Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 58

Duka lara saya akan prestasi para pemain badminton Indonesia terhibur kemarin ketika membaca berita Kompas. Kunto Hartono, Pemecah Rekor Dunia Menabuh Drum, demikian bunyi judul berita. Kunto yang pasti bukan adik atau sedulur Rudy Hartono memang bukannya atlit tapi tukang permak jeans dari Banyuwangi. Selama 72 jam nonstop ia menabuh drum di GOR Sumantri Brojonegoro, JakSel, sehingga memecahkan rekor Guinnes Book. Kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika: "Kunto Hartono membuktikan tekad kuat putra bangsa Indonesia. Inilah pelajaran penting bagi bangsa Indonesia. Pemuda yang sesuai bidangnya (jh: maksudnya drum, bukan jeans) mampu menyumbangkan dan menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki kemampuan luar biasa." Semoga bila Anda selama ini suka kecewa akan tiadanya prestasi anak-anak Indo di peringkat dunia, Anda akan sama terhiburnya seperti sahaya membaca berita di atas.

Kalau Anda pernah camping ke interior atau hutannya cagar alam Kanada bersama saya, Anda tahu bahwa saya sangat merencanakan perbekalan yang saya bawa agar tidak terlalu berat. Saya suka geli sekaligus kasihan kalau melihat prens yang saya ajak membawa air minum sampai puluhan liter sebab saya bilang bisa difilter dipompa saja dari air danau. Belum lagi saya pernah kemping ke Pen Lake yang portagingnya lumayanan 400 meter kira-kira, bersama pren saurang bule yang memanggul kursi dua biji ke interior. Nah, meskipun hobi saya membaca, satu-satunya buku yang saya bawa kalau masuk ke dalam hutan adalah buku renungan dari The Word Among Us (http://www.wau.org). Ya, kalau saja kita sudah punya Web access dari interior sih, saya tidak membutuhkannya. Itulah sebabnya, di dalam persiapan liburan 2 bulan di Indo, pada tanggal 3 Nopember saya menelepon kantor WAU di Maryland, Amrik. Mereka mengirimkan buku renungan itu sedikitnya sebulan sebelumnya. "Could you mail the January edition to my address in Jakarta, Indonesia because I will be there for the whole month?," demikian kata saya menjawab 'may I help you?' si noni di seberang telepon. Sebagaimana layaknya servis Amrik untuk urusan beginian yang oke punya, langsung mereka catat alamat saya dan katanya akan segera dikirim dengan pos ekspres. Oya, seluruh kalender di bulan Nopember saya, buatan Mikrosop alias di laptop ini, penuh dengan kegiatan perencanaan sehingga saya tahu persis kapan saya menelepon WAU. Nah, sejak hari pertama saya datang di Jakarta 8 Desember, saya menunggu-nunggu tibanya edisi Januari WAU itu dan kemarin dulu, 1 Januari saya sudah "menyerah". Pastilah hilang di kantor pos dibaca oleh petugas yang suka merenung juga :-). Eh eh eh, untung saya tidak sampai ngomel atau mengumpati tukang pos, Amrik atau Indo, sebab kemarin sang WAU edisi Januari diantar petugas pos bermotor dengan akibat saya akan punya bahan renungan selama nanti saya di Bali dan Lombok di tengah-tengah alam yang asri. Terima kasih Oom Pos Amrik dan Pak Pos Indo.

Mong-ngomong kemping, saya sedang sedikit respot mempersiapkan kempingan saya ke pulau Seribu hari Minggu besok. Yang perlu saya beli adalah perlengkapan masak maupun Indomie gorengnya :-). Sebelum saya cabut ke Kanada, banyak 'camping equipment' saya yang kuhibahkan kepada ponakanku. Ia masih menyimpan sang kompor 'Camping Gaz' lengkap dengan kepalanya. Hanya saja saking kunonya kepala kompor tersebut, sekitar 2 jam saya ubek-ubekan di Kelapa Gading sampai ke Rawamangun, sudah tidak ada lagi yang menjual tabung gasnya. Yang ada merek Primus yang sebetulnya oke, hanya kebegoan baru di Melayu, tidak ada kepalanya alias mereka cuma menjual tabungnya doang. "Dimana saya bisa beli kepalanya Mas?," tanya saya kepada si penjual di toko kemping Rawamangun. "Tidak tahu Pak, barangkali di Ace" (yakni nama suatu toko 'hardware'). "Saya udah samperin Ace Kelapa Gading, cuma ada tabungnya Mas," demikian kataku lagi. "Kalau gitu mesti beli di luar Pak," kata si Mas yang berarti saya perlu pulang dulu ke Kanada untuk membeli kepala kompor Primus yang dijual di Indo sebab kepunyaanku berlainan semua sistimnya. Untunglah, kembali Tuhan mahabaik, adik saya mempunyai kompor gas butane yang suka dipakai beberapa pren kami di Toronto akhir-akhir ini bila kemping bersama. Tabung gasnya konon banyak dijual dimana-mana, sekitar Rp 6000-an alias sedollar (Primus butane Rp 10K, Primus propane Rp 50K). Selamatlah saya ceritanya untuk tetap makan tiga kali sehari di acara perkempingan nanti.

