Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 47

Boleh saya meneruskan lagi dongenganku ini mengenai lalin, singkatan dari lalulintas, di kota Jakarta ya. Soalnya, itulah yang menjadi bekal atau nanti "oleh-oleh" saya selama beberapa waktu bila saya menyetir di Toronto. Di dalam ilmu psikologi ada teori terkenal cetusan Oom Leon Festinger yang dinamainya 'downward social comparison'. Intinya kita menjadi hepi lagi atau tabah kalau tahu bahwa ada lagi orang yang lebih sial, buruk, bego nasibnya dibandingkan kita. Kalau saya sedang mengalami kemacetan di dua highway di kotaku yang rentan macet, Don Valley Parkway atau 401, saya lalu melamunkan kemacetan kota Jakarta dengan kecepatan 100 m/jam dan saya hepi lagi :-). Itulah modal kesabaran saya kalau mengalami kemacetan, bukan saja di Toronto tetapi terakhir di Los Angeles maupun sebulanan lalu di New York City. "It could be worst," kata saya dalam hati atau "This is nothing compared to my beloved city Betawi." Jadi macet total di daerah Pintu Kecil merupakan modal d.s.c. yang ampuh bila nanti saya nyupir di Toronto lagi. Selain "hiburan" atau "fun" kemacetan di kota ini, hal-hal lain yang membuat si saya w.n.a. menjadi berkendala adalah belum tahu rambu-rambu di setiap jalan yang hendak saya lalui. Misal, saya janjian ketemu seseorang di lobby Kedutaan Besar Kanada jam 10 pagi dan saya lupa bahwa itu masih jam 3-in-1 alias si doi yang bakal nyupir sorangan wae mana mungkin nongol jam segitu. Kemarin saya harus belok kanan dari Jl. Singamangaraja di Kebayoran Baru ke Jl. Kiai Maja, walah sebelum jam 10 dilarang buat rakyat (saya lihat ada satu dua motor mobil yang belok melanggarnya, pastilah seorang sakti mandraguna). Akibatnya saya harus terus menuju Blok M dan belok kanannya di Melawai. Karena peta Jakarta sebagiannya sudah lenyap dari memory saya, saya lalu harus mengandalkan kenekku mencari jalan alternatif ke Ahmad Dahlan dari jalan perubahan rencana itu. Belum lagi jalan yang kita kira bisa kita masuki, eh ternyata searah atau istilahnya perboden. Jadi banyak sekali variasi yang membuat nyetir di Betawi ini sungguh 'fun', bukan hanya suatu sport jantung ya MoTe :-).

Satu hal yang teman-teman saya terutama bule Kanada tidak akan menghargainya bila di Indo adalah, warga negeri ini bangunnya pagi-pagi semua alias untuk saya seorang 'morning person', alamiah sekali. Di Toronto saya umumnya bangun sekitar jam 6 pagi. Boro-boro ada bakmi alok ahok atok yang udah buka, telepon pren saya yang manapun alamat akan membuat mereka THP dibangunin :-). Terakhir saya menelepon 'tutor-marker' (tukang periksa PR sekolahan saya) di Kingston di Sabtu jam 8 pagi, saya disemprot apa engga tahu jam. Kalau saja tidak kuatir saya mendapat D, saya semprot balik :-). Nasib mahasiswa dah. Di kota ini, jam 6 sudah meriah alias itu jam Misa pagi di Gereja BonVen dekat rumah saya. Di Amrik dan Kanada, tidak ada pastor sinting dan umat sedeng (e taling) yang mempersembahkan Misa di jam segitu dan ada yang mau datang. Kalau saya sedang kemping dan bangun pagi, akibatnya saya mempunyai waktu 1-2 jam untuk sendirian di alam raya di pagi hari yang seringan indahnya ketimbang mendung atau hujan. Itu waktu yang oke sekali untuk bermeditasi a la si saya, 'say thank you' kepada Oom Han bahwa saya dikaruniai kemampuan alami bangun pagi hingga bisa menikmati kicauan burung-burung dan sering melihat mereka di atas pucuk pohon cemara :-). Dari puluhan bule atau wong Indo pren saya kemping hanya satu dua orang yang memiliki kemampuan bangun pagi menemani saya ngelamun bermeditasi. Tidak demikian halnya disini. Ketika hari Jum'at pagi yang lalu, jam 5:25 saya masuk ke gereja, sudah ada beberapa perempuan disana yang kata teman saya si Agam, udah magrib umurnya :-). Ya, kenapa laki-laki magrib mauan tetap tidur ye dan cuma perempuan yang rajin ke gereja?

