Prenku masih lumayan banyaknya di Jakarta ini. Kemarin dulu beta bersendiri saja karena isteriku sedang menyusu di ibunya. Lantaran kangen ingin menikmati Soto Betawi Bang Husen lagi, kutelepon salah satunya dan muncullah 2 dari antara mereka. Info mereka sangat terkini. Anda yang terus mengikuti dagelan atau lenong pencalonan gubernur DKI tentu maklum. Konon, untuk jadi lurah saat ini dibutuhkan upeti sebesar 1M Rp doang. Setua ini ogut belum pernah melihat cheque atau uang sebesar satu milliar. Itu masih belum apa-apa kata mereka lagi. Untuk bisa menjadi presdir ini presdir itu dari cem-macem BUMN, setorannya sudah M-M-an, harga pasaran sekitar 5M. Tahan terus napasmu. Kalau sebentar lagi ongkos berobat ke dokter di negeri ini sama seperti di Amrik, itu karena ongkos memindahkan penempatan dokter lulusan baru dari Puskesmas di Lembah Baliem ke RSPI (Rumah Sakit Pondok Indah) biayanya 100 juta Rp doang. Kalau kecintaanmu kepada Respublik Indonesial ini masih tetap tak luntur meskipun dikau sudah makan kentang sehari-harinya, menangislah mengetahui puncak semua kegilaan adalah bisnis alias cem-macem percaloan yang dilakukan anggota DPR RI yang tidak-terhormat. Jadi tidak perlu heran kalau negara masih tetap terpuruk, tiada terang maupun benderang di cakrawala Indonesia. Kata para prenku di Ustrali, Indonesia terlalu kaya untuk bisa bangkrut. Bukan hanya wong Belanda yang tahu kekayaan Nusantara jadi mereka betul sekhalei. Hapuslah ingusmu sebab kesedihanmu percuma saja, seluruh jin di mayapada tak dapat menolong nasib bangsa yang terus terjajah ini, sekarang oleh kemarukan manusia.
Kalau saya menyetir di Jakarta, saya selalu menyetel FM 100.9, ya Radio Sonora yang merupakan "metamorfosa" Radio Angkatan Muda yang kudirikan waktu jaman "perjuangan" menegakkan Suharto menjadi diktator. Beberapa hari lalu ada woro-woro yang membuatku menelepon (lagi) si Jos bos Sonora. "Apaan tuh Kembara, gua mau lihat," kataku dalam bahasa ibu kami sebab ia pun anak Betawi. Kembara adalah singkatan dari KEMah BERsahabat dengan Alam RAya. "Ohhh, itu buat anak-anak. Kite (kami dalam bahasa Betawi) bawa ke deket Taman Safari buat 3 ari 2 malem. Kerjasama ama Rudy Badil (Mapala UI) supaya anak-anak itu dari kecil ga ngerusak." "Oh, gua kira buat orang dewasa." Jadi Jos menjelaskan apa-apa yang dilakukan atau dibimbing bagi anak-anak itu agar setelah dewasa, tidak sembarangan mengencingi bendungan beaver :-). Saya pun mampir ke studionya untuk minta diperlihatkan buktinya. Ia dan saya dulu suka 'snorkeling' ke kepulauan Seribu. Ketika kutanya apakah ia masih melakukannya, wajahnya menjadi sedih. Ya, ia juga yang membawaku mulai naik gunung ketika kami masih mahasiswa alias senang dengan alam raya. Katanya, hampir seluruh kepulauan Seribu, kecuali yang sangat jauh seperti Pulau Putri, sudah hancur karang-karangnya karena "pertambangan ikan" model Kurawa dbp Patih Durna.
"Yos, anginnya kemana ya?," kubertanya kepada Yoshua keponakan Cecilia nomor 16 (dari 17) yang berusia hampir 10 tahun. Saya ingin menaikkan layangan atau mencoba menaikkannya. Ia tidak tahu. Kuberani bertaruh, tidak ada satupun keponakan kami yang pernah mengadu layangan, apalagi membuat benang gelasan maupun sang layangan. Kemarin menunggu tibanya hidangan di restoran Pinisi Cisarua, kulihat 2 anak bocah bermain layangan. Kutegur dan kutanya, "Dik (biar keliatan masih muda :-)) berapa duit beli benang dan layangannya?" "Ada yang 1000 ada yang 1500 dan layangan satunya Rp. 250," jawab salah seorang. "Belikan saya yang 1500 dan dua layangan," kataku sambil memberi mereka 2 lembar ribuan. Tak lama tugas Bang Jeha mereka laksanakan hanya astaga sedikit, benangnya nylon dan layangannya jenis yang buat aduan alias kecil doang. Dibantu oleh Yoshua yang kuberi kursus kilat melepas layangan, kucoba menaikkannya. Gagal total dengan 3 dalih: "benangnya" keberatan, layangannya kekecilan dan yang paling penting, tiada angin yang cukup kencang. Selain sedih tidak bisa bermain layangan di Puncak, tidak ada satupun yang bisa membantuku, baik dalam memegang benang (pegang beradu istilahnya) di sisiku maupun bersiul memanggil angin :-). Kasihan ya anak-anak sekarang, hobinya bermain computer game atau nge-chat di Internet, olahraganya jalan di syoping mal :-).
Seperti saya syer di dalam Kisah Serba-Serbi terdahulu, saya berbahagia ketika bisa bertemu prenku sejak tahun 1972, Uda Datuk Palinggih van Kotogadang belum lama ini. Weleh-weleh, berkat kesaktian Catharina merayu, Uda nongol lagi dalam TURAT (temu darat) para sohib Bang Jeha tadi siang di Warung Sunda Bale Air. Saya berbahagia bukan saja mendapat cem-macem kue dan oleh-oleh, terlebih dapat melihat mereka-mereka dalam keadaan sehat-walafiat semuanya. Selain muka-muka lama seperti Kang AJS, Oom Gun, Marsel, Wanny, Romo Alex, juga dua nama yang sudah familiar, Donny dan Probo yang baru pertama kali ini kusalami. Probo sempat membuat ibunya syok ketika beliau mendapat anteran pribadi Ijazah Kursus KBA (Keluarga Berencana Alamiah) ogut, padahal sang ibu tahunya ia sedang belajar di Wolonggong Ustrali jurusan Elektro :-). Berkat Internet, semua menjadi mungkin termasuk ikut kursus lewat surat seterom. Saya percaya bahwa para peserta TURAT sependapat denganku, hanyalah dengan lebih mengenal di darat, kemungkinan kesalah-pahaman karena membaca tayangan "provokasi" dapat terhindarkan. Tak mungkin kita mau bermusuhan misalnya dengan Uda Datuk yang penceria seperti itu. Terima kasih sekali lagi prens sadayana atas persahabatan Anda semua dan waktu yang telah Anda luangkan.