"Tjoen, kog elu masih tahu sih soal politik di Indonesia?," tanya Ali Setia salah satu prenku tersetia di dunia sehingga kenal nama bagus pemberian engkongku. Bukan saja ia se-SD-SMP Budi Mulia denganku, juga SMA Kanisius dan FTUI. En toh ia masih belum tahu bahwa selain mengalir darah guru di tubuhku :-), juga ada gen perpolitikan. Buktinya, dua saudara sepupu ibuku (satu kakek) eks menteri negara RI. Yang pertama (alm) Mr. Tan Po Goan, prennya (alm) Sumitro dan memperkuat barisan Partai Sosialis Indonesia di kabinet Ali Sostroamidjojo. Oom Tan warga THP kelas berat dan pindah ke Ustrali. Memang sudah sejak jaman Ken Arok, sekali seorang jadi politikus dan berkuasa di nusantara sukarlah baginya menolak godaan duniawi. Hanya pendekar sekelas Raden Arjuna yang mampu menolak godaan "bidadari jelita rupawati" baik dalam bentuk BMW dan Mercy maupun rekening bank di Zurich :-). Satu lagi anak ipoku (kakak dari nenek) di Bandung adalah dr. Moh. Lie Kiat Teng, warga Partai Syarikat Islam Indonesia yang menjadi MenKes dalam kabinet Burhanuddin Harahap, seingat memory-ku. Sebetulnya lagi, nenekku dan nenek Mr Tan serta dr Lie yang bersaudara, adalah dari keluarga Tio di Pasar Baru, Jakarta. Kongco-ku alias kakek mereka semua, pada jaman Belanda adalah lurah Tionghoa di Pasar Baru, bek istilahnya. Jadi kuyakin prenku Ali sekarang tidak akan bertanya lagi sebab katanya ia membaca tayanganku (dari milis CC60an) dan kemarin dulu menelepon sahaya. Syukurlah ia masih ingat sahabat lamanya, bukan hanya ketika perlu meminjam catatan-catatan kuliahku :-). Bukan saja sedulur dari pihak nenekku, juga engkongku (babenya nyokap) kepala polisi Tionghoa pada saat seusai proklamasi kemerdekaan RI, ketika belum ada polisi yang menyetop lalulintas di jalan raya :-), kala warga Tionghoa di Batavia tak ada yang melindungi mereka. Itu juga sebabnya saya mengkompori Satyo untuk menjual '7 Habits' dagangannya ke para polisi sebab engkongku almarhum pasti setuju.
Menyinggung telepon atau persahabatan prenku di atas, saya menjadi teringat oom Gun, warga Paroki-Sby salah satu fans setiaku hingga terus mengikuti tulisanku sampaipun konseling seks Bang Jeha di milis psikologi :-). Salah satu filsafat hidup Oom Gun patut dicontoh kita semua. Meskipun ia sudah naik daun, ia tidak lupa kepada para prennya, "daun-daun" lain yang rontok dan bertebaran di tanah, terkadang diinjak-injak orang. Bravo Oom Gun. Kalau Anda banyak mengobrol dengan warga THP di kota ini, Anda akan melihat bahwa apa yang dilakukan Oom Gun, tetap menyediakan waktu bagi teman-teman "elit"nya (ekonomi sulit), apalagi yang double triple minority adalah suatu yang sangat terpuji. Seperti kusinggung di atas, THP-nya Oom Poo Goan, kalau Anda warga Orde Baru sepertiku, dan tidak kebagian rejeki :-), Anda tentu maklum betapa nama-nama seperti Cosmas Batubara dan Liem Bian Koen sekarang dicibirkan orang bila membicarakannya. Kata seorang prenku di Jakarta yang mengenal keduanya, si Bian Koen masih mendingan, mau membantu teman-temannya. Akan halnya si Cosmas, sori wae. Itu kata orang.
Salah satu acara rutinku bila pulang kampung adalah mencukur rambut di "kapsalon" cowok paling mahal se-Indonesia, kuyakin :-). Mana ada di antara Anda yang mencukur bayarnya 6 digit angka Rp. Bukan maksudku untuk sesumbar. Itu adalah tanda kasihku kepada tukang cukurku, Bang Utom yang "kapsalonnya" adalah kursi di suatu gang yang diberinya atap, tak lebih tak kurang. Setiap melihatnya dan ia masih sehat, saya tentu tersenyum dan ia pun demikian pula. Umurnya sudah 65 tahun dan tidak ada rencana pensiun katanya. Ia warga Tasikmalaya, kampung Cicadas, masjid Al Baroqah. Itu alamat kalau ente mau mengunjunginya bila hari raya Lebaran tiba. Ya, liburnya hanyalah di hari-hari raya seperti itu. Sejak saya masih bocah Bang Utom langgananku dan demikian pula ketika anak-anak masih kecil, ia yang mencukur mereka. Sebetulnya ketika saya masih bayi, ayahku langganan ke uwaknya, Pak Emod. Ketika Pak Emod pensiun, keponakannya meneruskan "sang kapsalon" yang waktu itu masih di suatu gubuk di pinggir Gang Mandor III, di Jl. Lautze, Pasar Baru. Bang Utom mengenal seluruh teman sekampungku sehingga sambil bercukur saya sempat di-apdetnya, ngobrol ke barat ke timur. Selain siapa ada dimana atau ngapain, juga ia mendata para pren main gunduku yang udah pada ko'it :-(. Ia pun sempat terkapar selama 2.5 bulan tahun lalu karena terkena gula katanya. Untung ada prennya sekampung yang ahli mengobati penyakit gula dengan ramu-ramuan istimewa, a.l. buah mengkudu dan rumput liar Tasik (weeds). Lalu ia juga mesti senam atau berolahraga setiap pagi sebagai terapinya. Sembuhlah doi sehingga Bang Jeha masih bisa ia pegang kepalanya :-). Meskipun ia tukang cukur serba pas-pasan, masa depannya cukup oke. Selain lumayan jumlah anak dan cucunya (yang di Indo masih jaminan hari tua :-)), di Tasik ia memiliki sawah, lahan lalapan alias kebun a la kadarnya termasuk pohon kelapa serta juga sekawanan ayam yang bisa bertelur seperti itik-itik peliharaan Uda Datuk Palinggih :-). Pokoke kalau Bang Utom nanti pensiun, ia tak akan mati kelaparan. Itulah yang membuat saya senang berjumpa kemarin dengannya, ia masih sehat dan masih mampu mencukur rambut Bang Jeha dan kumisnya :-).
Prens sadayana, pada kesempatan ini saya minta permisi 12 hari untuk dengan doa restu Anda semua akan mengunjungi Ostrali dan Selandia Baru. Saya akan kembali ke Kampung Melayu dan tentu menyambung serial dongeng ini kembali. Bila Anda warga Betawi, selamat merayakan HUT ke 475 tapi tetap berhati-hatilah. Periksa bagasi taksi yang akan kau naiki, sembunyikan ponselmu di persimpangan lalulintas daerah rawan. Sampai berjumpa dalam keadaan sehat wal'afiat, terhindar dari bom, bai bai lam lekom.