Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 59

Sebulan saya di Indonesia, dengan kekecualian beberapa hari di Jateng/Jabar, hampir seluruhnya saya kesana-kesini di Jakarta. Belum pernah saya mengalami lalulintas yang tidak macet sama sekali sepanjang perjalanan 90 km p.p. di daerah DKI Jaya ini. Kalau Anda heran, atau Anda belum pernah mengalami kemacetan kota Jakarta atau belum pernah ke pulau di Kep. Seribu :-). Ya, itulah asyiknya naik kapal di Indonesia meskipun prenku yang sudah pada uzur mengundurkan diri tidak jadi ke Pulau Peucang karena takut ombak besar di musim barat ini. Untuk ukuran kanu, ombak semeter dua meter ketika kami masuk daerah hujan kemarin dulu, memang mengerikan lach yauw. Untuk kapal ojek Bintang Alam yang kami carter pulang pergi dari Dermaga Angke di Muara Karang ke Pulau Pramuka, ombak segitu masih sip. Kesanalah ceritanya Bang Jeha Anda bersama empoknya beserta sekitar 40-an mahasiswa/i Fakultas Biologi U.I. yang masih belum takut mati :-). Modal kenekadan saya hanyalah, kalau puluhan orang itu bersama nakoda dan kelasinya berani, masa saya keder. Kalaupun mesti amblas, pastilah kami akan masuk koran, mudah-mudahan masuk Kompas mengingat saya kenal dengan pendirinya, almarhum Pak PK Oyong. Cuaca di hari Minggu ketika kami berangkat memang sedikit merisaukan. Untunglah kapal bak ayunan jet coaster hanya ketika masuk daerah hujan, sekitar 1 jam dan 2 jam lainnya cuma sedikit enjot-enjotannya, tidak memabukkan.

Seperti sudah saya syer di dongengan yang lalu, prens Internet saya memang aneka-rupa dan kesempatan diving snorkeling sebanyak tiga kali di trip kemarin itu adalah berkat tak lain jasa si Nana sohibku dari milis Psikologi dan ServiamTO. Juga meski kami sering bersurat-suratan termasuk per japri, baru di kunjungan ini saya sempat bersalaman di darat dengannya. Saya beruntung karena Nana selain juga mahasiswi S2 Psiko UI, ia pencinta alam dan kenal baik dengan para tokoh penyelam Biologi UI tersebut. Akibatnya, acara diving kami menjadi lebih bermutu ataupun kami dicerahkan mengenai apa saja yang kami lihat. Bandingkan dengan kalau biasanya saya cuma bles nyebur dan nyelam mengamati cem-macem jenis ikan karang serta tetumbuhan lainnya yang aku mboten ngertos nama-namanya. Dua kali diving di sekitar Pulau Pramuka dimana sebagiannya dijadikan taman laut yang dilindungi dan sekali lagi ke Pulau Genteng Besar dan Kecil cukup memuaskan. Janganlah ditanya ongkosnya tetapi untuk merangsang dunia eko-turisme di Indo yang sejak krismon disusul dengan bom Bali menjadi memprihatinkan, saya akan syerkan. Kalau Anda masih ingat dongeng serial pengalaman cruise saya, antaranya snorkeling ke St. Lucia di kepulauan Karibia yang digembar-gemborkan sebagai 'da best' disitu, ongkos snorkeling berdua nyonya selama 1 jam adalah US$ 150 sahaja. Kami cuma dibawa oleh speedboat p.p. dan dipinjamkan fin, masker serta snorkel. Kepada mereka yang belum bisa, diberikan kursus kilat snorkeling selama beberapa menit, that's it. Acara ke pulau selama 2 hari 2 malam ini, dengan kapal dimana kami bisa tidur-tiduran sampai ngorok :-), sahaya cuma perlu mengeluarkan biaya urunan sewa kapal Rp 100K bertiga, tidak sampai 4 US$ per orangnya. Opo ora hesbat? Karena dimanja oleh si Nana, Bang Jeha disewakan cottage dan kalau saja saya ikut menginap bersama ke 40 mahasiswa/i itu, mereka dikenakan biaya Rp 75K per orang, 'all inclusive' termasuk makan. Jadi selain ongkos kapal 4 dollar, saya cuma mengeluarkan duit buat membeli satu dua makanan kaleng dan tak lupa Indomie goreng yang kami masak sendiri.

