"There are only two ways to get rich," demikian celotehan seorang financial planner yang suatu ketika diundang cangkulanku memberikan presentasi. Kusudah lupa namanya sebab meskipun ia pengarang buku mengenai subyeknya, ia bukanlah orbek seperti politikus di Kanada atau Indo yang lebih kuhapal lantaran sepak-terjang mereka bisa berpengaruh terhadap kehidupanku dan nasibmu. "First is to invest in real-estate, second is to buy stocks," kata doi meneruskan dongengnya. Financial planner tersebut tidak atau belum tahu bahwa ada satu cara lagi untuk jadi kaya raya, tinggal di Indonesia :-). Sudah atau baru seminggu saya di Jakarta dan setiap bertandang ke teman maupun sedulur, kalau saya bertanya si Badu gimana, si Polan ngapain azha, jawabannya pada umumnya berkisar di seputar kesuksesan duniawi mereka, istilah Belandenya sudah binen, sekarang naek daon. Kuyakin orang yang kami diskusikan atau syer bukanlah tuan tanah yang memiliki rumah berbiji-biji atau main setok, so pasti engga punya Bre-X Busang stock. En toh mereka pada kaya raya, tak lain karena nyangkulnya di lahan yang pas di saat yang tepat dan umumnya bermodal nekad. Ya, Indo dengan potensi alami dan manusianya yang ratusan jeti memang masih memberikan banyak peluang dan kesempatan sehingga para prenku yang terpaksa mesti hijrah ke Kanada, karena satu dan lain alasan, sering rentan, THP atau syukurlah kalau cuma BT cari kerjaan ditolak lantaran engga punya Canadian experience. Kesempatan yang masih sangat besar itu sering terjadi di dalam kesempitan manusia lainnya alias, you got it right, praktek korupsi yang mudah sekali diperoleh wong Indo. Contoh terdekat adalah tetangga sebelah rumah yang sekampung tahu darimana azha itu BMW-nya yang berbiji-biji. Jadi kalau Anda yang tinggal di luar batang seperti sahaya suatu ketika pulang kampung dan tahu-tahu ketemu prenmu si Aliong atau Sinaga sudah turun naik Porsche, kemungkinan bukan karena Aliong atau Poltak main setok, tapi berpeluang. Kalau memang kekayaan prensku mereka peroleh dari cara atau usaha yang halal dan bukan karena memeras manusia menguras duit rakyat, saya hanya bisa turut berbahagia hepi bersama mereka, amin ya robilalamin.
Itu satu bentuk diskusi bila kita ngerumpi dengan kerabat dan sahabat kita. Berita jenis lainnya tentulah yang kebalikannya, betapa si Sarinem sudah jadi gila atau si Kabayan bercerai dari isterinya. Kata seorang pren saya kemarin ketika kami makan-makan ngobrol di Gading Food City, jumlah perceraian wong Indo, saya kira di Jakarta alias tidak kutegaskan, 3 dari 10 katanya. Juga tidak kutanyakan darimana angka 30% itu diperolehnya, apakah dari BPS di Jalan Dr. Sutomo atau dari koran doang. Statistik di Kanada memberikan 1 dari 3 pernikahan akhirnya bubaran dan di Amrik lebih parah, 1 dari 2. Jadi dalam hal hubungan su-is (suami isteri) ini Indonesia sungguh tidak "ketinggalan jaman". Saya tahu ME, Marriage Encounter cukup laku tapi saya tidak tahu apakah week-end seperti Retrouvaille (dari kata Perancis 'to rediscover') ada di Jakarta ini. Week-end, seakhir pekan mendengarkan ceramah dan syering pasutri eks gaswat lainnya, ditujukan untuk pasangan yang hampir ataupun sudah bubar tapi masih berminat mencoba rujuk. Intinya adalah kalau semua sesi itu diperas seperti Pancasila jadi gotong-royong, tak lain tak bukan: saling maaf memaafkan yang baru saja kita lakukan seusai Idul Fitri lalu. Yes, as simple as that, pakai istilah Inggrisnya. Resep ini suka saya pakai di dalam konseling amatiran saya bagi warga milis Psikologi yang dari waktu ke waktu menyurati Bang Jeha kalau rutang mereka sedang mengalami krisis. Satu pasutri yang sukses karena mampu memakai teori psiko yang tepat bagi problem yang mereka alami, kemarin mengirimkan ratel (email) minta kesempatan untuk bertemu dan ngerumpi di darat dengan saya dan nyonya. Untunglah rencana saya ke Ujung Kulon di akhir pekan ini batal sehingga jadwal saya sebelum Tahun Baru menjadi tidak begitu ketat.
