Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 52

"Wish you a good time," demikian salah satu kalimat dari banyak prens saya baik di luar batang, bule yang ber-email-an dengan saya maupun warga setanah air dalam ratelnya per japri per jalum ke si saya. Dapat saya informasikan bahwa setengah harga tiket kapal terbang saya sudah lunas "terbayar" ketika saya sempat menyaksikan pagelaran Komedi Betawi beberapa malam yang lalu. Humor atau kelucuannya sih tidak terlalu membuat saya terpingkel-pingkel tetapi suasana a la lenongan dan terutama musik gambang kromongnya yang memang membangkitkan nostalgia beta di kala masih jadi bocah di kota ini. Gedungnya lain dari yang lain, tak ada duanya di tanah air kita ini, Gedung Kesenian Jakarta namanya sekarang, Schouwburg di tahun 1821 ketika diresmikan oleh wong Londo pendirinya. Kemegahannya cukup terpugar di bawah gubernur yang sekarang, Bang Sutiyoso. Jadi kalau memang ia sudah berperan di dalam memperbaiki sang gedung, "dosanya" di dalam soal busway yang sudah membuat saya dan banyak warga kota ini sengsara, sedikit kumaapkan :-). Kalau Anda sekota denganku sekarang, pernah ke Elgin Theatre di Yonge Street di downtown TO, arsitekturnya kira-kira sejaman. Elgin lebih besar sedikit, GKJ kecilan. Yang membuat saya banyak merenung melamun, saya yakin selama 100-an tahun gedung tersebut berada di lahannya, sebelah Kantor Pos dan Santa Ursula, mayoritas kalau bukan seluruh penontonnya bule wong asing. Walah, di hari Kamis malam kemarin, saya suwer seluruhnya pribumi negeri ini dengan kekecualian 2 orang warga Kanada yang rada sinting :-). Ya, tidak ada kepala bule atau pasutri mata sipit lainnya, semuanya wong ireng rek. Inilah baru namanya merdeka dan penonton cukup tertib lach yauw. Cuma si ibu di belakang tempat duduk nyonyaku yang rada kampungan sering nendangin bangku doi sehingga empokku sempet sewot tapi dengan ramah menegurnya.

Bicara mengenai ketertiban, mungkin di seluruh dewan paroki atau pengurus gereja sedunia, cuma di paroki BonVen ada petugas tata-tertib yang secara resmi dicantumkan nama-nama dan giliran mereka bertugas menjaga ketertiban. Ya, wong Indo dimananapun jua termasuk di dalam gereja, perlu ditertibkan. Kalau mau melihat contoh paling gila dari ketidak-tertiban tentu di jalan raya sehingga si saya sekarang sudah menjadi monyet bin gorilla. Betapa tidak. Lampu merah pun sudah saya trabas sikat wae sebab saya lihat semua pengemudi keturunan monyet tersebut, tidak ada yang menunda sampai lampu jadi hijau. Kalau saya tidak ikutan jalan, atau saya diklakson dari belakang atau kalau nasib lagi sial, diseruduk. Risiko ditangkap lampu merah lebih kecil karena cuma 3 dollaran ongkos tarip "berdamai" kata para pemakai lalin di kota ini. Ya, dengan Rp 20 ribu Oom Polisi akan membantu kita agar tidak menjadi susah harus datang ke pengadilan tilang. Jadi jangan salahkan saya kalau sudah menjadi "orang Romawi yang tinggal di kota Roma" saat ini. Kemarin ini saya hampir menabrak anak-anak di tikungan Coca-cola Bypass. Tahu kan teknik menghadapi lampu stop disana. Kalau lampunya lagi hijau, kebut sedemikian sehingga kita masih bisa lolos, jangan sampai mesti stop dengan akibat kaca mobil bisa dihantam penodong berkapak merah. Untung selama ini mata saya 4, bukan karena berkaca-mata tetapi kenekku selalu gesit mengawasi medan. "Awas anak kecil," katanya saat saya lagi ngebut. Beberapa anak lari ke tengah jalan dari pinggiran karena ... menguber pembagian makanan cuma-cuma. Setelah saya rem dan hindari mereka, baru saya lihat sebuah mobil van dengan beberapa pemudi berwajah manis dan ceria sedang membagi-bagikan kotak makanan dari belakang mobil, kepada para anak-anak dan pamulung yang memang sekompi jumlahnya di perempatan tersebut. Astagafiruloh memang dan ini kembali, hanya ada di Betawi, kota kecintaan kita semua :-).

Tahu apa yang sebetulnya saya rindukan banget kalau pulang kampung dan selama ini tak pernah kesampaian? Jelas bukan makanan ini minuman itu. Menonton pertandingan badminton kelas dunia! Soalnya sejak saya pindah ke Toronto, saya masih terus bermain badminton sampai hari ini. Salah satu olahraga teroke bagi saya. Dari seluruh bagian koran Toronto Star yang puluhan ratusan halaman jumlahnya, satu-satunya yang saya lewatkan adalah 'sport section'nya. Olahraga favorit anak Kanada, es hockey bagi saya sih biasa-biasa azha, mending nonton boksen sebab lebih seringnya kita melihat para pemain hockey itu berkelahi katimbang meluncur di atas es dan memukul bola hockey. Menonton baseball cukup waktunya untuk menghabiskan satu novel karena lamanya bukan main dan ini benar-benar membosankan :-). Mau melihat pemain yang gajinya jutaan dollar setahunnya memukul sang bola, kita para penonton mesti menunggu bermenitan hingga saya yakin lebih asyik ada di kemacetan lalulintas Jakarta. Sepakbola si bule, football namanya, lebih lagi membosankannya mana aturannya sedemikian rumit sehingga kalu ente baru lulusan Canisius azha belon tentu ngerti :-). Pokoknya tidak ada olahraga seasyik badminton di dunia ini, oke lah nomor dua sepakbola Melayu alias si bule bilangnya soccer. Soalnya saya bisa juga dulu dikit-dikit main bal-balan. Nah, setiap kali saya pulang kampung saya selalu bertanya kepada wong lokal, apakah sedang tidak ada pertandingan badminton internasional di Jakarta? Jawabnya nihil selalu. Soalnya lagi, nonton maupun bermain dengan anak Kanada, paling-paling musuh saya yang paling jago adalah si Rudi yang dulunya juara kecamatan doang, bukan Rudy Hartono Kurniawan a.k.a. Nio Hap Liang. Ya, sekali-sekali kita taruh nama bertiga suku bagi seorang pahlawan nasional Respublik Indo dong ye :-). Tapi, untunglah ada yang namanya siaran rekaman. Konon, ESPN alias salah satu siaran sport di televisi akan menyiarkan pertandingan kejuaraan dunia di Hari Natal nanti. Itulah hadiah Natal yang akan paling berharga bagi saya selama di Indonesia ini :-). Terima kasih Tuhan atas karunia badmintonmu :-). Salam dari negeri yang pernah menjagoi dunia badminton tetapi sekarang memalukan prestasi olahraganya, itu kata Bu Mega preziden ente.

Home Next Previous