"We drive the right way, on the right side of the road," kata orang Amerika Utara kepada pengemudi di negeri yang berjalan di sisi yang serong, eh yang salah alias di kiri :-). Ya, karena mendengar ada kemungkinan meminjam mobil maka saya dan Cecilia membuat SIM Internasional sebelum kami berangkat ke Jakarta bulan lalu. Tidak sukar bagi kami berdua untuk menyesuaikan diri berjalan di jalan yang "salah" :-). Hanya memang mengemudi di Jakarta Anda harus lulus lebih dahulu dari mata kuliah 'sepikolog 101' alias mengerti psikologi supir mengendarai mobilnya sebelum Anda dapat nyaman keliling kota.
Untuk Anda yang sudah tidak biasa melakukan "offensive driving" alias nyodok, menyetir mobil di Jakarta akan membuat Anda diberikan predikat goblok :-) oleh kolega-kolega Anda yang antri di belakang mobil Anda. Meski di Toronto saya lebih bersifat 'defensive driver' dengan mudah saya dapat berganti kulit menjadi tukang nyodok mengemudi di Jakarta. "Kamu kog berani sih," kata Cecilia. "Harus begitu kalau mau maju," kata saya. Enaknya menyodok di kota ini, tidak akan kita dimarahi oleh supir lain alias mereka tinggi sekali toleransinya sebab semuanya "satu sekolahan". Tentu saja kalau mobil yang saya bawa Mercy atau BMW, saya akan berpikir 10 kali lebih dulu untuk nyodok. Untungnya mobil pinjaman adalah mobil butut Daihatsu Rocky dengan bumper yang mirip tank baja :-).
Kunjungan ke kota Jakarta tidak akan lengkap bagi saya bila tidak menelusuri jalan-jalan dan gang-gang kampungku. Jadi pagi tadi saya minta diturunkan supir di muka Pasar Baru dekat Gereja Ayam yang merupakan bangunan bersejarah. Gereja itu milik GPIB Pniel dan dahulu hampir setiap hari saya lewati karena sekolah saya, SD Pintu Besi terletak tidak jauh di seberangnya. Toko-toko di Pasar Baru memang sudah agak berubah, namum satu dua toko tua masih sama bentuknya. Saya lewat di muka suatu toko sepatu yang rupanya baru saja dibuka karena beberapa karangan bunga sebesar alaihim terpasang di muka toko. Toko sepatu ini bernama Toronto! Di sebelah kiri kata itu ada logo tim baseball kami, The Toronto Blue Jays. Mungkin yang empunya pernah bersekolah di Toronto sebab konon banyak anak konglomerat menyekolahkan anaknya di Kanada. Iseng saya masuk ke toko Galleria yang saya kira merupakan toko termewah di Pasar Baru. Saya sudah tahu bahwa tak akan mampu berbelanja disitu :-). Iseng saya tanya di counter Estee Lauder, maklum yang melayaninya bolehlah :-). "Mbak, berapa harga minyak wangi Pleasure yang botol paling besar." "Dua ratus ribu, 100 milliliter," kata si eneng geulis. Langsung kalkulator di otak saya berjalan. Di Toronto, harganya sekitar 75$ sudah termasuk pajak 15%. Di airport San Francisco lebih murah lagi, sekitar 65$ Can. Jadi harga di Galleria hampir 2 kali lipat. Demikian pula saya perhatikan harga kemeja Arrow yang di atas Rp 100,000. Hampir 2 kali lipat harga di Toronto. Itulah daya beli sebagian rakyat Jakarta saat ini, lebih hebat dari Amrik dan Kanada.
Sehabis window shopping di Pasar Baru saya lalu menyeberang ke arah Jl. Pintu Besi I, Jl. Lautze dan Jl. Kartini, kampung halaman saya semasa kecil. Sengaja saya masuk gang-gang yang kecil. Got-got tempat gundu saya menggelinding masih ada dan kelihatan sama hanya "kue pisang" tampak di mana-mana. Saya yakin, jangankan gundu beling masuk kesitu, gundu emaspun jatuh ke got, kedua anak saya tak bakal mengambilnya :-). Nah mereka sudah mengatakan "lebih baik masuk kaum menengah tapi tinggal di Toronto daripada kaya raya tetapi harus mengambil gundu emas di got Jakarta" :-). Seorang teman di japri tidak mengerti makna gambar kambing Oom Pasikom. Semoga ia mengerti makna gundu emas di got :-).