"Bang Jeha, kog ente engga ceritain keindahan pemandangan karangnya?," tanya beberapa peminat. Sudah saya katakan, baru St. Lucia sih putus meskipun sayang air sedikit keruh karena musim barat alias ombak yang besar. Kalau kita menyelam lebih dalam sedikit, antara 4-5 meteran, airnya menjadi lebih jernih dan ikannya yang berwarna-warni menjadi lebih manyala. Melalui obrolan santai kami dengan beberapa anak-anak Biologi tersebut, mereka memang setuju bahwa semakin ke timur, semakin asri dan belum terjamah alam bawah lautnya, pemandangan semakin indah. Oleh seorang siswi yang cukup senior alias tinggal skripsi, saya dianjurkan untuk skip rencana saya ke Lombok minggu depan dan pergi atau nyelamnya di sekitar Pulau Komodo saja karena bagus sekali. "Gili Air maupun Gili Trawangan udah engga bagus," kata doi. Memang salah satu tujuan utama saya ke Lombok untuk snorkeling/diving dan bukan makan ataupun cari mampus mendaki Gunung Rinjani. Mana ada wartawan yang akan mengcover gugurnya Bang Jeha di Rinjani karena dikomporin si Indratmo :-). Jadi sekarang saya sedang serba bingung, dari Bali nanti mau kemana sebab inforwoman saya di atas mengatakan Bali di pantai baratnya juga mempunyai karang-karang yang indah untuk diselami.

Dilanda senteres seperti itu, Bang Jeha mencari akal untuk mengatasinya dan jawabannya ditemukannya di suatu warung kampung di Pulau Pramuka yang masih menjual permainan anak-anak oke punya bernama b e k e l. Anda yang pernah membaca serial klasik saya, Pengalaman Anak Betawi tentu masih ingat bahwa bermain congklak dan bekel bersama anak-anak perempuan yang wangi-wangi dan tidak bau keringat seperti anak cowok, adalah kebahagiaan hidup saya ketika masih jadi kanak-kanak di negeri ini. Kubeli satu bolanya dan 10 biji bekelnya sebab itulah standard cewek-cewek bekelan di kampungku dulu. Kuundang beberapa wong tuwo berjiwa muda lainnya selain tentu isteri sahaya untuk bermain bekel di dalam kamar di cottage kami. Bermainlah ceritanya saya dan nyonya bersama seorang mahasiswi Psikologi UI yang hampir dapet S2-nya, seorang mahasiswa S1 biologi yang tinggal bikin skripsi, satu mahasiswi biologi tingkat semester akhir, satu lagi mahasiswi S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat UI yang hampir menggondol gelarnya. Selama 3 jam kami bermain berkutet alias sama-sama jagonya, ceile :-), dalam bertanding melalui tahap perbekelan: pit, reh, cin, peng sampai ke ngaspel. Kalau Anda ada di ruangan kamar kami, Anda mungkin merasa tengah melihat 6 penderita kelainan psiko alias wong gendheng sedang bermain. Selain sudah pada tua semuanya, calon kakek nenek emak bapak, setiap saat ada saja celotehan jenaka yang dilangsirkan para petanding sehingga lenyaplah kesenteresan Bang Jeha Anda, sedikitnya di malam hari itu :-).

Satu fenomena yang agak aneh selama saya dua hari bersama mereka, tak ada satupun yang memakai jaket kuning UI yang di era saya bak ajimat saja layaknya. Jangankan bisa melanggar semua peraturan lalulintas bila kita memakai jaket itu, kita juga bisa "berbelanja gratis" di toko-toko ataupun memesan makanan di restoran tanpa perlu bayar :-). Rupanya ulah mahasiswa/i UI di jaman KAMI atau angkatan '66 ini sudah menjadi suatu yang 'traumatis' bagi ABG saat ini. Ketika ngobrol dengan beberapa dari mereka dan saya tanyakan, mengapa tak ada satupun yang memakai jaket kuning UI, mereka sepakat menjawab bahwa tidak mau menjadi malu. Singkatnya, mereka tidak mau tampak seperti tukang ngedemo. Rupanya, demowan jaman sekarang berkonotasi buruk di masyarakat, entah kenapa ya. Mungkin Anda yang tinggal di kota Jakarta ini lebih mampu menjawabnya daripada saya menduga-duganya. Eniwe, tiada yang lebih asyik daripada mendapat gaji pensiunan Kanada dan menjadi turis di Indonesia :-). Sampai dongengan mendatang, bai bai lam lekom.

Home Next Previous