Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 35

Menyinggung teori psikologi 'cognitive dissonance theory' yang dicetuskan Oom Leon Festinger, kalau saja ia ke Indo kuyakin ia akan menggosok-gosok tangannya sebab di setiap halaman berita ada pengejawantahan sang teori. Kemarin saya sempat membaca satu berita lucu lagi. Suatu hasil seminar satu asosiasi bisnis yang saya lupa namanya berkesimpulan bahwa polisi dan prosedur hukum di Indonesia adalah yang paling buruk di Asia Tenggara. Sang bos polisi kepala humasnya langsung berkomentar bahwa kalau para pakar berkumpul, hasilnya suatu kelakar. Itulah contoh cognitive dissonance, tidak sreg kalau diriku dibilang warga institusi yang paling brengsek. Jadi si aku perlu mengatakan, "yang bego elu bo." Contoh mengapa ada kesimpulan seperti itu dapat kita saksikan setiap hari di sepanjang jalan raya di pulau Jawa, sedikitnya di Jakarta-Bandung. Yakni adegan penyetopan truk atau pick-up berisi cem-macem barang oleh para polisi. Sebetulnya dari jaman baheula, ketika Kompas masih merupakan koran yang paling oke punya, rakyat sudah tahu akan praktek polisi tsb. Wartawan Kompas menyaru jadi kenek supir truk pengangkut barang tersebut dan dengan mata kepala maupun tangan sendiri menyerahkan "upeti" dari waktu ke waktu ke sang "patih kerajaan Baranangsial". Tidak heran prenku warga Sanbima, mempunyai resep manjur ketika ia belum lama ini ditanya oleh bos polisi lainnya, bagaimana membenahkan Angkatan Kepolisian. Benar, Anda memang pinter-pinter semua, naekin gajinya. Titik? Ya, itu baru/cuma satu doang. Satyo yang berjualan filsafat Oom Covey ('7 Habits') tentu maklum bahwa untuk menyembuhkan pasien yang sudah kankeran, tidak cukup untuk diberikan sejenis obat saja, tapi perlu "diradiasi" agar sumber kebrengsekan dapat ditumpas 100%. Caranya? Pinter lagi memang ente-ente, sekolahin ikut program '7 Habits' :-). Bang Jeha tidak mempunyai andil apapun di cangkulannya Satyo dan juga tidak ia minta untuk prosmotsi. Seriusan prens sadayana, kalaupun warga negara ini masih bisa ketolongan, hal itu hanya dapat dilakukan dengan program pendidikan yang diisi dengan etika moral non-Pancasila sebab selama ini PMP sudah gagal mencetak warga Melayu yang bersih dari KKN.

"Mas, tolong yang bagus lagi dong yang diketengahkan, bosen sindiran dan kritik mulu," kata Anda Pancasilais sejati yang meskipun tidak pernah dapat Pendidikan Moral Pancasila, lebih mengayomi ide Bung Karno itu dibanding para pejabat yang lulusnya dengan nilai-nilai gemilang. Seperti saya ketengahkan, kalau Anda mau menikmati uang pensiunanmu yang engga seberapa :-), tamasyalah ke Indo dan cari tempat yang masih aman, contohnya Kotogadang :-). (Lama-lama promosi sang kota, ogut bisa diangkat kali yach jadi "datuk kehormatan" :-)) Satu lagi yang masih oke dan semoga akan selalu demikian adalah bahasa ibu kita, bahasa Indonesia nan indah mengasyikkan :-). Kemanapun kita pergi dan bila tersesat serta tidak malu bertanya, kita akan bisa berkomunikasi. Baik Anda ada di gang di Betawi maupun di Bandung, bahasa Indomu tetap laku dan dihargai. Seperti pernah saya syerkan, 2 saudara sepupu saya sampai sekarang bu guru dan seorang tante saya pensiunannya. Satu oom saya almarhum guru bahasa Indonesia dan ialah penterjemah cerita-cerita Karl May kalau Anda belum tahu. Jadi "darah guru" mengalir di dalam tubuh saya dan itulah sebabnya saya bercita-cita suatu ketika menjadi guru seksologi :-), eh psikologi. Nah, ketika saya belum lama ini bertandang ke salah satu di antara mereka, kubuka-buka buku tugas sang murid SD-nya. Lupa kelas berapa tapi kuperhatikan di buku PR yang sedang diperiksa bu guru sedulur ogut. Di bagian atas ada contoh penyelesaian soal bahasa Indo itu yakni bagaimana memotong kata menjadi suku-kata. Anak tersebut ancur banget prens hasilnya. Hampir semuanya salah, jangan-jangan kebanyakan baca tayanganku, si perusak berbahasa Indo yang baik :-). Jangan dimakan di hati, yang paling penting memang cintailah bahasa ibu kita asal jangan sefanatik wong Quebec di Kanada sebab akan/sudah membuat banyak warga mereka yang tak berbahasa Perancis kabur karena THP. Gimana tidak mau THP sebab satu katapun tidak boleh ada kata Inggrisnya di papan yang dipasang di luar rumah di propinsi Quebec :-(.

Di koran kemarin, dalam menghitung berapa kerugian negara ini karena wisman, wisatawan mancanegara banyak yang ogah datang, dipakai angka 100 US$ per orang. Menurut perhitungan bos pariwisata Indo selama caturwulan I tahun ini, jumlah wisman berkurang 6000 per hari sehingga negara rugi 600 ribu dollar per hari. Perhitungan pengeluaran per hari para wisman kulihat cukup bonafid sebab segitulah pengeluaranku di Indo saat ini hanya bukan dalam US tetapi Canadian dollar. Tapi memang karena menginap di Melayu serba gratisan maka seluruh pengeluaran itu adalah untuk makan, belanja dan membantu sedulur yang elit, ekonomi sulit. Tentu saja kalau Anda pensiunan yang tinggal di Melayu, Anda tidak akan syoping dan makan 100 $ sehari :-).

Mong-ngomong syoping, satu hal lagi yang oke punya, sedikitnya di Jakarta adalah tersedianya segala jenis merek barang dari mulai sikat gigi Oral-B yang kupakai sampai obat (resep) tekanan darah Captensin. Ya, Anda Melayus tahu bahwa di Jakarta ini orang mengobati diri sendiri saking mahal dan susahnya dokter apalagi yang spesialis. Karena lebih sering kalah dalam permainan Scrabble hari-hari ini, tekanan darah isteriku menaik :-). Ya, berhubung sudah tidak muda lagi, ia diberikan Captensin dosis yang paling rendah oleh dokternya untuk ditenggak setiap hari. Karena ia menaikkan sendiri dosisnya saat ini, maka persediaannya akan tidak cukup sehingga perlu re-supply. Semoga ke Oz/NZ sebentar lagi akan menurunkan tekanan darahnya sebab ia semakin gerah azha tinggal di eks kampungnya dan mencari suhu yang adem. Itu sebabnya, sengaja kami ke Ostrali dan NewZie di saat mereka dalam musim dingin. Tolong para fans kami untuk jangan berhenti berdoa, semoga trip kami seoke seperti di Salzburg, eh di Eropa :-). Bai bai lam lekom.

Home Next Previous