Hari ini di pojok Mang Usil koran Kompas, Jakarta dinobatkan menjadi juara ketiga di dunia di dalam kota terpolusi setelah hanya kalah oleh Mexico City dan Bangkok. Tidak heran anak kami yang sekarang sudah santai lagi di Toronto a.l. berkata, "I'd rather be middle class than being rich and have to live in Jakarta." Perhatikan kata 'middle class' itu :-). Maklum ia anak kota jadi tidak mau mengatakan "rather be poor". Saya berani mengatakan bahwa pengumuman Mang Usil itu pasti tidak salah. Sejak pulang dari Cisarua setiap hari saya berenang di kolam renang umum Tirta Mas. Meski hari masih pagi, setiap kali saya mengambil napas, tercium wanginya asap knalpot segala macam kendaraan yang berlalu lalang dekat kolam renang. Ya maklum ingin sehat dan tidak mampu berenang di 'executive club' atau hotel wah, alhasil saya harus berenang di lingkungan seperti itu. Mudah-mudahan asap berpolusi dan tinggi kadar carcinogen-nya tidak menyebabkan paru-paru saya harus diapkir.
Semalam saya pergi ke Taman Hiburan Lokasari di Jl. Raya Mangga Besar bersama Cecilia, suatu perjalanan nostalgia bila Anda ingat cerita PAB saya, nonton bersama pada saat-saat masih pacaran di bioskop kelas kambing disitu. Melenceng sedikit, di Kompas hari ini juga kartun Oom Pasikom berisikan gambar seekor kerbau bertuliskan 1997 sedang digiring oleh si anak yang berkata ke si ayah, "Sekarang tahun kerbau kan pak ... tapi rupanya yang akan laku di pasaran KAMBING!" Oom Pasikom tampak menyengir dan ada 2 ekor kambing jantan sedang digiring oleh seorang berjas berdasi berperut gendut dengan mulut terkatup, wajah tak ramah dan kepala sedikit didongakkan ke atas. Warga P-Net ini yang pinter-pinter tentu tahu maksud kartunnya Oom Pasikom. Nah, pulang dari jalan-jalan saya mampir ke abang tukang jualan kerak telor di pinggir jalan, makanan khas Betawi. Untuk Anda yang tidak tahu apa itu kerak telor, ini makanan dari kahyangan lainnya yang bahan baku utamanya adalah kerak nasi dan telor yang dipanggang di wajan di atas anglo beserta segala macam bumbu-bumbu seperti ebi, serbuk kelapa, dan bawang goreng. Karena sudah lama tidak beli dan makan kerak telor saya tanya dahulu sebelum memesan. "Berape duit atunye Bang?" "Ceng go," kate si abang nyang ude jadi penduduk kosmopolitan Jakarte alias bilingual :-). "Kamu tidak tawar," kata Cecilia bisik-bisik setelah saya memesannya. Dasar ia sudah kejangkitan "gila nawar" sehabis belanja di Goro ya :-). Saya katakan, "Yah murah banget, engga sampe se-dollar." Cecilia menganggukkan kepalanya pertanda setuju bahwa kerak telor yang tidak mudah dibuatnya itu, murah sekali (untuk ukuran orang Kanada) :-). Ya, bila kita memakai ukuran penghasilan Amerika Utara, apa-apa di Jakarta relatif murah. Sedemikian murahnya sampai seorang teman kami dari Toronto yang juga sedang jalan-jalan ke Betawi, memborong segala macam. Maklum sudah hampir 20 tahun ia tidak pulang kampung. Konon ia membeli kerupuk sampai 25 kg, pete sampai 300 papan, dan entah apa lagi sebab kemarin anak kami yang kecil, Toby, mendapat rejeki dititipkan satu koper berisi kerupuk dan pete untuk dibawa pulang ke Toronto :-). (Mote, siap-siap pesta kerupuk dan pete di UKI :-)). Kalau semua turis seperti teman kami itu, saya yakin tidak lama lagi tukang kerupuk dan pete akan 'go public' alias menjual saham sebab cadangan pete di Indonesia pasti lebih hebat lagi dari cadangan emas Busang.
