Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 45

"Use-knee, are you seriously considering retirement and what do you plan to do afterwards?," tanya beberapa prenku secangkulan di Kanada ketika saya mensyer ke mereka rencana pensiunku di awal tahun lalu. Saat itu saya sadar bahwa saya mempunyai dua opsi di dalam hal pensiun. Kerja terusss sampai sedikitnya berumur 65 tahun sehingga dokuku bertambah banyak dan dengan demikian mampu untuk jalan-jalannya ke Venice, Itali, bukan ke Betawi :-). Pensiun di usia 54 tahun dan dengan demikian berenangnya cuma bisa di kolam renang Tirta Mas, bukan di Pantai Waikiki di Hawaii. Seperti Anda tahu, tak pasti apakah saya masih akan sesehat sebugar sekarang 11 tahun kemudian, saya memilih yang terakhir. Oleh sebab itu, ketika saya melihat sudah makin kotornya sang kolam renang selama dua hari ini saya berenang setiap pagi, saya menjadi lebih sabar :-). Lantai kolam renang Tirta Mas tersebut penuh dengan lumut, pertanda atau kadar chlorinenya kurang, atau dibersihkannya seminggu sekali. Kemarin dulu, karena terlambat datang berhubung keluyuran cari bakmi dulu, ketika saya mulai berenang sudah ada 100 "kecebong" anak-anak sekolah yang pada ikutan berenang di kolam tersebut. Tirta atau air di kolam sudah menjadi butek kaya Mas-mas prenku karena mengebulnya semua endapan lumut yang hitam. Siapa suruh berenang di kolam renang murmer, mungkin demikian kata si MoTe :-). Ya, taripnya bagi umum adalah Rp 7900 saat ini dan memang masih lebih murah dari ongkos $ 2 di kolam renang Toronto.

Karena duit pensiunan yang ngepas alias engga mampu dong untuk berenang di kolam renang Hotel Hilton misalnya, apa yang bisa saya lakukan adalah memberi "masukan". "Mbak, pak direktur belum datang ya?," tanya saya ke petugas penjual karcis di loket. "Oh, Pak Pur, belum tiba tuh," kata doi. "Wakilnya ada engga Mbak?," tanya saya lagi. "Dengan Pak Bud yah?," ujar si Mbak. "Boleh dengan Pak Bud," kata saya. Dicarilah ada dimana si Pak Bud dan ketemu dan saya memperkenalkan diri sebagai turis yang lagi pakansi dan tinggal di luar kota saat ini. "Saya mau memberikan masukan Pak," kata Bang Jeha Anda. "Oya boleh." Dengan ilmu jualan eks cangkulanku yang kita juduli 'yes but' saya memberikan penghargaan bahwa sekarang kamar bilasnya sudah bagus. Ledeng yang tadinya bolong alias tidak ada 'shower head'-nya sudah dimodali pakai kepala dan ketiga-tiganya jalan alias engga ada yang rusak kaya biasanya. Pak Bud tampak hepi. Lalu saya mulai ngeritik. "Tapi Pak, kenapa sekarang kolam renangnya kotor penuh lumut, apakah kurang chlorine-nya?" "Oh itu kemungkinan tadi pagi tidak sempat dibersihkan. Nanti saya akan beritahukan supaya di-vacum dengan baik." "Terima kasih Pak, saya rencana berenang setiap hari sih." "Saya yang berterima kasih," kata Pak Bud yang ramah dan hepi menerima complaint Bang Jeha. Ketika saya masuk ke dalam mobil, saya lihat Pak Bud dengan muka serius sedang berbicara kepada satu dua anak-buahnya, kemungkinan tukang bersih kolam yang tadi pagi telat masuknya kaya pak direktur Pur. Kita lihat saja apakah besok-besok kolam renang Tirta Mas akan asyik lagi direnangi seperti dahulu kala.

