Prakata: Seri ke 43 s/d 73 ini ditulis oleh Bang Jeha ketika ia memecahkan rekor pulang kampungnya selama 2 bulan di Indonesia di bulan Desember 2003 s/d Januari 2004.

Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 43

"Berapa lama bakal liburan di Indo Bang Jeha?," suatu pertanyaan yang perlu kujawab untuk ke sekian kalinya, 60 hari, dua bulanan. "Lama banget?," kata si penanya lagi. Mungkin tidak banyak anak Kanada yang selama ini berliburan dua bulan di Indonesia tetapi jawaban saya selanjutnya adalah agar dapat memanfaatkan ongkos visaku sebesar $ 50 yang ditagih oleh KJRI Toronto. Sebetulnya aturan atau keharusan bagi WN Kanada (dan Amrik) untuk meminta visa bagi kunjungan ke Indonesia masih simpang siur. Tidak percaya, silahkan Anda telepon satu persatu konsulat RI di kota-kota Amrik dan Kanada. Mayoritas termasuk yang di Toronto mengatakan harus, satu dua mengatakan tak perlu atau belum. Konon visa bisa juga diperoleh di Cengkareng hanya ongkosnya di dalam dollar Amrik dan lama berlakunya hanya 30 hari. Sebagai seorang pensiunan programmer a la kadarnya, saya tidak mau mengambil risiko bahwa saya harus bolak balik ke Singapur agar bisa tinggal di Indo selama 60 hari. Soalnya tiket kembali saya dari Los Angeles ke Toronto baru berlaku pada tanggal 8 Pebruari 2004 alias tidak bisa diubah-ubah. Siapa yang mau menampung saya dan nyonya sebulan tinggal di Los Angeles?

Seorang pren saya di LA, kota yang saya singgahi beberapa hari sebelum menclok ke Jakarta mempunyai biro perjalanan. Dengan muanteb bak layaknya anak Betawi ia mencanangkan, setelah mensurvai semua konsulat RI di Amrik dan terutama informasi dari Internet, bahwa kita engga perlu minta visa. Seberapa bonafid keyakinannya atau apakah Anda mau nekad datang tanpa visa? Beginilah kira-kira dialog yang terjadi antara saya dan petugas imigrasi di Cengkareng. "Ada visa pak?" Ada, saya sudah minta visa di KJRI Toronto dan dapat 60 hari. "Bagus kalau begitu." Kalau saya tidak punya visa, apa yang akan terjadi pak, saya dengar bisa minta di Cengkareng? "Oh, itu nanti Januari dan sekarang ini kalau bapak tidak punya visa kami bisa bantu." Lalu si ibu petugas imigrasi di sebelahnya, yang pangkatnya tinggian sebab ada 3 seterip di epaulette-nya berkata, "Bapak tentu tahu ya maksudnya, ada imbalannya gitu." Saya dengan tak kalah mantepnya tentu mengangguk sambil dalam hati merasa lega bahwa berita dari luar batang yang menempatkan Indonesia di anak tangga, tiga terbesar atau lima terhebat di dalam perkorupsian, tidak salah. Sebetulnya orang goblok bin bego dari mancanegara pun akan sadar begitu mengantri di loket imigrasi, kog ada puluhan orang yang bisa lewat dalam sekejap di barisan semrawutan paling kanan. Ketika pesawat saya mendarat, ada satu pesawat jumbo jet lainnya yang juga memuntahkan penumpang sehingga ratusan orang mengantri di hanya sekitar 7 loket, padahal ada 14 counter dan beberapa petugas imigrasi yang "nganggur" berseliweran di daerah paling kanan itu. Setiap beberapa menit, ada saja calo yang menggiring beberapa penumpang asing masuk ke dalam ruangan ataupun para 'alien' itu menunggu di bagian belakang kantor, untuk si calo memproses paspor mereka. Oya, untuk penumpang lokal anak Indo yang sakti, atau ia akan dijemput atau ia langsung masuk ke dalam kamar dan dalam sekejap keluar lagi. Jadi pesan saya kepada Anda-anda WN Kanada maupun Amrik yang tidak mau "dibantu" petugas imigrasi di Cengkareng, mintalah atau modalilah Cdn $ 50 untuk membayar visa kunjungan di luar batang.

Tentulah tidak adil ya prens sadayana, kalau hanya pejabat pemerintah yang saya dongengkan di awal serial ini. Di dalam mobil dari Cengkareng ke rumah tempat saya akan tinggal, adik saya menceritakan kisah keponakan saya yang belum lama ini mau masuk SMA. Bukan saja ia harus mengeluarkan uang berjeti-jeti untuk uang pangkal resmi masuk di SMA Katolik tersebut, tetapi ia perlu juga memberikan imbalan sekitar 2 jeti untuk kantong kepala sekolah kalau anaknya mau diloloskan. Uang pangkal 6-7 juta rupiah di SMA tersebut adalah 'kwaci' kalau dibandingkan dengan banyak SMA swasta lainnya, konon. Jadi pungli dan suap serta korupsi memang sudah melembaga di Republik Indonesia terbukti bahwa di institusi pendidikan pun hal tersebut sudah dilumrahkan. Karena kebetulan beberapa anggota keluarga saya adalah guru, jadi saya mendapat masukan dari kedua belah pihak, konsumen dan produsen. Pihak produsen jelas mengeluh, kalau mereka harus hidup hanya dari uang gaji guru, tidak bisa memberikan les ini les itu kepada para muridnya dan tak boleh menerima hadiah Lebaran Natal Tahun Baru Valentine Halloween dan berbagai macam perayaan lainnya yang merebak di Indo, mereka akan terkapar mati enggan hidup tak mau. Saya yakin kalau saja saya bisa mewawancarai para petugas imigrasi di Cengkareng, begitulah juga keluhan mereka, bahwa gaji beserta tunjangan hidup mereka tak cukup untuk dipakai, boro-boro bisa berliburan ke Nusa Dua di Bali seperti dilakukan para atasan mereka, anak-anak mereka tak akan bisa jajan di 'mekdi', istilah ABG Indo untuk restoran McDonald.

