Salah satu kebahagiaan teman-temanku yang (masih) jujur dan tinggal di Indonesia adalah bila mereka "digoblok-goblokin" oleh para temannya yang uangnya sudah M-M-an. Itulah juga nasib yang menimpa saya ketika seorang warga Paroki-Net dari Ciputat "menggobloki" saya, sudah jauh-jauh dan susah-susah pindah ke Kanada, en toh melihat atau memegang uang sebesar 1 miliar Rupiah saja tak pernah. Kampungan banget katanya :-). Sekali lagi Mase, suwer bahwa Rupiah terbesar yang pernah saya pegang atau terima hanyalah belasan juta Rupiah ketika tahun lalu ibeem menggantikan ongkos tiket kapal terbang ogut (business class) dan tanganku gemeteran menghitung uang sebesar itu, takut ada yang palsu. :-) Seriusan, adikku belum lama ini mendapat uang pecahan Rp 20 ribu palsu dari bank dan tentu saja mereka engga ngaku uang itu dari mereka. Masih untung cuma 20 ribu, kata adikku. Tak pernah ada warga Melayu yang merugi memang. Nah, Mas W prenku eks P-Net mengoreksi bahwa jumlah upeti yang kutulis terlalu kecil. Itu mah presdir BUMN kere yang upetinya 5M. Ia benar ataupun memang saya sudah dibantah beberapa "pakar pencaloan". Kata Mas W lagi, ia kenal seorang PNS (Peg.Neg.Sipil) eselon paling rendah dan udah punya se-M. Itu yang PALING keroco. Jangan ditanya yang eselon atas. Pokoke, Anda semakin tahu betapa kayanya para pejabat di negeri antah berantakan ini. Silahkan dikau menyesal seumur hidup dulu sekolah salah pilih jurusan :-). Resep Mas W untuk tidak jadi THP katanya adalah dengan menganggap semuanya sebagai dagelan azha dan jangan lupa untuk berdoa, maksudnya tawakal dan percaya bahwa 100 tahun lagi semua kegilaan ini akan berakhir karena Indonesia akan menjadi padang gurun. Bacalah Kompas hari ini tentang hancurnya Taman Laut Karimunjawa dan Hutan Lindung Mahato (Riau). Apa yang disyer prenku Jos Sonora benul sekhalei.
Mase, kalau para PNS hepi dengan M-M-an Rp, rumah mentereng dan lusinan mobil di garasi, kebahagianku memang kudapat dari power jenis lainnya. Kemarin sahaya hepi sekhalei akhirnya berhasil menaikkan layangan di Cisarua, dibantu oleh keponakanku Yoshua yang imut-imut. Sayangnya Yoshua lalu kelelahan atau bosan ketika kucoba mengajari betapa asyiknya "mengemudikan" layangan. Kalau angin membuatnya merendah, kita kedut-kedut sehingga naik ke angkasa lagi. Kalau arahnya melenceng ke kiri atau ke kanan, kita ulur sedikit sampai ia lurus lagi posisinya dan baru kita tarik ke atas. Tak lama kemudian Yoshua lari ke dalam rumah dan menonton TV kembali :-). Bisa bermain layangan meski tak punya miliaran Rupiah adalah kebahagiaan hidup untukku dan kuyakin banyak di antara Anda yang hobinya serupa, mendapat kenikmatan di alam raya. Kita masih tergantung kepada alam, adanya angin dan cerahnya udara untuk memperoleh kebutuhan power, in control dalam mengatur sang layangan. Akibatnya kita, semoga, tidak sesumbar bahwa kita sudah menjadi manusia yang sangat berkuasa. Selesai bermain layangan dan kepanasan di terik matahari pagi Cisarua, adalah "karunia Ilahi" bagiku ketika kusempat berenang di kolam renang villa yang kami tumpangi sambil menikmati indahnya hari. Ga pa pa tidak pernah melihat semiliar rupiah Mase, akibatnya bebas bahaya kwalat yang sering sepertinya melanda manusia Indonesia.
Di tayangan terdahulu kusyer kehepianku berjumpa dengan Uda Datuk sampai 2 kali. Kemarin saya ngerumpi di rumah prenku secangkulan dulu ketika kami di Wisma Metropolitan. Sawahnya sudah berpindah ke Bank Mandiri dan rumah instansi itu ada di daerah 'glass house' Kebayoran Baru. Berkumpul bersama prenku eks kempingan ketika di Melayu juga membawa kebahagiaan tersendiri. Selalu ada saja kisah nostalgila yang kami ketengahkan. Berkat warisan "akal ibeem", prenku si Agam berhasil suatu ketika mengunjungi saya dan Cecilia di Toronto dengan dalih meninjau instalasi komputer Bank of Montreal yang letaknya semenit bermobil dari rumahku. Ketika ia sudah tiba di Vancouver, kusambungkan ia dengan orang BOM dan terjadi dialog sebagai berikut. "May I have your name sir?," kata noni resepsionis BOM. "My name is Agam," dan ia menyepel namanya itu. Dalam hatiku, kog nama keluarganya tidak diberitahukannya sama sekali. Ketika sehabis dari BOM ia ke rumahku, kutanya kepada anak BABE ini (BAtak gede di BEtawi). "Gam, kog elu ga kasih tau nama keluarga elu?" "Susah Jus, gimana gue nyepelnya, ude panjang die ga bakalan ngerti. Pan gue bakal bilang 'N for Norman' (sambil ia mengucapkan Norman kaya Nurman alias pake aksen Melayu). Ga ngerti si bule, die taunye Noormennn," katanya beraksen bule. "Lalu A sih masih OK, for Alpha. Nah P, gue bilangnya Piterrrr (dengan r yang nyata dan panjang). Die ngertinya Pite (ia beraksen Inggris lagi). Pokoknya susah Jus." Saya lalu manggut-manggut dan memang itulah kendala kita anak Indonesia yang melanglang-buana. Itu sebabnya kedua anakku kuberi nama berbau bule dan sebagian di antara prenku lebih canggih lagi. Nama mereka langsung Billy meski tak ada William-nya atau Bob meski tak ada urusan dengan Robert. Sekian dulu dongengan dari Betawi hari ini, sampai tayangan mendatang, bai bai lam lekom.