Teman-teman saya yang tinggal di Kanada maupun di Amrik saya yakin tidak akan berhenti berjalan untuk memungut uang logam satu dua sen, penny istilah kami. Bukan saja satu penny tidak dilihat sebelah mata, sebagian penduduk mengusulkan untuk menghapuskan saja mata uang penny dari perhitungan keuangan alias dibulatkan ke 'dime', 10 sen. Satu sen Amrik itu sekitar 85 rupiah dan satu sen Kanada 65 rupiah. Di dalam transaksi pembayaran di Kanada, sering kami mendapat mata uang penny-nya Amrik dan kami engga peduli, dianggap sama. Nah, kalau Anda tinggal di luar batang dan pernah membaca serialku yang lalu, mungkin masih ingat akan pak ogah. Itu adalah julukan rakyat kepada anak-anak muda yang berkarya di putaran jalan, U-turn. Mereka, semestinya menyetop kendaraan yang sedang melaju sehingga kita yang mau berbelok akan dengan rela memberikan upah Rp 100 kepada pak ogah bagian menadahkan tangan. Pak ogah yang tugas menyetop kadang-kadang rada ogah-ogahan di dalam melakukan tugasnya dan mungkin karena itulah mereka disebut pak ogah. Baik pak ogah maupun para pengemis di setiap lampu lalulintas, akan hepi sekhalei dan 'say thank you' diberikan uang senilai satu dua 'penny'. Jadi lain kali kalau Anda ketemu penny di jalan, pungutlah dan berikan kepada saya untuk saya hibahkan lagi kepada pak ogah. Maksud saya mau menceritakan dongeng di atas adalah bahwa pren saya di Kanada yang mengajak saya sama-sama pensiun di Bali, logikanya masuk di akal. Katanya kira-kira, karena biaya hidup yang lebih murmer, akan lebih cukuplah kita di dalam menjalani masa pensiun kita di tanah air beta, sampai akhir menutup mata :-).

Satu faktor utama yang masih membuat saya jeri untuk pensiun di Bali. "Apaan Bang Jeha?," tanya anak-anak Kanada yang juga bercita-cita seperti pren saya. Pelayanan kesehatan, tepatnya kepiawaian dokter-dokter di Indo disamping fasilitas peralatannya. Soalnya selama beberapa hari ini saya bertemu dan mengunjungi sedulur saya, maupun prens yang pernah mengalami nasib sial gagal di-behandel dokter Indo. Yang bisa bercerita tentu mereka yang masih hidup. Misal yang matanya dua-duanya buta karena kegagalan operasi tumor di otaknya. Dokternya sebetulnya sudah pilihan, suatu nama disebut dan mestinya orbek. Hanya, mungkin disinilah kesalahan si pasien, sang dokter ternama di dalam sehari mengerjakan beberapa pasien, itu 'delicate brain surgery'. Di kasus oom saya yang matanya jadi buta sebelah sehabis operasi katarak, ia konon pasien ke sekian di jam 3 sore dari dokter yang menggarap 24 orang di hari itu. Kalau programmer yang kecapean digenjot di cangkulan 'software development lab' menghasilkan bugs atau kutu di programnya, dokter yang kecapean membuat mata si pasien buta. Satu dua cerita lainnya mengetengahkan ketidak-mampuan dokter (yang sering arogan dan marah kalau diminta untuk consult ke teman sejawatnya) di dalam diagnosa dan ketika sang pasien dibawa ke rumah sakit di Singapur, selamatlah nyawanya yang hampir saja melayang. Itulah pren, kekuatiran saya untuk mau ikut dikau pensiun di Bali meskipun saya memang senang mendengar irama gamelan Bali yang dinamis maupun menonton tari-tariannya yang khas.

"Koh, Viagra juga ada engga?," tanya saya kepada seorang engkoh penjual cem-macem obat-obatan di pusat perbelanjaan Cempaka Mas di seberang CocaCola ketika menemani ibu saya menambah stok obat-obatannya. "Ada, 75 ribu satunya, makannya cukup setengah," jawabnya muanteb banget. "Dimana belajar ilmu kedokterannya Koh?," tanya saya lagi sebab ia kayanya tidak terlalu ngawur lantaran menurut kabar burung, anak-anak Indo memang cukup setengah dosis :-). "Wah saya sudah 20 tahun jual obat-obatan," katanya lagi dan melihat wajahnya yang masih muda, kemungkinan ia sudah main viagra, maksudku obat sejak masih kanak-kanak. Inilah salah satu keistimewaan Indo, Anda mau beli obat resep apa saja, ada di toko obat di pinggiran jalan maupun di dalam mal. Harga Viagra itu saya kira juga murmer (meriahnya banget beeng kali ye :-)), hanya sekitar 12 dollar Kanada. Karena masih belum memerlukannya saya tak tahu berapa harga di Toronto, taksiran saya sedikitnya 2 kali lipat. Jadi kalau ada di antara Anda yang mau titip Viagra, daripada Anda makan jamu 'kukubima' yang belum terbukti khasiatnya, sahaya bersedia dan rahasia kita berdua akan saya jamin. Kutunggu pesanan Viagra Anda, sampai serial berikutnya, lam lekom.

Home Next Previous