Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 37

Ketika Cecilia dan saya ada di Melbourne, kami berjumpa dengan saudari sepupunya. Ibunya dan ayah Cecilia kakak adik. Ayahnya, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin terkenal di Jakarta, sudah berumur 95 tahun en toh masih PRAKTEK! Hanya di Indonesia ada dokter segaek itu yang masih MAMPU berpraktek. Anda lalu bertanya, kog ada pasiennya? Anda pastilah bukan Bang Jeha, jebolan Kramtung. Ya, seorang pembaca tulisan saya di Paroki-Net yang barusan membaca serial Pengalaman Anak Betawi saya mensyer bahwa ia pun melakukan apa-apa yang saya kerjakan ketika masih kanak-kanak, kecuali melihat 'live show' di Kramat Tunggak. Seperti pernah kusyer, salah satu yang membuat saya tidak pernah mau mengikuti jejak prensku adalah ketika saya harus mengantarkan mereka ke dokter kulit kelamin. Rata-rata PD-nya merendah alias malu-malu sejak di ruang tunggu dokter, sampai ketika masuk ke kamar praktek. Jadiii, semakin tua dan "pikun" seorang dokter, semakin ia akan laku kalau spesialisasinya penyakit kelamin.

Hari ini saya mulai menikmati kembali hari-hari renangku di Jakarta alias berenang di kolam renang Tirta Mas. Semakin asyik saja berenang disitu karena salah satu shower atau pancurannya rusak, jebol alias tidak ada lagi kepalanya. Jadi curahan airnya persis seperti ketika sahaya mandi di air pancuran rakyat (air sawah) di Megamendung ataupun di Kandang Badak, di lereng Pangrango. Dimana ada kolam renang yang menyajikan acara 'nostalgic swimming' dengan biaya hanya sedollar doang :-). Semoga management kolam renang Tirta Mas itu mengikuti kebiasaan koleganya di Indonesia, apa-apa yang rusak tak perlu diperbaiki.

Kemarin di tayangan perjalanan saya ke Ustrali kusyer betapa banyaknya anak-anak Indo yang bersekolah ke negeri kangguru tsb. Hari ini kubaca dampaknya di Kompas, ada SD yang tutup karena kekurangan murid. Anda para prenku yang menyekolahkan anaknya di luar batang tentu maklum bahwa tidak sedikit anak-anak SD Indo yang disekolahkan bonyok mereka (bokap nyokap, ayah ibu dalam bahasa prokem) ke luar negeri. Kalau tempatnya dekat seperti Singapur atau Perth, lengkap dengan sang pembokat (pembantu rumah tangga). Soalnya, selain mutu sekolah di Indo sudah meragukan, biayanya ga karu-karuan. Bayangkan, SMA seperti Binus (yang jurusan komputernya konon oke punya), uang pangkalnya sudah 30 juta Rp, kata orang. Itulah sebabnya ada satu dua warga Serviam di Toronto, yang meski harus sungsang-sumbel mencari sesuap kentang, boyongan juga ke Kanada, agar anaknya dapat bersekolah tanpa uang pangkal, uang bangku, uang ini dan itu. Mereka mengatakan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing sebab pastilah keluarga yang terpecah, anak-anak bersekolah di luar batang mengalami banyak kendala dari waktu ke waktu. Saya menjadi teringat ketika bertemu salah satu lagi prenku di Betawi yang mensyer betapa luluh hatinya ketika terjadi krismon atau terpuruknya rupiah dibandingkan US$. Anaknya sedang ia sekolahkan di Amrik dan ia tidak mampu lagi mengirim biaya sekolah maupun hidup mereka. Jadi dengan sangat sedih ia hanya bisa memberikan 2 alternatif, atau pulang atau mencari nafkah sendiri untuk membiayai ongkos-ongkos di Amrik.

Temanku bukan konglomerat yang mampu mengirimkan anak, pembantu dan juga anjing ke luar negeri. Tapi kalau Anda seperti saya baru berkeliling Singapura dan Oz serta Selandia Baru, Anda dapat melihat bahwa selain wong sekampung menyekolahkan anak-anak ke luar negeri, jurang antara yang kaya dan miskin sudah semakin tidak ketolongan. Satu hal yang membuat saya menghela napas panjang, bukan karena kutidak-mampu (memang sih) adalah melihat harga ikan hias yang juta-jutaan, puluhan juta SATUNYA yang dijual di Betawi ini. En toh, ribuan warga sekota harus mengemis dari waktu ke waktu, baik dengan cara yang masih sopan, sampaipun yang "terpaksa" harus menggarong. Pajak dan segala macam penerimaan negara masuk ke kantong pejabat alias dijadikan kue yang mereka bagi-bagi :-(. TEMPO terakhir mengetengahkan adanya skandal (yang bukan berita sebenarnya) seputar impor mobil mewah ke Indo. Anda sebut merek satu mobil di dunia, Anda sudah bisa membelinya lagi di negeri ini. Sayangnya, bukan rakyat miskin yang terbantu oleh pajak impor Ferrari, tapi kantong si pejabat.

Kemarin dulu saya salah masuk 'gate' ketika pulang kampung dari Ostrali. Karena seumur hidup belum pernah dari Betawi bolak-balik ke dan dari luar negeri, tiket balik saya ke Kanada kutinggal di rumah nyokap. Weleh-weleh musibah besar melanda ogut dan isteriku. Kami diseterap sekitar 1.5 jam di bandara Cengkareng, menunggu keponakanku mengambil sang tiket. Usaha isteriku untuk mengasah logika mereka, mana mungkin kami tak punya tiket balik karena paspor kami sudah dicap sebelumnya untuk bisa tinggal 2 bulan, tak ada gunanya. Sang petugas yang abusive tak mau mengerti, tak mengerti bahasa Indonesia kami dan bersikeras minta diperlihatkan tiket-ket-ket. Nah, selama 1.5 jam di depan ruang imigrasi itu, dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan betapa negeri ini menjadi beken sedunia di dalam ber-KKN. I saw numerous show of power and how right was Lord Acton again that power really corrupts the people, especially in this beautiful country called Indonesia. Sampai tayangan berikutnya, bai bai lam lekom.

Home Next Previous