Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 44

"Selamat datang di tanah-air yang murah meriah," demikian tulis prenku si MoTe, singkatan dari namanya Romo Teja Anthara, ikut-ikutan gaya si Jeha :-). Kataku, belum tentu murah. Misalnya pengalamanku di hari pertama mulai menjelajahi Jakarta, khususnya daerah Kota. Gara-gara ada busway maka sahaya jadi kesasar sampai ke Asemka padahal maunya nikung belok kiri masuk Pancoran untuk terus ke Pintu Kecil, alamat yang perlu kukunjungi mengantar titipan. Sebelum Anda bingung apa itu busway, memang menyangkut urusan bis yang kata prenku proyek Pemprov DKI bernilai trilyunan rupiah. Sedang dibuat bis-bis khusus untuk melewati jalur yang juga dibuat khusus dari Blok M sampai ke Kota di depan beos, istilah anak Betawi untuk Stasiun (kereta api) Kota. Jalur itu sebetulnya bagian dari jalan raya yang ada, yang sudah saya lihat adalah yang sepanjang Jl. Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Jalur paling kanan dibuatkan pemisah dengan jalur lainnya sehingga kendaraan tidak bisa masuk ke jalur tersebut. Namanya juga jalanan bis, busway. Nah, sekarang ini busway bisa atau boleh dilalui kendaraan lainnya sebab tukang bikin bis, PT Armada dari Magelang sedang mengerahkan armada pegawainya lembur siang malam pagi sore agar 40-an bis pesanan Pemprov DKI bisa selesai akhir bulan ini agar Bang Jeha bisa mencobainya. Akan menarik untuk menyimak dampak kemacetan yang semakin akan ditimbulkan oleh busway sebab anak Indo mana yang senang naik bis di Jakarta? Semua pemakai bis adalah karena kepaksa azha. Kembali ke kesasarnya sahaya, masuk dari Asemka berarti Pintu Kecil sudah terlewati alias saya lalu harus masuk daerah Pasar Pagi dimana hanya orang setengah waras mau naik mobil kesitu. Para jalanan disitu yang hanya dua jalur sempit, satunya dipakai buat parkir mobil, misalnya Jalan Perniagaan Timur dan Toko Tiga yang mesti saya lalui. Karena cuma ada satu jalur yang dipakai beramai-ramai oleh sedan, bajaj, sepeda-motor, gerobak sampai ke kereta dorong buat mengangkut barang-barang dagangan toko di sepanjang jalan disitu, maka kecepatan mobil sudah bagus kalau bisa mencapai 100 meter/jam-nya. Akibat bermobil di dalam kemacetan seperti itu, maka harga bensin Premium yang kuhitung cuma 30 sen Kanada seliternya, separuh harga bensin di Toronto, tak lagi mur-mer, tapi ma-bok, mahal begok. Belum kalau dihitung memakai teori 'loss revenue' sementara prenku di Toronto yang menghitung ruginya mereka jadi imigran Kanada dengan gaji kecil atau amit-amit jadi pengangguran padahal waktu di Jakarta bergaji eksekutip $ 100 per jamnya. :-) Apanya yang murmer MoTe? Untungnya sih saya mah 'enjoy enjoy' wae menikmati perilaku manusia selama 2 jam di kemacetan jalanan daerah Kota tersebut.

Satu hal lagi yang belum saya ketengahkan dan mungkin tidak diketahui banyak warga Melayu adalah besarnya risiko berliburan di Indo. Suatu buku terbitan Kanada yang disponsori satu perusahaan farmasi memberikan risiko tinggi bagi para pendatang turis (ketimbang sedang urusan bisnis), tinggal di rumah enyaknya (katimbang tinggal di hotel), merencanakan pergi ke tempat eksotik seperti Ujung Kulon maupun kemping ke kampung. Di dalam hal ini, semoga prenku si MoTe benar bahwa investasi vaksinasi thypoid, hepatitis A dan B serta tetanus yang sudah saya lakukan, dapat membuat kunjungan saya tetaplah murmer katimbang harus sampai masuk rumah sakit, tok tok tok. Meskipun vaksin hepatitis itu $ 150 biaya per orangnya, kalau saya sedang menikmati Bakmi GM, tidak akan saya banding-bandingkan atau perhitungkan lagi. Kan namanya juga investasi.

