Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 32

Kemarin hari berbahagia untukku sebab sempat bertemu dengan Uda Datuk Palinggih dari Kotogadang :-). Meskipun memakai emoticon saya tidak bercanda alias serius. Saya hepi sebab meski sudah 22 tahun tidak berjumpa, ia masih sama ramahnya dengan ketika saya mencangkul di ibeem melayu bersama-sama Uda Datuk. Ia juga pren saya makan soto Pak Mat di lapangan Persija di belakang kantor AJB Bumiputera (waktu itu, di Menteng Raya). Saya juga gembira bertemu dengan teman lama bila melihat yang bersangkutan masih sehat wal'afiat. Namun saya sempat berkata, "Berani juga ente Jas, udah uzur masih merokok." Sudah gitu 'chain-smoker' lagi :-(. Memang sukar untuk berhenti dari merokok sekali kita sudah menjadi "nasabahnya PT tembakau". Cecilia juga ikut senang dan kagum melihat ada orang peria seperti itu di tanah air kita. Saya katakan itulah suasana cangkulanku dulu di Melayu. Meski kami bekerja keras tetapi kami saling bergurau satu sama lain, terlebih kalau kami habis melakukan 'customer call' (baca: jualan ke prospek) dan mengalami nasib sial :-). Lantai 6 BDN di Thamrin adalah bak oase bagi para salesrep dan systems engineers untuk me-'ruffle their feathers back' :-). Saya katakan ke Cecilia, bayangkan, itu baru satu Uda Datuk yang ikut ngerumpi, coba tambahin wong-wong lucu seperti si Agam dan Dapot. Itu juga sebabnya ketika saya satu dua kali kemping dengan para humoris ibeem, perut sakit bukan karena salah makan tetapi karena tertawa terus-menerus.

Membicarakan kesehatan, satu hal yang saya amati selama ini adalah selain tidak ada waktunya manusia Indo mengurus kesehatan mereka (maklum sibuk nyangkul) terlebih tiadanya dana untuk hal itu. Contoh yang paling mudah dilihat adalah ompongnya gigi-gigi sahabat dan kerabatku. Satu dua sebetulnya pasti ada uangnya untuk membenahi giginya (yang penting untuk membantu pencernaan) tapi mungkin tak peduli karena kesehatan bukan prioritas di dalam hidupnya. Sebentar lagi saya akan memberikan presentasi di dalam suatu lokakarya berduka di kota ini. Mereka yang pernah kehilangan baik karena kematian atau hal lainnya, sering harus mengubah prioritas hidupnya. Sesuatu yang tadinya sepele menjadi penting dan sangat bernilai, sesuatu yang tadinya didewakan menjadi tak ada artinya.

Ketika saya sampai di Jakarta dan tidak bisa menulis karena tak ada laptop atau kompi di rumah ibuku ini saya sempat menyesal semenit tidak membawa atau membelinya dari Toronto :-). Yach, di menit kedua saya tidak akan menyesal kembali sebab siapa yang kerajinan ngegotong ransel plus laptop keliling Eropa. Lalu kalau bepergian tentu sang laptop ribuan dollar mesti dibawa juga. Nah, karena beberapa tahun saya dimanjakan kantor alias dapet laptop gratisan, saya berminat membeli merek ibeem. Namun, oleh satu dua teman secangkulan yang memakai merek lain, saya disuruh berpikir dua tiga kali :-). Mereka ada yang memakai Compaq ada yang Dell. Jelas harganya lebih murah, beli IBM kan sama kaya beli Mercy (merek), padahal sama azha cara bannya ngegelinding kaya Hyundai. Untung dapat kuraih, mujur memang banyak terjadi bagiku di kota ini, saya mendapat pinjaman laptop Sony VAIO. Jangan bilang-bilang ke yang punya, dikasihpun saya mau :-), eh engga terlalu ingin. Paye banget Sony laptop ini. Batereinya udah amblas karena dalam waktu 10 menit kalau saya cabut dari AC power, ia ko'it. Integrated 'mouse' atau pointernya bego banget, terlalu sensitif dan tidak kulihat bisa di-adjust di control panel-nya. Yang paling bego adalah bila kepanasan, ia trashing alias bekerja dengan kecepatan memory 1 Hz :-). Saya hanya bisa memakai laptop ini non-stop 4-5 jam dan setelah itu, atau harus kumatikan, atau kukipas-angini. Jadi moral of the story, belilah laptop IBM, biar mahal, gengsi!

Itu juga yang kulihat menjamur di tengah kawula muda Indonesiya. Kemarin malam saya meneruskan obrolan dengan Debby setelah Uda Datuk cabut harus mengeloni isterinya :-) dan peserta lainnya lari terbirit-birit dikejar pertandingan bola. Hanya Debby yang tidak keranjingan bola di antara 207 juta manusia Indo. Kata doi kalau di jaman kita, lesehan di luar rumah ke taman pake tiker, jaman sekarang anak-anak ke food court di mal sambil menunjukkan 100 contoh soalnya. Benul sekhalei. Terakhir saya lesehan dengan warga Serviam di taman Toronto, juga pakai tiker plastik dan malah pernah di Itali dengan si Mo Kus yang menyiapkan segalanya untuk piknik bersama Bang Jeha Anda. Kalau Anda lalu memperhatikan pakaian kawula muda itu, hampir semuanya membawakan "pesan sponsor", keren-keren. Anda berjalan dari food court (semalam di Plaza Senayan) dan berkeliling di sekitarnya, bertebaran toko-toko merek yang muahal-muahal sumber pakaian warga Melayu jaman kini. Kata beberapa temanku yang jadi guide selama ini, "orang asing yang datang dari planit lain tidak akan tahu betapa sudah bangkrutnya Indo (kalau tidak mendapat pinjaman dari manca-negara) bila hanya melihat-lihat pusat perbelanjaan di kota Jakarta. Bejug, bener juga. Tapi gengsi memang perlu sebab kalau sudah miskin tiada PD, amblaslah semua-semuanya. Sampai bertemu minggu depan dan selamat berakhir-pekan dimana saja Anda berada. Bang Jeha akan cabut melihat apakah bumi Parahiangan masih seindah dahulu kala, terutama mojang-mojangnya :-). Bai bai lam lekom.

Home Next Previous