Masih cerita dari Jakarta (ya apalagi yang bisa diceritakan :-) kemarin saya melintasi Jl. Letjen Suprapto dekat kantor Perum Taspen. Pecahan kaca mobil berserakan di sepanjang jalan. Kata pak supir, "Ini habis tawuran Pak." Anda tentu tahu apa itu tawuran, "olahraga" anak-anak sekolah di Jakarta jaman sekarang. Kalau anak-anak sekolah jaman saya dan wan Nawi anak Betawi adalah main bola dari mulai bola kertas koran sampai bola karet sampai bola kulit (yang kalau kena tertendang bagian pentilnya kita sering meringis) dan lempar-lemparan gangsing dan gundu, anak sekolah jaman kini tendangannya adalah manusia sesamanya dan yang dilempar adalah batu sebesar kepala :-(. Entah mengapa bisa begini. Kalau tak salah Mas Noordin belum lama ini pernah berkomentar dan memberikan sedikit analisa. Saya hanya bisa sedih saja dan merasa prihatin kalau anak-anak yang semestinya harapan bangsa, sudah dari kecil "olahraganya" tawuran.
Seperti biasa ulah kutu buku, meski baru seminggu di Jakarta saya sudah mengunjungi 3 toko buku, Gramedia, Obor dan Gunung Agung. Dahulu salah satu sumber kebahagiaan hidup saya waktu masih anak-anak adalah ke toko buku Gunung Agung cabang Gunung Sahari yang terletak di muka jalan Gn. Sahari VI. Dengan uang jajan yang cuma sedikit tetap saya mampu membeli buku satu dua di Gunung Agung itu. Sekarang meski uang jajan saya lebih banyak :-), buku yang saya mampu atau ingin beli di Jakarta hampir tidak ada lho. Bukan main mahalnya harga buku di Indonesia, bukan hanya buku asing, terjemahan, juga buku terbitan lokal karya pengarang Indonesia! Saya tidak begitu paham mengapa pasar 200 juta manusia (199.7 juta di akhir 1996 kata koran) ini tidak dapat menunjang buku dengan harga yang terjangkau untuk dibeli rakyat banyak. Eh, koran Kompas hari ini memuat tulisan yang membahasnya. Salah satu sebabnya adalah pajak. Kata pihak penerbit, kalau saja buku dibebaskan pajak pasti harganya bisa diturunkan sampai 20% dan akan menaikkan minat baca. Kata pihak pemerintah, yang penting memperbaiki minat baca dan bukan menghilangkan pajak. Entah pihak mana yang benar, walahualam. Yang penting untuk saya, tidak ada satupun buku yang saya beli untuk diri saya pribadi, di ketiga toko di atas, padahal minat baca saya Anda tentu percaya kalau saya katakan 'above average'.
Ada warga P-Net yang berkata, "Kog cerita kisah kunjungan ini sedih mulu sih." Iya ya, habis itu yang saya alami dan amati sih. Tapi Anda ada benarnya bahwa tetap banyak kesukaan saya mengunjungi kota kelahiranku ini. Kemarin sehabis mengantarkan Toby dari airport saya melewati daerah Kota atau tepatnya daerah Pasar Ikan. Dahulu seminggu dua kali saya naik sepeda ke daerah ini sebab saya berguru kepada murid dan anak angkat Sinshe Lo Ban Teng di Jl. Tiang Bendera, Oom Kek Kiong kami panggil nama beliau. Jadi melewati bangunan tua sejak jaman VOC :-) yang dahulu saya sering lewati dan pandangi, memberikan kesejukan di hati. Yesss, gitu :-). Hati saya tertawa juga mengingat satu tayangan di P-Net ini kalau tidak salah yang menceritakan terceburnya seorang pejabat ke kali wangi yang ada di dekat situ. "Eh jahat nih si jusni," kata yang penuh compassion :-). Ya memang anak Betawi ini senang kalau melihat ada yang main di comberan sebab dulu kalau main gundu dan sang gundu masuk ke got, kami juga main comberan.
Selain kerak telor, duren sedollar :-), rambutan aci rapi'a, duku Palembang, salak Pondok, segala macam jenis bakmi, masih banyak makanan enak lainnya yang saya dan Cecilia nikmati dalam kunjungan kami kali ini. Bila ada di antara Anda yang sudah lama tidak pulang ke tanah air dan rindu akan makanan tertentu, Anda dapat memesannya kepada kami. Akan kami beli dan makan untuk Anda, 'on your behalf' gitu dan kami laporkan betapa enak dan wah-nya :-). Sebelum saya dilempari batu atau ditawurkan oleh Anda-anda, lebih baik minta diri dulu deh. Salam dari Betawi yang memang wangi :-).