Masih ingat dongengan awal di edisi Desember 2003 serial Serba-serbi ini? Di salah satu bagiannya saya mensyer diskusi perumpian saya dengan beberapa aktifis politik wong Katolik Indo di Amrik. Pada intinya kami saling berbagi cerita mengenai ketakutan pastor Katolik di Toronto dan Los Angeles dan beberapa kota lainnya di Amerika Utara untuk ikut bersuara menentang penindasan Hak Asasi Manusia Indonesia. Dalih beberapa pastor yang takut dicekal penguasa kalau nongol di Cengkareng adalah: Gereja Katolik tidak boleh ikut berpolitik, umatnya sih terserah mereka semua. Barulah di kunjungan saya kali ini dengan jelas dan gamblang apa yang bernama KWI, Konferensi Waligereja Indonesia alias para embah Gereja Katolik negeri ini mencanangkan agar supaya pastor-pastornya tidak takut main politik :-). Saya yakin kalau sampai dicekal pun, Uskup atau pembesarnya masih akan menengoknya di penjara. Oya, deklarasi KWI itu mereka umumkan di dalam Pesan Natal tahun 2003 ini bersama-sama dengan kolega-koleganya dari gereja Kristen Indonesia lainnya.
Karena saya juga suka akan politik, mungkin ada unsur genetiknya seperti pernah saya syer bahwa dua saudara sepupu ibu saya adalah menteri negara Republik Indonesia di jaman Sukarno, saya cantumkan satu paragraf saja Pesan Natal KWI agar dimaklumi mereka yang masih takut dan kuatir berpolitik. Quote. Pelayanan umat di bidang politik, meliputi perjuangan mengenai Hak-Hak Asasi Manusia, Hak Sipil, Hukum dan Keadilan, yang mesti ditegakkan dan dijunjung tinggi bagi semua orang di seluruh negeri. Karena itu tidak ada pilihan lain bagi umat Kristiani kecuali ikut berperan-serta dalam berpolitik guna membangun kehidupan bersama di Nusantara tercinta. Peran politik umat Kristiani, haruslah mencerminkan perhatian yang amat khusus dari Gereja kepada rakyat kecil yang hidup dalam kemiskinan, ketidakadilan dan kelemahan yang sering hak-hak kewarganegaraannya dirampas oleh golongan yang kuat dan berkuasa. Unquote. Jelas bahwa KWI mencanangkan "mari ikut berpolitik" tersebut di dalam rangka menyambut Pemilu 2004 dimana hasil maupun prosedurnya akan menentukan nasib bangsa dan negara ini. Apakah setelah Pemilu, kita masih akan melihat NKRI atau semakin terpecahnya anak bangsa ini berdasarkan cem-macem atribut. Sebetulnya lagi, tidak susah untuk jadi pembesar atau main politik di Indo. Ambil satu contoh soal terakhir, amblasnya atau THP-nya 30 ribu calon haji Indo karena permintaan tambahan quota ditolak Arab Saudi. Menteri Agama cukup minta maap, Waprez memohon agar hal itu jangan dipolitisir dan kemarin Ketua MUI menghimbau agar ke 30 ribu orang tersebut bersikap arif bijaksana, ga pa pa sawah ladangnya mungkin sudah digadaikan untuk membayar ongkosnya. Begitulah dunia politik di Indo.
Rumah sakit di Jakarta atau Indonesia yang pertama kalinya dikomputerisasi adalah RS Pertamina. Kuketahui karena beberapa programmernya pren saya secangkulan dulu. Namun karena itu bukan 'account' saya, maka tak pernah sekalipun saya kesana. Saya tahu letaknya dan mendapat hikmah dari suatu pertemuan halal-bihalal di restoran Kusuma Sari yang tak jauh dari situ, saya hapal bahwa sebelum jam 10 pagi, mobil tidak boleh belok kanan dari Jl. Singamangaraja menuju Jl. Kiai Maja tempat rumah sakit itu berada. Kebetulan jam bezoeknya mulai jam 11 dan kemarin pergilah si saya dengan isteri dan ibuku ke RS Pertamina. Ya, seorang tanteku yang suaminya almarhum mantan direktur Pertamina jatuh sakit. Ia salah satu saudara sepupu ibuku yang selalu kutemui kalau saya datang ke Jakarta. Hari Jum'at lalu mendadak ia dirumahsakitkan, katanya sih karena kecapaian, maklum sudah lansia dan semua-semua ia kerjakan sendiri karena anak-anaknya tidak dapat diharapkan. Sudah lama saya tidak mengunjungi rumah sakit di Indo sejak saya pindah, hampir tak pernah. Dari mulai mencoba mencari parkir sampai masuk ke dalam, kita mendapat gambaran memang kota Jakarta ini juta-jutaan penduduknya. Semuanya serba ngebeludak. RS tersebut selain pertama yang pakai kompi, mestinya cukup modern dan bagus servisnya. Bukan main penuhnya semua polikliniknya karena di dalam mencari ada dimana sang kamar, kami harus mengelilingi beberapa lantai dan daerah sang rumah sakit. Ruang tunggu rumah sakit di Toronto seperti tempat retret kalau dibandingkan dengan ruang tunggu RS Pertamina. Alamak memang kalau sampai mesti masuk ke rumah sakit umum di Indonesia ini, tak terbayangkan suasana RS Cipto Mangunkusumo, RSUP nama sebelumnya, CBZ namanya di jaman Belande.
