Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 33

"Udah kemana azha?," adalah pertanyaan standard dari para prenku di Betawi baik yang sudah lama tak bertemu maupun "langganan". Jawaban saya pun pada umumnya rutin, sejak bertahun-tahun atau tepatnya sudah lama sekali bila mengunjungi tanah air saya hanya nangkring di Jakarta. Alasannya segudang. Namun, karena saya relatif mempunyai cukup waktu di kunjungan kali ini, sekitar sebulan penuh, maka saya berminat ke Bandung. Sudah lama saya rindu mengunjungi kota itu lagi sebetulnya. Dahulu, waktu saya gila membuat pemancar, Pasar Jatayu tempat AURI nge-dump suku-cadang pemancar adalah tujuanku. Karena saya membuat pemancar bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi waktu itu untuk gerakan mahasiswa Orde Baru, sebulan sedikitnya sekali saya ke Jatayu dan juga ke Cikapundung. Alangkah hapalnya saya dengan kota mojang yang garareulis itu. Anda sebutkan nama jalan, pastilah ada di "GPS" buatan Oom Han di dalam kepalaku :-). Weladalah, biyung-biyung, selama 2 hari terakhir ini di Bandung, saya o'on banget. Kalau mau berdalih sih bisa. Dahulu saya selalu masuk lewat Cimahi dan lalu Jl. Otista, Otto Iskandar Dinata sebelum naik ke Sukajadi dan nginep perdeo di rumah Robby S. prenku sehobby sejak dari SMA Kanisius. Kemarin, karena lewat tol saya jadi masuknya lewat Jl. Pasteur yang samar-samar kuingat ada di utaranya Bandung. Setelah itu, semua jalan seperti Cihampelas, Wastukancana, Haji Juanda (dh Dago) mesti kureka-reka lagi lewat "GPS"-ku yang sudak karatan banget.

Tapi jangan kwatir. Bila Anda para prenku di Toruntung butuh guide, saya sudah berani mencalonkan diri. Mau bakmi enak, di Naripan kusudah tahu :-), siomay Bandung di Gardujati, dan terlebih penting, mau shopping ke F.O. (factory outlet) kusudah hapal nama-namanya sepanjang Juanda. Dari mulai Up Town sampai ke V.I.P., dari Summit di Jl. Riau sampai ke Stock Eksport di Naripan. Yang lebih hesbats lagi, martabak (telor maupun kue, istilah mereka asin atau manis) terenak di Bandung adanya di Jl. Kebon Kawung dan bernama: Martabak Canada. Ya, saya tidak salah spelling, begitulah. Kutanya kepada si Engkoh yang kukira juragannya, "Pak (demi menghormati warga Bandung :-)), kenapa pakai nama seperti itu, Martabak Canada?." "Oh bukan karena apa-apa tapi supaya jadi lebih terkenal saja." "Lho, kenapa engga pake nama Martabak Amrik," tanyaku lagi. "Nanti saya digranat," kata si Engkoh, eh bapak penjual martabak. Itulah prens, warga ataupun nama Canada bukan saja harum di Eropa tapi juga di Indonesia :-).

Saya dan terutama nyonyaku jadi membeli barang atau tepatnya baju bermerek karena harganya aujubilah murahnya dibanding kalau kita beli Guess, GAPS, Timberland, Tommy Hillfiger, deeste deesbe di Toronto. Hanya sayangnya, berbeda dengan F.O. di Amrik dan Kanada dimana kita tinggal pergi ke satu tempat lalu bisa memilih dari toko-toko khusus para merek, apakah kita mau masuk ke Esprit atau ke Levis, apakah kita perlunya ke Samsonite atau ke Mikasa, maka F.O. di Bandung bak mesti mencari "kucing dalam karung". Kita tak tahu setiap toko yang kita masuki sedang mempunyai stok merek apa saja dan juga mereka taruhnya serba ditumpuk alias campur aduk. Untung-untungan gitu. Tapi, bottom line, berbelanja di F.O. tersebut memang menyenangkan seperti saya beli koper hardcase, jatuhnya sekitar Cdn $ 50, di Toronto paling engga 100-an. Jadi bayangkan Anda membeli koper lalu dapat bonus gratis berbiji-biji baju bermerek :-). Tidak heran saya bertemu juga dengan orang asing dari waktu ke waktu di F.O. tersebut.

Anda penggemar tayanganku pastilah masih hapal harga kamar serba kecil tanpa kamar mandi di Venice yang belum lama ini kami kunjungi. Benar, 87 Euros atau sekitar Rp. 800 ribu-an berhubung Rupiah sudah melemah lagi dibanding dollar. Nah, menginap di hotel JH, Jayakarta Hotel di Dago, kamar eksekutip yang kalau di Eropa setara hotel berbintang tiga, taripnya per malam tidak sampai setengah dari hotel di Venice itu. Makanan murah dan asyik, pakaian kaya dikasih gratis :-) dan hotel bukan main miringnya. Apalagi yang Anda-anda tunggu untuk menyusul Bang Jeha merayakan HUT Jakarta sebentar lagi? :-)

Kudengar para prenku di luar batang berbisik-bisik mengemukakan kritik ataupun dalihnya untuk tidak mengunjungi (dulu) tanah air mereka juga. Kalau dalih Anda, ogah karena lalulintas macetnya luar biasa, baik di perjalanan ke Bandung maupun di dalam kota itu sendiri, Anda ada benarnya. Dari segi suhu, baik Puncak maupun Bandung suhunya kuperkirakan sudah 20C ke atas. Jalanan banyak yang rusak dimana-mana, sebagian lubangnya sekubangan kerbau sehingga beberapa kali Kijang pinjamanku sempat merasakan bagaimana kalau harus jadi "kerbau" :-). Kalau Anda sama sekali buta lalulintas, Anda berkemungkinan nyasar ke Jonggol dan lalu bisa-bisa balik lagi ke Jakarta. Tanda-tanda lalulintas kurang banyak dan kalaupun ada, terkadang membingungkan. Yang sempat menyedihkan beta adalah banyak sekali hilangnya tonggak (pal) kilometer jalan di sepanjang Jakarta-Bandung, padahal dahulu rapih tertata hektometer per hektometer, jangankan kilometer. Karena itu benda antik peninggalan Gubernur Jendral Daendels, tak mustahil kalau sudah dijadikan pajangan di museum pribadi.

Tetapi prens sadayana, kepada Anda yang sudah lama tidak mengunjungi Bandung, sahaya dapat melaporkan bahwa para mojangnya masih manis-manis. Memang sudah jarang yang pipinya merah alamiah (karena suhu yang dulu sejuk/dingin) tapi ga pa pa sebab mereka semua sudah mengenal Estee Lauder, Clinique, Elizabeth Arden, Lancome, dan segudangan merek kosmetik lainnya yang selalu ada di setiap pusat perbelanjaan. :-) Sekian dulu laporan Bang Jeha yang habis mencuci mata sambil menyumbang perekonomian tanah airnya. Bai bai lam lekom.

Home Next Previous