Seriusan prens para pemirsa pembaca yang saya hormati, tidak mudah atau saat ini mustahil lah untuk memberantas korupsi di Indo sebab memang sudah membudaya. Saya tidak akan berani bertaruh bahwa selama saya tinggal 60 hari ini saya tidak akan terlibat KKN ataupun praktek korupsi. Pan ada pepatah 'when in Rome do as the Romans do', dalih yang maha mudah. Lebih serius lagi, selama contoh kehidupan wah terus berseliweran di muka warga bangsa, sukar tentunya untuk menahan godaan tidak perlu makan di McD dan cukuplah di warung soto Betawi Bang Husein yang sedang saya tunggu siapa yang akan mengajak saya kesana, di antara para sahabat saya di kota ini :-). Yang tak kalah sukarnya disamping melawan godaan untuk hidup oke bin mewah, adalah contoh soal yang dipertontonkan mereka yang berkuasa, baik di dalam kuasa menggelapkan uang rakyat di bank bernilai trilyunan rupiah maupun menerima uang semir yang jeti-jetian di dalam US dollar. Kata Kwik Kian Gie di Kompas hari ini, hanya dari APBN saja, 305 trilyun rupiah duit rakyat amblas dikorupsi di tahun 2003.

Ketika saya masih di LA dan ngerumpi bersama beberapa warga Amrik yang sadar politik, mereka mendambakan banget bila anak-anak mereka aktif jadi politikus, syukur-syukur suatu ketika bisa mengikuti jejak Clinton atau Bush tergantung apakah mereka keluarga Democrat atau Republican :-). Nah, bila Anda hari ini membaca koran Kompas edisi cetak di Betawi, Anda bisa melihat seluruh gambar 24 partai yang sudah lolos untuk ikut dalam Pemilu 2004. Yang menarik adalah membaca siapa ketui partai nomor satu di daftar tersebut, Sukmawati puteri Sukarno membawa panji-panji Partai Nasional Indonesia Marhaenisme. Kemudian partai di urutan terakhir nomor 24, Partai Pelopor mempunyai jagoan Rachmawati Soekarnoputri. Dengan Mbak Ega yang menjadi juru perang dari PDI Perjuangan bernomor 18, berarti tiga anak perempuan Bung Karno sudah menjadi politikus. Opo ora huebat rek? :-) Bung Karnolah yang memang hebat, membesarkan anak-anaknya sehingga tidak takut akan politik seperti umumnya anak-anak Indo yang tinggal di luar batang, kecuali beberapa prenku di atas. Ya, di dalam perumpian kami, kami membicarakan dan mensyer ketakutan banyak WNI di Toronto dan Los Angeles akan keterlibatan di dalam perpolitikan, terutama bila mereka adalah kawula Gereja Katolik, entah mengapa. Memang kita diberikan kebebasan untuk jadi warga negara pembayar pajak saja atau kalau di Indo mencari akal agar terhindar dari pajak :-). Tetapi satu hal bedanya ikut politik dengan tidak, sederhana saja. Kalau Anda tidak berkeberatan kehidupanmu, terkadang kenyamanan dan keselamatanmu diatur orang lain, ya silahkan nyangkul terus saja. Siapa tahu salah satu dari kedua anak Bung Karno lainnya di atas mampu untuk membuat RI seperti ketika di jaman normal dimana orang tak takut untuk bepergian ke luar kota. Bu Manto wong Solo, tukang pijit yang ditanggap isteriku pagi ini, sudah tidak berani naik mobil di malam hari untuk pulang ke kampungnya dan kalau perlu stop di perjalanan, anak yang menyupirinya selalu memilih stop di pom bensin, katanya. Boro-boro bisa lesehan pakai tikar di pinggir jalan seperti sering dilakukan para prenku anak Toronto, kalau kami sedang bepergian menuju ke suatu cagar alam. Kiat Bu Manto bagi Bang Jeha yang mau ke Solo adalah, berangkat jam 4 pagi sehingga di perjalanan maupun ketika sampai, hari masih akan terang. Jadi doakanlah saya dan nyonya agar salah satu cita-cita kami pulang kampung untuk kondangan ke Solo dapat berjalan dengan mulus :-). Sekian dulu, sampai berjumpa dalam kisah selanjutnya, salam dari Betawi.

Home Next Previous