Kalau Anda masih ingat salah satu dongeng serial ini beberapa tahun lalu, saya sempat terpesona melihat satu keluarga berkomunikasi antara ayah dan ibu dan anak yang masing-masingnya menggenggam hape (cellphone) di Makro (suatu toko raksasa kaya Costco di Amrik/Kanada). Juga saya katakan bahwa tekno hape di Kanada jauh ketinggalan dibandingkan dengan di Indo dimana ketika hape kita masih sebesar kucing, mereka sudah setikus :-). Ketika rakyat Kanada masih bertanya, apaan tuh GSM, anak-anak Indo sudah memanfaatkan kelebihan tekno perhapean tersebut. Sama seperti pada saat saya mendarat di Toronto tahun 1980, mencari obat yang mengandung acetaminophen seperti Panadol yang sudah dijual di Jakarta, petugas di apotik Toronto engga mudeng. Jadi sejak jaman dahulu kala Indonesia selalu lebih maju dibanding Kanada. Nah, oleh karena itu Anda tak usah heran kalau saya katakan, hape pinjaman saya adalah kepunyaan cucu keponakannya Cecilia, seorang anak berumur 7 tahun. Tanpa permisi dulu kepada doi, saya membersihkan mailbox SMS-nya dan ketemu satu dua 'text messages' yang ia kirimkan kepada tantenya. Susunan kalimatnya meski tak sehebat Abdurahman Faiz bocah pengarang sajak berumur 8 tahun, cukup oke alias bisa dimengerti, pokoknya dalam bahasa Indonesia baku. Itulah bedanya generasi anak-cucu kita yang tak takut dengan teknologi serta memanfaatkan sebisa-bisanya, dengan generasi saya yang memakai ATM saja enggan dan lebih mau bertatapan muka dengan manusia dibanding 'teller machine'.
Hati-hati kalau ke mal atau gereja, demikian bunyi kalimat pertama salah satu email yang berseliweran masuk ke kotak surat seteromku hari-hari ini. Isi email selanjutnya memuat jadwalnya, yakni antara Desember dan Januari, sasaran teroris JI adalah mal dan gereja, bulan Pebruari bank asing seperti Citibank, Chase dan BoA. Bulan Maret-April kantor KPU (Komite Pemilihan Umum) tapi yang ini mah becande :-). Mal yang dijadwalkan antara lain mal Kelapa Gading yang terdekat dengan tempat tinggalku dan Citraland yang juga dekat dengan tempat menclok kami satu lagi. Heran ya kog teroris tahu sih saya suka ke mal yang mana. Itu salah satu versi informasi menakutkan dan yang lainnya adalah cem-macem modus operandi penjahat memangsa manusia non-sesama, mulai dari teknik menguras saldo rekening bank Anda lewat ATM sampai ke risiko mobil ditabrak bo'ong-bo'ongan untuk lalu dibawa kabur pas ente keluar oleh sohib si penjahat penabrak. Pokoknya, tinggal di Melayu ini emang kita jadi seringan sport jantung, kata anak Betawi :-). Kalau kita nyupir kaya si saya saat ini, sportnya bisa beberapa menit sekali ketika bo'il kita disalib metromini atau digencet bis kota maupun diselak bajaj. Untunglah hari-hari ini, persisnya setiap pagi saya menyantap bubur ayam abang-abang penjaja yang lewat dan bertarip Rp 3000 saja, tidak sampai 50 sen. Dari kegurihan sang bubur saya yakin otak saya yang encer di saat ini tentulah disebabkan oleh muatan ajinomoto bin vetsin di dalam bubur itu :-). Baidewe tayangan ini kuketik pada saat menyantap bubur dan pembantu juga membawakan kopi susu ke dalam kamar kami, 'room service' istilah anak-anak Amrik/Kanada. Bagaimana tidak asyik pensiun di Indonesia ya.
Beberapa tahun yang lalu ketika pulang kampung, saya bertemu dan pergi bersama satu dua kali dengan seorang bule pren canoeing saya. Ya, ia anak Kanada yang lebih asli dari saya sebab bapaknya datang duluan dari Jerman. Tulisnya di dalam email kemarin ke saya, tentu saja dalam bahasa Inggris, ia bernostalgia mengenangkan keasyikannya ketika keliling Indo (sampai ke Flores). Apa yang indah-indah yang ada di memory-nya a.l.: hot pools and flowing waters, street foods, beaches, fish, wonderful people, colourful clothes, rice paddies, mountains into the clouds, monkeys, beautiful countryside views, papayas that taste good, young coconuts, horns honking as warnings not from anger, traffic that is crazy, long switchback mountain roads, parking space "helpers", mosques and morning roosters, mosquito nets, waterfalls. Semuanya hal yang tak lumrah dan sebagian luar biasa untuknya, en toh kita anak-anak Indo menyia-nyiakannya :-). Sebagai sesama canoeist memang ia tahan banting alias berani makan di resto 'AMIGOS' (agak minggir got sedikit). Seperti Anda dan saya, ia setuju bahwa lalulintas di kota Betawi ini gila alias semrawut engga ketulung-tulungan. Yang umumnya membuat parah adalah ketika lampu sudah merah dan supir berotak gorilla tetap meluncur maju dan lalu yang giliran lampu hijau ngeluruk ke persimpangan tersebut dengan akibat, yah macet-cet-cet alias lampu tak ada gunanya lagi.
"Bang Jeha, ape ente stop kalu pas lampu merah?," tanya prenku anak Kanada yang ikutan aturan banget. Tergantuk sikon dan feeling-ku, tapi ingat pepatah 'when in Rome do as the Romans do'! Jadi di tengah pengemudi chimpanzee, kita mesti ganti otak kita menjadi otak monyet juga supaya sreg dan oke :-). Setengah becanda. Mobil saya ini selain sedan pinjaman, juga masih mulus sebab dibeliin oleh abangnya bojoku buat kami pinjam beberapa tahun lalu alias dia ngerti kami demennya persneling otomatis kalu di Jakarta. Ya, karena tahu bisa menyupiri Toyota Kijang oke punya, yang kata para prenku sekitar Rp 180 jeti satunya, Cecilia juga mengambil SIM Internasional supaya selain jadi kenekku ketika kami melanglang kota Betawi, ia juga bisa menggantikan sahaya kalau lakinya loyo mendekati teler. Selama ini sih kami baru nyopir di dalam kota alias 'not too bad'. Ada harapan kami mesti nyetir ke Solo dan ini akan lebih 'exciting' tentunya :-). Oops, keasyikan ngedongeng saya lupa bahwa sebentar lagi saya harus cabut nyetir ke Pasar Majestic dan semoga dibekali peta dan instruksi tambahan prensku para 'wonderful people', saya tidak akan nyasar sampai ke Pasar Ular, tempat para bandit dan penjahat melego barang jarahan mereka. Sampai tayangan berikutnya, bai bai lam lekom.