Kemarin saya bolak-balik Cisarua-Gatot Subroto, suatu jarak sekitar 70 km doang tapi kutempuh dalam waktu 1.5 jam perginya, 2 jam lebih pulangnya. Dibutuhkan setengah jam untuk 9 km pertama dari Cisarua ke awal tol Ciawi. Artinya kalau saja saya bisa naik sepeda, saya akan tiba lebih cepat. Waktu kembali lagi ke Puncak, selepas gerbang tol Ciawi jalanan menjadi macet luar biasa, sekitar 2-3 km/jam alias jalan kaki pun akan lebih cepat. Untuk rakyat Betawi atau yang sering 'naar boven', naik ke atas, apa yang saya alami sudah bagus atau normal sebab terkadang mereka bisa mengalami kemacetan berjam-jam. "Apa sebabnya?," tanya Anda. Selain semakin padatnya lalulintas, juga banyak yang "aneh-aneh" terjadi seperti iringan kelompok kelab motor-besar yang ber-KKN dengan polantas sehingga mereka harus diberi jalan. Tadi siang, saya turun lagi ke Jakarta dari Cisarua. Karena macetnya jalanan, kuhitung jumlah bis yang berlawanan arah. Setelah 1 jam menghitung sampai jumlah 300-an, saya bosan. Itu hanya di jarak sejauh 9 km dan belum yang searah saya. Namun, biang dari segala kemacetan adalah ... kecelakaan lalulintas. Kemarin, setelah istirahat berturat-ria dengan sebagian di antara Anda, saya duduk-duduk di beranda villa yang letaknya cukup jauh dari jalan raya. Jelegur ....kukira bunyi petasan rakyat. Terlihat asap mengebul dari jauh. Belakangan baru kutahu (ada di Kompas hari ini beritanya), dua mobil Kijang dan Panther nyungsruk masuk ke lembah dan nyebur di kolam renang kepunyaan villa di bawahnya. Karena turunan yang cukup curam dari arah Tugu, ente tahu sendiri berapa cm jarak antara mobil-mobil di jalan raya Melayu ini, 16 mobil saling menyeruduk mobil di depannya dengan akibat 2 meninggal dan belasan luka-luka. Keluarga Cecilia yang sedang ke Cipanas, membutuhkan waktu 3 jam lebih untuk pulang ke villa kami malamnya. Itulah sebabnya, terkadang dibutuhkan waktu seharian untuk sampai ke Puncak dari Jakarta.
Di pagi harinya, saya hiking ke bawah untuk ikut "menonton" Panther dan Kijang di dalam kolam renang (yang sudah dikosongkan airnya) bersama belasan bocah sekampung. Bukan cerita mengenai rem blongnya bis yang mengawali kecelakaan itu yang menarik, tapi muatan Kijang tersebut. Menurut versi "wartawan lokal", ada 10 burung berkicau (song bird) yang akan dibawa ke perlombaan. Harga seekornya Rp 180 juta (kata Kompas Rp 50 juta yang termahal) dan ada 7 yang lepas, tiga OK. Burung berkicau di Kanada engga jadi duit, disini modal dagang. Saya lalu jadi teringat ketika suatu ketika membaca artikel di Readers Digest edisi Kanada. Pengamat burung dengan rekor 'sighting' terbesar di dunia adalah warga Kanada. Kulupa namanya dan ia pensiunan eksekutip perusahaan minyak, seingatku. Karena sugih-arta ia memiliki pesawat jet pribadi yang dikemudikannya sendiri kemana-mana. Akibatnya, bila ada laporan suatu burung langka diketemukan dimana saja di dunia dan belum ada di buku catatannya, ia akan lakoni untuk pergi ke tempat sang burung. Nah, yang menarik adalah ketika ia melaporkan jumlah burung langka yang ada di Pantura (pantai utara) Pulau Jawa ketika suatu ketika ia mampir ke tanah air kita. Katanya, jumlah burung langka per hari yang dilihatnya, merupakan rekor seumur hidupnya. Tak pernah ia melihat cem-macem burung di tempat manapun di dunia per harinya dengan konsentrasi kelangkaan seperti di Pulau Jawa. Mungkin sebagian dari jenis burung yang hilang di Puncak kemarin termasuk langka dan mahal sehingga sang pemilik tidak meratapi Kijangnya maupun bersyukur atas "burungnya" yang tetap OK, tetapi kehilangannya. Itu cerita "burung" yang beredar di Cisarua.
Ketika belum lama ini saya ke toko buku Gramedia, saya membeli a.l. buku Leila Budiman berjudul Gonjang-Ganjing Perkawinan. Isinya ya itu, segala kemelut dan duka-nestapa yang dialami manusia yang hidup dalam ikatan tali pernikahan. Namun, yang namanya tali itu bukan saja sudah rapuh seperti di negara-negara Barat, kemungkinan untuk 'temo', istilah Betawi untuk rapuhnya tali, jauh lebih besar. Tak perlu Anda membeli dan membaca buku Leila, pasang mata telingamu bila hidup di Jakarta dan Anda akan mendapat "suguhan" si Polan sekarang punya WIL, si Sarinem punya PIL. Semakin berkelebihan uang sang isteri atau suami, semakin tinggi posisi sosialnya, semakin besar probabilita terjadinya penyelewengan. Itu juga salah satu yang disyukuri Cecilia bahwa suaminya cuma eks pegawai biasa dan bukan eksekutip dengan hobi main golep serta ke panti pijat. Hanyalah kalau ototku udah "encok" banget sehabis mendayung barulah saya meminta Cecilia melaburinya dengan analgesic cream. Karena cuma mampu membeli tenda dan kanu doang, jauhlah kemungkinan saya membelikan gaun Versace bagi cewek lain :-). Seriusan lagi, itulah suguhan cerita dari waktu ke waktu bila saya berjumpa dengan man-teminku di Betawi, ada azha pren yang sudah punya gacoan ekstra atau kawin lagi alias punya bini mude. Godaan duniawi terlalu besar di Kampung Melayu ini, itulah sebabnya Bang Jeha mantan pengarang stensilan memilih tinggal di Kanada yang jauh lebih sedikit godaannya :-). Sampai jumpa, bai bai lam lekom.