"Use-knee, how are the Moslems in your country?," suatu pertanyaan yang sering ditanyakan kepada saya, baik oleh kolega saya di lingkungan organisasi nirlaba istilah Indo untuk NGO, Non Government Organisation, maupun pren di kantor dulu. Jawaban saya standard dan muanteb, "They are moderate and tolerant folks. If you read anything that is different or see behaviour that is unacceptable, it does not represent the mainstream Moslems in Indonesia." Ya, sejak peristiwa pemboman teroris di Bali, Indonesia memang sudah semakin terkenal di seluruh dunia dimana Islam menjadi negatif konotasinya karena sekelompok minoritas pembunuh manusia yang memakai baju agama. Belum lama ini saya menghadiri konperensi 'Understanding Islam in the West' yang dihadiri banyak pakar Islam di Amerika Utara, antaranya Dr. John Esposito dari Georgetown University di Washington D.C., yang dianggap terpakar. Satu hal yang sedikit tak lumrah, si John latar-belakangnya Katolik. Belum pernah saya menjumpai anak Islam yang pakar di dalam Catholicism. Karena beberapa peserta tahu saya dari Indo berhubung saya memperkenalkan diri ketika bertanya, di jam istirahat kami jadi ngobrol mengenai Islam di Indonesia. Satu dua memantau perkembangannya dan kenal misal dengan Nurcholish Madjid. Salah satu pesan dari konperensi itu, kita harus saling mengenal tetangga atau sesama kita, terlebih bila berbeda iman kepercayaannya, bila kita menginginkan kedamaian di lingkungan kita tinggal. Itulah yang terjadi kemarin di acara halal-bihalal saya dengan sekelompok prenku eks secangkulan. Kalau Anda hadir di acara itu, barulah Anda bisa mempercayai kata-kata saya bahwa sebenarnya Islam di Indonesia, mayoritas masih moderat dan toleran. Minoritas seperti di paguyuban Sanbima saling peduli terhadap sesama meski berlainan iman kepercayaannya atau latar belakang etnisnya.

Masih ingat si MoTe prenku yang sekarang jadi rajin menulis padahal dulu atut :-). Apa yang ditulisnya sebetulnya banyak mengandung kebenaran, bahwa Indo ini memang murmer. Isteriku meski sudah mendekati Imelda Marcos jumlah sepatunya :-), kidding rek paling 10 pasang berikut sandalnya, kemarin membantu perekonomian pedagang mega grosir Cempaka Mas. Dibelinya suatu selop yang harganya cuma Rp 35 ribu, tidak sampai $ 6 Kanada. Mungkin karena murahnya itu atau salah dipakainya, baru sekali pakai karet haknya sudah copot sebab barangkali lemnya bukan lem gila (crazy glue). Dipanggilnyalah tukang sepatu, 'shoes maintenance engineer' kalu di Kanada dan setelah ditawar sedikit supaya kami tidak menyebabkan inflasi di Betawi, ongkos betulinnya, ganti kedua lapisan hak sepatu, cuma Rp 2000 saja. Murmer banget. Masih belum apa-apa. Dua benda duniawi saya belum lama ini meninggal atau tepatnya koma. Satu arloji murahan bermerk IBM (mana ada arloji mahal merek itu :-)) yang diberikan juragan saya karena tim saya kelihatan bagus kerjanya. Arloji itu mampus habis batereinya sebab ya sudah 3 tahunan umurnya sejak saya dihadiahi, ketika saya di Los Angeles kemarin ini. Satu lagi arloji pertama yang saya beli ketika tahun 1972 saya dikirim kumpeni ke Hong Kong 3 bulan training, Bulova Accutron. Arloji itu unik sebab selain telanjang alias keliatan semua onderdilnya, juga ia memakai tekno garpu tala (tuning fork) untuk mendapatkan frekwensi dasarnya. Sudah 2-3 tahunan ia koma sebab ketika saya terakhir bawa ke service centre Bulova di TO, mereka angkat kaki dan tangan alias tidak sanggup memperbaikinya. "We don't handle this type of watch anymore, you have to go to Switzerland." Thank you very much adalah kata sopan saya kepada si tante di pusat serpis tersebut. Ketika saya bawa ke toko arloji encek di Bridlewood Mall dekat rumah saya, si encek minta sedikitnya $ 50 untuk mengganti batereinya dan membersihkannya. Katanya sudah kotor dan kalu cuma diganti baterei engga bisa (yang memang juga dilakukan di service centre Bulova di atas). Karena punya feeling bahwa di Indo ongkosnya akan murmer, saya juga mengatakan 'xie xie' kepada si encek. Benar saja prens sadayana, berkat percaya kepada teori murmer, hanya dengan ongkos Rp 50 ribu doang, tidak sampai 10 dollar, kedua arloji saya tersebut sudah bangkit kembali, haleluya. Saya permisi dulu yah mau merayakan kebangkitan arlojiku, sampai kisah selanjutnya, salam dari kota dan negeri murmer :-).

Home Next Previous