"Piro harga bensin dear?," gurauanku ke Cecilia kenekku ketika kami melewati suatu pompa bensin. Kalimat itu sering sekali saya ucapkan di Toronto karena harga bensin di kota kami bak yoyo, berubah terus siang malam pagi sore. Sering perubahannya drastis, naik 10 sen dalam sekejap padahal nanti turunnya satu sen demi satu sen per hari. Kalau tangki bensin boil Anda 50 liter maka ketidak-gesitan mengendus harga bensin bisa membolongkan kantong ekstra 5 $. Dalam sedetik bojoku menangkap kejailanku. "Iya ya, enak tinggal disini engga perlu pusing dengan turun naiknya harga bensin," katanya. Dia benar, hampir seminggu sekali saya sering ngedumel di dalam hati, ja'ul banget baru tadi lewat bensin masih 65 sen, mendadak mau isi dalam perjalanan pulang ke rumah setiap pompa bensin sudah sepakat, 'gang-up' menaikkan harga jadi 75 sen. Namun, tak kalah seringnya kita keburu mengisi ketika harga masih rendah, terkadang semurah-murahnya dan pas ngelongok ke papan harga bensin dari jalan raya, sudah melonjak naik dan kita jadi hepi sudah menghemat beberapa dollar. Kasihan ya anak Melayu yang tinggal di Kanada. Dahulu harga bensin di Amrik relatif stabil tetapi ketika saya di Los Angeles, saya perhatikan sekarang turun naik juga, hanya mendingan dibandingkan dengan di TO. Itulah lagi salah satu kenyamanan di Indo, selain bensinnya murah, kita tak perlu buang waktu memperhatikan mencari-cari dimana bensin yang harganya murah.
Sudah dua minggu saya di Jakarta dan tak pernah sekalipun saya melihat bintang-bintang di langit. Kalau tidak mendung, ya hari hujan di waktu malam ketambahan polusi di kota ini sehingga smoglah yang sekarang berjaya. Dahulu kalau saya naik sepeda di pagi hari sepanjang Jl. Gunung Sahari menuju Salemba untuk ke kuliah, saya masih dapat melihat Puncak Pangrango. Sekarang boro-boro, paling yang kelihatan puncak konde mbakyu yang dibonceng di motor. Suwer saya sampai bermimpi melihat bintang di langit Jakarta dan terkagum-kagum bahwa kog bisa melihat bintang. Tuhan mahabaik, pagi ini saya mendapat kesempatan melihat ratusan bintang, hanya bukan di langit tetapi di atas kandang Natal di gereja BonVen yang sedang dihias :-). Lumayan melihat bintang aneka warna tersebut padahal kalau di Toronto atau di Kanada, kalau tidak putih ya kuning bintang-bintangnya. Sudah semingguan saya melihat calon kandang itu, tidak banyak kemajuannya, begitu-begitu juga sehingga saya jadi teringat perilaku anak Indo di dalam menyambut hari raya atau persisnya menyiapkan hiasannya. Gapura 17 Agustus di muka gang, bisa dipastikan akan selesai pada tanggal 16 Agustus malam hari. Jadi saya yakin tanggal 24 malam kandang Natal tersebut sudah akan ada penghuninya. Pasti bukan kambing dan domba hidup seperti suka terjadi di paroki saya di Toronto, melainkan dari gypsum tetapi lumayan lach yauw. Sekian dulu dongengan hari ini sebab saya juga mau bersiap-siap merayakan Natal dan Tahun Baru di "Tanah Jawa". Sampai seri berikutnya, terakhir sebelum saya cuti semingguan ke Jateng dan Jabar, bai bai lam lekom.