"Sepatu merek Asolo sedang tidak ada Pak," kata petugas toko barang kemping dekat terminal bis Rawamangun ketika kusamperin kemarin. Kucoba satu dua sepatu merek lainnya tapi tidak ada yang pas, tidak terlalu sreg modelnya. Namun, jantung kami berdua terpacu iklan sandal alam-raya (outdoor) merek Adrenalin yang mempromosikan diskon 50%. Ketika kami sudah mencoba-coba, infonya daluwarsa rek, promosi sebelum Idul Fitri kata mas petugas. Namun demikian, selop alam-raya bermerek tersebut dan juga merek Eiger hanya sekitar Rp 60K sepasangnya, engga sampai Cdn $ 10 padahal sandal alam-raya merek Teva bisa mencapai 100 dollaran kalau belinya di Toruntung. Jadi itulah oleh-oleh kami dan kemungkinan nanti saya akan pakai untuk melewati security gate airport di Amrik karena kata si mas tidak ada logamnya. Toko yang baru buka jam 10 pagi padahal jam 9:30 Bang Jeha sudah ada di depannya, cukup kumplit. Segala macam merek backpack buatan Indo dijual. Saya tidak perlu. Cem-macem kompas, arloji, kompor, alat masak, Nalgene bottle sampai ke Garmin eTrex GPS mereka punya. "eTrex-nya berapa duit Mas," tanya saya iseng. "Satu juta lima ratus limpuluh ribu Pak," kata si Mas yang mungkin belum tahu bahwa sang GPS bisa disambungkan ke Mikrosop Streets and Trips sehingga kita manteb tau jalan dari Las Vegas ke Tanabang, rumah si Densy :-). Saya hanya mengangguk dan berkata kepada Cecilia, "Mahal dear, di TO udah dapet $ 175 alias sejutaan rupiah." Ya, barang-barang impor murni seperti GPS dan Nalgene bottle jauh lebih mahal di Jakarta MoTe :-). Botol Nalgene yang merupakan perlengkapan standard para campers/hikers se-Amrik Utara lantaran dibejek beruang juga engga pecah, di kami sekitar $ 10-an, di toko tersebut Rp 125 ribu.
Selesai syoping di toko duniawi satu-satunya yang paling kami gemari, sahaya
memerintahkan GPS alamiah di otakku untuk membantu navigasi dari terminal
bis Rawamanguan ke Gedung Kesenian. Kog? Lagi-lagi kemakan iklan tontonan
komedi Betawi. Dipengaruhi prenku Amman eks secangkulan bahwa bisa engga aman
alias habis kalau belinya di hari di jam pertunjukan 18 Desember, saya
mau beli dulu sebelumnya. Gedung antik dari jaman Belanda itu mulai masuk
datanya ke dalam memoryku ketika Nurnaningsih bintang bom-sex di era tahun
50-an main disana dengan judul pagelaran "Nurnaningsih Luar Dalam". Mungkin
dibandingkan dengan Inul Daratista sekarang mah ga ada apa-apanya, kutak-tahu
sebab prenku juga masih pada bocah saat itu dan engga ada yang bisa nonton.
Pokoknya sejak itu Nurnaningsih menjadi terkenal se-Betawi. Kemudian sesudah
saya besar, saya pernah menonton beberapa pagelaran disana tetapi isteriku
anak Pekalongan mah belum pernah, kasihan ya :-). Jadi meskipun tidak jelas
tontonan komedi yang berjudul, Cindrelela oh Cindrelela itu akan selucu apa,
nama pemainnya kayanya kog engga meyakinkan :-), saya beli juga karcis yang
bener-bener murmer (mernya belum tahu neh). Bayangin rek, Rp 20 ribu bisa
dapet bangku paling depan. Kalau nongton Nurnaningsih jelas CD-nya doi bisa
keliatan deh :-). Di Toronto, bioskop paling murah, memang bukan misbar
gerimis bubar sih tapi sudah $ 4.25. Pagelaran teater amatir azha udah
$ 20 dan yang professional show, sediakanlah duit $ 100 per tiketnya. Asyik
banget pensiun di negeri ini memang. Meskipun Anda bukan seorang pensiunan
Kanada yang lagi pulang kampung, bila Anda mau ikut menonton, pren saya
Mang Amman memberikan data rinci sbb.