Mong-ngomong soal makanan enak, prenku anak Mississauga si Ferry "Sepatu" (ada banyak Ferry di Kanada, termasuk Dubes Kanada untuk Indonesia :-)) belum lama ini mengirimkan sahaya daftar resto makanan uenak di Betawi. Setelah saya cetak, total list itu menjadi 4 halaman. Itu yang hanya diketahui si Ferry, belum yang suka disatroni si Jeffrey, si Shirley, si Lisa, dan seribu ABG pencinta makanan lainnya. Daftar itu memuat mulai bubur ayam enak ke nasi goreng oke punya, sampai ke bakmi yang asyik-asyik. Saya setuju saja tentunya bahwa mestilah hasil kompilasi anak-anak Indo itu akan cocok dengan perut kita. Kemarin saya mengunjungi tante dan oom-ku yang belum lama ini pergi ke RRT dan suwer makanannya norak-norak alias engga enak :-). Memang saya mah engga semangat pergi ke negara itu meskipun sesekali bojoku suka ngajakin. Kemarin juga, seusai Misa pagi di gereja BonVen, langganan tempat saya berdoa kalau sedang di Jakarta supaya nasib tidak sesial ketika dikerjain oleh America West di dalam perjalanan dari Toronto ke Los Angeles, kami pergi ke Kelapa Gading mencari Bakmi Alok. Si engkoh masih tutup libur Lebaran, kata tulisan di pintu warungnya. Cari lagi satu bakmi di gang yang sama di sebelah BCA Kelapa Gading tersebut, Bakmi Ahok (kaya Soto Pak Kumis ye, dimana-mana pada ngopi :-), sama tutup. Muter ke Jl. Boulevard KG dimana ada 100 warung dan restoran makanan dari seluruh Indonesia dan ketemu Bakmi Bangka Apin. Saya pesan bakmi spesialnya dimana seluruh "warga" perbakmian seperti bakso, pangsit, kekhian, dsb, disajikan bersama. Lumayan, not too bad alias pretty good lach yauw. Kecapan warung bakmi itu adalah mie-nya mereka buat sendiri dari bahan-bahan asli yang tak mengandung plastik :-) serta tidak memakai pengawet ataupun bahan kimia lainnya. Tidak heran jadi oke punya.

Waktu saya terakhir ke Indo di bulan Mei-Juli tahun lalu, mal Kelapa Gading sedang diperluas dan sekarang sudah selesai. Jadi kesana ceritanya saya sekalian mau rapat dengan pengemudi mobil tebengan saya untuk kondangan ke Solo nanti :-). Wah hesbat sekali rek security mal di Jakarta saat ini. Sebelum mobil saya masuk ke pelataran parkir di basement mal, dua urang petugas setelah minta maap dan permisi, seperti layaknya prosedur sopan-santun wong Indo, membuka pintu mobil saya dan mengacungkan alat seperti tepokan nyamuk pake seterom itu ke benda-benda yang saya bawa di dalam mobil. Untunglah tidak ada yang mencurigakan maupun bunyi aneh seperti ketika sepatu saya menjerit melewati gerbang security check di airport Amrik :-). Mampirlah saya ceritanya ke toko, apalagi kalau bukan Gramedia, untuk membeli peta Jakarta. Berkat kowaran di Internet, saya mencoba lihat dulu kehebatan peta karya orang Jerman itu yang berbentuk buku. Mahal mek, Rp 80 ribu alias lebih dari 10 dollar. Ga usah ye dan Bang Jeha si hemat membeli peta yang harganya Rp 10 ribu saja. Soalnya saya perlu peta itu untuk Sabtu nanti berhalal-bihalal dengan para prenku secangkulan dulu waktu di Indo. Saya mendapat ancaman kalau sampai datang terlambat, es baltik setermos yang sudah dijanjikan seorang sohibku, tidak dijamin lagi masih ada isinya engga berhubung pendaftar ke acara itu sudah mendekati 100 orang :-). Doakanlah saya supaya tidak nyasar untuk sampai ke resto Kusuma Sari (sekalian promosi biar dapet diskon :-)) di Pasar Majestic dekat Circle K dan Dapur Coklat. Sampai serial berikutnya, salam dari Betawi.

Home Next Previous