kolam renang yang tersedia, saya dapat melihat kembali dari jarak yang cukup dekat, puncak Pangrango. Meskipun bahasa Inggris atau pemakaiannya sudah dilarang dimana-mana sehingga nama-nama tempat bekas nama Inggris menjadi "lucu", saya lihat penduduk Cisarua malah lebih "maju" pemikirannya dibanding para pembuat peraturan itu. Di kaca belakang mobil-mobil angkutan kota setempat, terpasang sticker dengan tulisan I @ Cisarua (dimana @ adalah gambar hati). Buah-buahan seperti biasa penuh dijajakan sepanjang jalan dari mulai Bogor sampai ke Cipanas. Buah duren sedang musim dan inilah salah satu makanan yang kalau mertua lewat dan kita sedang asyik makan, bisa kita tunda menegurnya :-). Ya, sesudah menikmati pemandangan Puncak yang indah dan buah-buahan yang sudah lama tidak dijumpai, saya kembali lagi bersama Cecilia ke Jakarta sebelum tahun baru.
Tadi pagi di Misa Kudus yang kami ikuti, intensi Misa antara lain bagi kembalinya seorang suami ke jalan yang benar. Hampir tak pernah rasanya saya mendengar intensi Misa seperti itu kalau saya mengikuti Misa Kudus di Kanada. Bukannya suami Kanada tidak ada yang menyeleweng, tetapi mungkin para isteri di Kanada sudah berprinsip "EGP lach yauw". Mendengar intensi itu saya jadi teringat ketika menjemput anak kami Alfa dari Lester B.Pearson Airport sekitar seminggu lalu. Ya, ia sudah kembali dari Jakarta sebab ia tidak sekerasan adiknya yang juga berprinsip "EGP", tinggal di Jakarta. Bukan main banyaknya ceritanya ke saya sepanjang perjalanan dari airport, sampai-sampai saya terlewat satu exit di Highway 401 mendengarkan dan menyimaknya. Katanya sambil duduk di sisi saya, "I feel so good seeing people driving on a lane again." Ya, rupanya ia tidak betah benar melihat pengemudi di Jakarta tidak mentaati atau tidak ada jalur-jaluran dalam mengemudi. Jalan yang hanya 2 jalur bisa menjadi 3 dan kalau perlu 4 jalur. Suatu kaitan yang menarik bagi saya membandingkannya dengan intensi Misa itu. Di dalam mengemudikan mobil, baik penduduk Jakarta maupun saya sebagai "turis" (when in Rome do as the Romans do) mengemudi di "jalan yang tidak benar" dan tidak mempedulikannya. Di dalam mengemudikan "mobil kehidupan", kita peka bila suami atau isteri kita "berjalan di jalan yang tidak benar alias keluar dari jalurnya". Semoga memang mayoritas pasutri Indonesia "are still driving on a lane".
Kembali ke consumerism, beberapa hari yang lalu saya mengunjungi suatu toko yang sedang 'in' bentuknya yakni yang bernama pasar kulakan. Dahulu ada yang bernama Makro, sekarang ada satu yang lebih wah lagi bernama Goro. Untuk Anda yang sudah lama tidak mengunjungi tanah air, di Amrik/Kanada, toko ini adalah toko berbentuk gudang dimana barang yang dijajakan di taruh demikian saja di atas rak-rak dan umum kalau dijual di dalam kemasan grosiran alias beberapa buah sekali beli, bisa 3, 6 atau selusin. Memang harganya tentu menjadi lebih murah. Di Toronto, toko seperti ini adalah Costco dan Price Club. Nah yang membuat Goro istimewa adalah jenis barang yang dijual. Dari mulai keperluan rumah tangga sehari-hari, sampai ke pakaian, sampai ke makanan, sampai ke pasar! Ya, di dalam toko ada pasar tradisionil dimana Anda dapat membeli apa saja seperti sedang ke pasar dan menawar! Manusia Indo kan senang benar bisa menawar :-). Karena saya sudah diberitahu maka saya "test" dan benar. Sekantong tahu Sumedang berisi 20 berharga Rp 2500 alias Rp 125 satunya. Saya tawar, "Dua rebu aje ye bang." "Berape belinye," kata si abang. Saya tahu bahwa artinya itu dikasih. "Dua kantong aje bang, abis temen aye si Heru nyang doyan tahu Sumedang ngga ikut sih :-)." Nah, selain tahu Sumedang itu, Anda juga dapat membeli duren, cempedak, kelapa kopyor dan sebagainya di toko Goro ini. Eh kog jadi promosi ya, padahal saya tidak kenal lho dengan pemiliknya yang katanya sih Tommy S. Kalau saja saya kenal, saya akan bercerita begini ke Tommy. Saya dan Cecilia memang sudah diberitahu, tidak boleh bawa tas masuk ke dalam toko, takut orang Kanada ilmu malingnya canggih :-). Benar, setahun entah berapa juta $ barang di toko-toko Kanada yang dicuri manusianya. Eh, pada saat mau masuk ke dalam toko, ada "satpam wanita" yang menegur alias menyuruh saya membuka topi untuk dititipkan. Rupanya bertopi atau berpici juga tabu masuk ke toko. Artinya lagi orang Sikh tidak 'welcome' deh ke toko Goro ini. Itu selamat datang yang tidak membuat orang bertopi hepi tetapi selamat jalannya pun sama gawatnya deh. Sudah antri dan membayar di kasir dan diberikan fakturnya, sebelum barang-barang dapat kami bawa keluar dari toko, masih ada "satpam pria" (lebih galak dari yang wanita di atas :-)) lagi yang memeriksa barang-barang yang kami bawa apakah sesuai dengan faktur. Nah, bagaimana konsumen (orang Kanada, engga tahu manusia Indonesia, belum sempat saya wawancarai sebab butuh sampling 1200 ya Mas Noordin) bisa kerasan berbelanja di toko yang penuh dengan kecurigaan seperti itu. Kalau memang mau mencuri mana berani kita mencuri di tokonya Tommy S. Ya engga :-). Nah, itu saja kisah kunjungan saya kali ini di awal tahun yang baru. Mudah-mudahan baru tanggal 2 Januari gaji Anda masih belum habis untuk dipakai berbelanja. Hanya kalau ke Goro ingat jangan bawa tas dan pakai topi ya :-). Salam dari Jakarta.