"Bang Jeha, kog gak jadi ke Ujung Kulon/Pulau Peucang?," tanya beberapa pemerhati trip ke cagar alam. Macam-macam sebabnya. Yang paling utama, prenku itu sudah lansia semuanya, manusia lanjut usia :-) sehingga mereka ketar-ketir naik motor-boat mengarungi lautan dengan ombak setinggi beberapa meter. Memang Greg teman kami yang menjadi seksi repot melaporkan bahwa di musim angin barat ini, ombaknya bisa tinggi banget, ramalan terakhir katanya mencapai sekitar 15 feet, cari mampus kalau naiknya kanu atau kayak :-). Kenekadan saya dan nyonyaku hanyalah kami dasarkan kepada iman kami, bo'ong rek :-). Saya yakin bahwa nakoda maupun awak kapal takut mati juga dan kalau mereka sampai berani, masa sih kita mau malu-maluin bangsa Kanada dan menjadi penakut :-). Dalih beberapa pren saya yang lainnya adalah universil, sibuk di cangkulan atau tidak bisa meninggalkan tugas kantor. Kasian ye :-). Ya, selain mereka belum senekad saya untuk pensiun di usia muda berpenghasilan a la kadarnya, mereka juga mempunyai dedikasi yang lebih tinggi bagi masyarakatnya, ceile :-). Karena akhirnya cuma 5 orang yang tetap commit dan biayanya minimum Rp 8 juta maka Greg menganggap terlalu mahal kalau biaya per orangnya menjadi 1,6 juta. Ga pa pa mek, ente-ente yang engga jadi ikut sehingga di wik-en ini saya akan makan-makan enak lagi engga kebelangsak kaya kalu jadi ke Ujung Kulon, kumaapin banget-banget. Ujung Kulon maupun Pulau Peucang tak akan pindah tempatnya maupun akan selalu ada. Bila ada sumur di ladang, saya dan Anda suatu hari akan kesana juga, one way or the other.
Itu memang masalah anak Indo, kalau tibang pas penghasilan mereka, pensiun terlalu dini engga bisa ikutan Bang Jeha ke Ujung Kulon. Akibatnya meski umur sudah 60-an, mereka tetap giat nyangkul. Kemarin saya di-interview tanteku berapa kira-kira penghasilanku. Kusyer bahwa hanya sekitar 30-40 persen dari gajiku dulu. Ketika ia bertanya berape duit, ya ia anak Betawi, kujawab cukup untuk jalan-jalan ke Indo dan kemping 10 kali setahun :-). Suaminya almarhum mendapat pensiunan Taspen (asuransi pegawai negeri), yang program kompinya dulu sahaya ikut tulis sehingga boleh dijamin pensiun bulanan sebesar Rp 500K yang diterimanya, engga salah itung. Uang segitu memang tidak cukup untuk dipakai hidup di Jakarta. Kemarin saya dan si Empokku belanja di Carrefour, suatu supermarket di Betawi yang lagi ngetop alias murmer. Memang sekereta belanjaan kami, dari mulai duren Bangkok sampai ke salak Pondoh, dari ikan gurame ke telor ayam, roti bagelen ke ayam potong, sabun cuci ke 'hand sanitizer', pokoknya penuh meluap cuma habis sekitar Rp 494K. Kumasih ingat sebab sisanya Rp 6000 lebih pas banget untuk kubelikan kerak telor asyik punya yang kulirik ada di belakang kasir Carrefour Cempaka Putih. Jadi pensiunan Taspen hanya bisa berbelanja sekali di kota ini bila beliannya mengikuti gaya hidup manusia Indo jaman kini. Alternatifnya memang ga oke, terus kerja nyangkul sampai tua dengan akibat tak pernah bisa menikmati untuk ikut trip Jeha Outfitter ke cagar-cagar alam di Kanada :-). Ngomongin cagar alam, saya sampai lupa bahwa saya diberi nasihat kemarin oleh pren saya, agar pulang ke Amrik tukar sepatu dengan yang dari karet doang. Permisi sebentar ya mau cari sepatu merek Asolo bikinan Indo yang di Amrik/Kanada harganya ratusan dollar dan di dekat terminal bis Rawamangun bisa diperoleh dengan harga sepersepuluhnya. Sampai seri berikutnya, salam dari Jakarta.