Komedi Betawi: Cindrelela oh Cindrelela
Pemain: H.Bolot, H.Bodong, Nori, Opie Kumis, Edi Oglek, Rini SBB, Kubil,
Rudi Sipit, Maulana, Rita Hamza, Jaya + Jojon dan Artis Ibukota.
Tanggal 18 Desember 2003, jam 20.00 WIB di Gedung Kesenian.
Harga Ticket: Rp 20.000 dan 15.000.-
Loket buka dari hari Selasa - Sabtu, pukul 10.00 - 17.00 WIB.
Telepon: 380-8283, 344-1892 Website: www.gkj-online.com
Dua ekor anjing menyapa saya, yang satu kakinya sudah gempor alias cuma berkaki tiga karena terlihat bekas luka mengoyak sang kaki belakang kanan. Beberapa manusia terlihat ada di dalam maupun menuju masuk tapi tak satupun menegur saya dan nyonyaku. Ya, kami sedang berada di Marga Siswa II PMKRI, Cabang Mangga Besar, tempat isteriku jatuh naksir ke daku :-). "Lha ente naksir bini ente dimane dong?," kata fans-nya Cecilia. Di acara perkempingan setelah ia lulus "test buat jadi bini" dari sahaya. Namun itu dongengan lain. Tujuan saya ke sana tak lain mau mencari meja karambol untuk diambil ukurannya sesuai pesanan prenku NC Budi. Boro-boro lihat meja karambol Bud. Mengenaskan sekali melihat gedung yang pernah mentereng itu, lahan pesta mahasiswa/i hampir setiap minggu, tempat banyak insan Katulik ataupun simpatisannya mengikuti jejak Cecilia :-). Atapnya sebentar lagi akan roboh. Lantai di ruangan belakang tempat kami bermain badminton, sudah menjadi 'campground' alias tanah ditumbuhi rerumputan alang-alang sedengkul. Seluruh bangunan di bagian belakangnya sudah hilang lenyap. Itulah pemandangan paling nelangsa, jangan ditanya bekas kamarnya Gerry Sihite dan Martondang prenku di daerah belakang. Lupakan bekas ruangan pemancar Radio Angkatan Muda cikal-bakal Radio Sonora, maupun studionya yang megah di bagian depan. Sebetulnya lagi, mungkin kalau kita mau melihat seperti seberapa parahnya negara Indonesia ini, thanks but no thanks to all the corruption, kunjungilah Marga Siswa II PMKRI di Mangga Besar VIII/15. Secara simbolis terbengkalainya gedung itu merupakan kepurukan yang sedang terjadi terhadap Indonesia.
Di bulan Nopember lalu saya ikut seminar di U of Toronto mendengarkan Prof Jacques Bertrand, dosen dan pakar politik Indonesia mengecapi buku yang baru ditulisnya berjudul 'Ethnicity and Conflict in Indonesia'. Meskipun banyak kelemahan dari teorinya mengapa terjadi konflik demi konflik di Indo, untuk ukuran konsumen umum di Kanada, buku itu oke lah. Kalau Anda kemarin membaca edisi cetak koran Kompas, bagian khusus yang berjudul Catatan Akhir Tahun, Bidang Politik dan Hukum, Anda akan lebih mampu berteori maupun menganalisis mengapa bangsa dan negara ini sedang terus terpuruk. Apakah Pemilu 2004 akan membawa perbaikan? GolPut yang juga sudah bersuara menganggapnya tidak, sama seperti Bang Jeha Anda. Membaca satu artikel di bagian terakhir edisi itu, Konflik dan Kekerasan Yang Tak Kunjung Padam, maupun perumpianku selama ini dengan para warga bangsa membuatku menjadi manusia pesimis. Kutidak melihat terang apalagi benderang bagi masa depan Indonesia, tanah air kita semua, sorry to say. Sampai seri berikutnya, salam dari Jakarta.