Prens Internet saya bukan saja ramah dan baik-baik tetapi sopan sekhalei kalau di darat :-). Kemarin ini saya kondangan kan dan sengaja mempersiapkan kadonya dari Kanada. Karena bahannya kristal alias bisa pecah, maka saya bungkus lagi dengan canoe pack saya, baru dimasukkan ke dalam koper. Alhasil meskipun koper saya pada pecah jebol sang kado tidak terlukai segorespun. Jadi dengan hepi, apalagi dibantu proses pembungkusannya oleh nyonya Bung Kus spesialis perkadoan, saya membawanya ke tempat pesta. Alamak, sudah tidak ada satupun konon orang yang kondangan bawa kado di Indo ini. Untunglah saya tidak ditertawakan baik oleh prens saya maupun oleh petugas penerima angpao atau sumbangan duwek. Isteriku doang yang jutek mentertawakan Bang Jeha Anda, suatu hal yang lumrah dah kalau sudah menikah 28,5 tahun. Nasibbb :-). Tetapi ia benar sebab setelah ku-check kesana-sini dan mendapatkan konfirmasi dari satu dua ponakanku, pengantin di jaman sekarang lebih menghargai duit azha sebagai kadonya. Praktis, baik untuk mereka maupun para undangan. Tiada lagi waktu yang para pengantin harus buang-buang membongkar gelas berlusin-lusin, belum lagi menaruhnya dan/atau membagi-bagikan gelas yang kelas murahan kepada para tetangga :-). Itu mungkin sebabnya, sehari setelah menikah saya sudah dikirimkan SMS oleh pengantin baru kita si Dindin yang rupanya banyak waktu. Soalnya nanti malam saya akan kondangan dan saya juga dikiatkan bahwa "kado mentah" tersebut cukup Rp 100K atau 200K saja, cuma 30-an dollar Kanada. Kebayang THP-nya pengantin di kampung Kanada saya sekarang kalau angpao yang kita berikan cuma sekian, buat bayar makan satu orang aja udah tekor :-).

"Ampuuun...ampuuun...gue takuut ama elu," demikian jeritan seorang suami yang sedang digebuki isterinya kudengar, ketika saya sedang cukur di bawah pohon alias di tukang cukur 'onder de boom'. Karena kepala saya sedang dikerjai Bang Utom tukang cukurku sejak kumasih kecil, tentu saya tidak bebas melihat nasib si suami "pangeran bakiak", istilah Betawi untuk cowok yang takut ke bininya. "Aduh kasian banget deh," kata Cecile yang berdiri di sebelahku melihat ke arah si isteri yang menggebuki suaminya dengan gagang sapu. "Iya, itu bininya emang stress," kata Bang Utom mengomentari perkelahian tidak seimbang tersebut. Sudah beberapa menit sebelumnya saya mendengar si isteri berteriak-teriak 'abusive' memanggil suaminya agar pulang ke rumah. Jelas isteri yang sudah tidak muda itu mengidap kelainan psiko, bukan cuma stress. Saya jadi teringat baca di Kompas kemarin ini, hanya ada 400 psikiater untuk seluruh bangsa Indo yang berjumlah 220 juta. Dibagi rata, artinya 1 sepikiater per setengah juta manusia. Ambil statistik konservatif, 1% dari populasi WN Amrik ataupun Kanada menderita schizophrenia, sinting alias gila kasarnya. Jadi 5000 wong sinting di Indo hanya bisa terlayani oleh seorang psikiater, belum kita ngomongin biaya konsultasinya. Su-is di kisahku di atas konon sehari-harinya berjualan minuman doang pakai gerobak, kata Bang Utom. Darimana mereka mempunyai modal untuk diterapi? Begitulah contoh dalam skala mini dampak tiadanya pelayanan kesehatan bagi manusia Indo setelah 58 tahun merdeka. Tidak heran banyak "kebijaksanaan" pemerintah pejabat yang sinting bin ngawur yang diterapkan di negeri ini. Wong rakyatnya takut digebuki. Sekian dulu. Bang Jeha permisi beberapa hari berhubung mau kempingan ke pulau Seribu. Sampai seri berikutnya, bai bai lam lekom.

Home Next Previous