Kemarin dulu hampir seharian saya menyupir di Jakarta dan berhasil membuat 3 sahabat saya hepi sekhalei. Betapa tidak? Kami bertemu di warung soto Betawi di Pasar Rumput dekat Zwembaad Manggarai kalau Anda perenang seera dengan saya. Yang jeng putri kujemput dari Plaza 89 di Kuningan. Yang kanjeng mas wong loro, pada naik taksi engga sanggup nyetir ke Pasar Rumput. Jadi mereka hepi ketawa-ketiwi bisa punya supir berpaspor Kanada dengan SIM internasional. Menjadi supir di kota ini memang butuh mental baja disamping fisik harus oke. Mata tak mungkin rabun dan esmotsi mesti terus terkontrol, apalagi kalau disalib metro mini atau kendaraan angkot saenak udele. Testing kebolehanku menyetir terjadi di daerah Roxy dimana orang tak peduli lagi apa warna lampu lalulintas di persimpangan jalannya. Jalanan 3 jalur diisi oleh 4 baris kendaraan, terkadang ada bis atau truk segede gajah disisiku, hanya sejengkal dari kaca spion. Feeling kita mesti presisi akibatnya dan juga tak bisa lengah sedetikpun. Tak lupa kita harus bersikap 'assertive' (baca: berani nyodok) dengan kekecualian kalau plat mobil yang mau kita sodok milik wong sakti, atau sang mobil bisa menyebabkan tetanus kalau kesenggol. Setelah selama 12 harian di Betawi ini dan setiap harinya, puji Oom Han, saya bisa menikmati makanan aneka rupa, saya harus bersaksi bahwa soto Betawi Bang Husen mengalahkan segalanya, termasuk kerak telor yang sudah saya cicipi beberapa kali. Jadi kalau ada di antara Anda yang mau disupiri WN Kanada :-) dan ingin makan soto, hubungi saya lewat yahoo ID-ku.
Kemarin saya diantar J.K. pren eks Budi Mulia/Kanisius untuk membeli koyo sinshe Lo Ban Teng titipan suhengku di Melbourne. Memang koyo itu manjur sekali beberapa puluh tahun lalu. Untuk Anda pendatang di kotaku ini, sinshe Lo senior, bukan yang junior dan tetanggaku di Scarborough, imigran dari Tongsan langsung ke Batavia. Konon dari dulu, sejak tiba ia sudah jualan koyo dan arak. Agar supaya jualannya laris, ia demo, di jaman IT sekarang, 'hands-on' istilahnya dengan bersilat sebelum ia mengkowarkan dagangannya. Eh eh eh, suatu ketika, maklum Betawi masih hutan pinggirannya saat tersebut, datang banteng nyelonong mau memprovokasi. Tanpa ba tanpa bu, sinshe Lo langsung menjotos kepala sang banteng dan kojor alias ko'it seketika. Namanya lalu menjadi mashur dan oleh anak Betawi, demi mudahnya, ia diganti namanya menjadi Lo Ban Teng. Kisah ini cukup rinci kuketahui sebab dulu saya berguru kepada Oom Tjoa-Lo Kek Kiong yang saya hormati di Jl. Tiang Bendera 15. Oom Kek Kiong adalah murid kesayangan Lo Ban Teng sehingga suatu ketika ia diangkat anak dan diberi tambahan she Lo ke namanya. Dongeng mengenai kakek-guru ogut ini kusyer dengan maksud mengawali ceritaku mengenai gejala berbisnis di kalangan orang Tionghoa, mungkin juga Melayu yang kuamati selama ini.
Nah, dahulu hanya ada satu tempat dimana kita bisa membeli koyo atau arak Lo Ban Teng, yakni di Jl. Jelakeng di kota. Weladalah, sekarang katanya ada dimana-mana dan ketika kusamperin, yang jual anak yang berbeda-beda dengan kabar, mereka sudah pecah. Jadi Siauw Giok atau anaknya (yang tak kuhapal namanya) membuka satu di mal Pluit. Siauw Tjoen dan cucu lainnya membuka lagi satu toko di Tanjung Duren. Masing-masing engga pren. Cerita atau kisah model begini, menjamur. Dua lagi eks prenku yang konon sudah kabur dari Melayu saking kebanyakan duit, nama bagusnya Bambang dan Herman. Bersama Sudwikatmono mereka berpartner dan jadilah Suptan Film. Kukenal karena si Herman waktu masih kere kubantu men-debug amplifier buatannya yang 'brom' (groundingnya engga bagus) karena waktu itu ogut sedang gila bikin pemancar radio. Setelah ia jadi oke punya (band-nya) dan lewat sang band berhasil menggaet seorang puteri yang sugiharta, ogut kebagian rejeki dikit. Suka dikasih karcis VIP gratis ke bioskop 21-nya :-). Sampai lupa, kedua kakak adik itu juga sempat bengkelai alias pecah, yang satu di supermarket Golden Truly (yang sudah bangkrut, kwalat mungkin) yang satu lagi di bioskop bermerk serba 21. Itu cuma 2 contoh betapa urusan duit, tidak mengenal saudara, lebih tepat memecahkan keluarga. Politik pun sami mawon sarua keneh. Tanya si Mbak Ega dan Sukmawati. Hal yang sama terjadi di bisnis makanan, baik itu bakmi ABC, Holland, eh bakerij KLM, maupun gado-gado XYZ. Jangankan bikin franchise seperti halnya pedagang di Amerika Utara. Disini masing-masing membuka toko/warung sendiri-sendiri. "Emangnye," kata mereka pasti ke satu sama lain. Ke-THP-an memang susah disembuhkan di udara bersuhu 30C ke atas :-(. Buktinya 2 warga P-Sby masih pada THP satu dengan yang lainnya.
Hiburan atau rekreasiku di kota ini cuma ke restoran dan berenang. Tak heran isteriku mulai tak betah, apalagi ia sempat mens(cret). Tinggal dua malam jauh dari kolam renang membuatku tak betah sehingga kubergegas pulang ke rumah nyokapku lagi. Isteriku kutitipkan ke mertua untuk "disusukan" sebentar :-). Siapa tahu ia menjadi seterek lagi baik fisik terutama mental kaya enyaknya yang sudah berumur 87 tahun. Nah, saya hendak cabut ke kolam renang Tirta Mas dulu, sampai tayangan berikutnya.