Sambil menelusuri gang-gang di kampung saya perhatikan bahwa pohon jamblang yang banyak setannya sudah menghilang. Pohon jambu tempat saya mangkal sudah ditebang, pohon srikaya tempat "berolahraga" sudah tiada. Untunglah pohon mangga harummanis tempat saya beristirahat masih nampak. Yesss, pohon itu sungguh lebih tua dari diriku, sama seperti Gereja Ayam. Untuk menyempurnakan kunjungan kali ini, saya lalu gunting rambut di tempat langganan saya, kapsalon Bang Utom di bawah pohon. Sungguhan! Sayang ia sedang pulang kampung kata adiknya. Mempersiapkan mulainya puasa atau bulan Ramadhan beberapa hari lagi. Kampungnya di Tasikmalaya dan adiknya sempat berbagi cerita dengan saya sambil mencukur setik rambutku. Ya, berhubung koran resmi kurang lengkap maka koran tidak resmi model berita dari tukang cukur itu menambahi informasi rakyat di kota Betawi ini.
Karena menyadari bahwa olahraga renang setiap pagi paling-paling hanya membakar 3-400 kalori saja padahal makanan yang saya dan Cecilia nikmati hari-hari ini 3-4000 kalori seharinya alias perut kami semakin melembung, maka saya memutuskan untuk hiking, jalan kaki dari tukang cukur ke rumah mertua saya, sekitar 10 km atau dua jam deh karena saya sengaja masuk lewat jalan-jalan kampung. Hiking di cagar alam Algonquin membutuhkan peta tetapi hiking di rimba-raya Betawi cukup bermodal bahasa melayu :-). "Bang, jalanan ke Dwiwarna nyang ini bukan?" "Iye, terus aje, nanti belok kanan ye." Ya, saya ingin mengunjungi kapel susteran Dwiwarna, tempat saya melayani Misa selama beberapa tahun. Sesampai disana, sayang sekali pintu kapel tergembok rapat dan pintu sekolah juga terkunci. Beberapa orang tua dan pembantu yang sedang menunggu anak-anak mereka, tampak menanti di luar. Apa boleh buat, pintu terkunci dan koneksi saya, Moeder Inigo saya dengar sudah membuka sekolah Susteran Penyelenggaraan Ilahi di kota Ilahi alias beliau telah tiada.
Perjalanan saya teruskan dan sempat terkena semprotan air pembersih dari suatu bengkel di pinggir jalan raya Mangga Besar yang sedang membersihkan sebuah mobil. Nasib :-). Memang tidak ada yang namanya zoning di kota ini. Bengkel, rumah sakit, restoran, sekolah, kantor, toko, rumah tinggal, panti pijat, bar karaoke, bank, taman hiburan, apotik, semuanya dipersilahkan saling bertetangga. Masih mending kalau mereka ada di jalan raya seperti Mangga Besar. Nah, kalau saya menelusuri jalan-jalan dekat Pulo Mas dan Kayu Putih, wilayah permukiman tempat saya menginap, sama saja nasib penghuni rumah disitu. Yang paling merepotkan kalau rumah kita bertetanggaan dengan restoran atau sekolah adalah soal parkir! Tidak terasa hiking 2 jam hampir selesai dan saya mampir di suatu warung bakmi. Rupanya untuk soal makan- memakan di kota Jakarta, Mas Noordin sudah menyandang gelar PhD. Lewat japri ia memberikan saya alamat dan tempat maupun jenis makanan enak kota ini. Satu yang bernama bakmi kepiting, dekat Guardian (apotik) di muka Jl. Mangga Besar VIII adalah "tempat tidur" saya waktu masih di Radio Angkatan Muda. Setiap malam sehabis siaran, kami sering mangkal di ujung jalan itu dan menikmati macam-macam makanan, dari mulai bir Bintang dan kacang garing serta kerang rebus, sampai ke bakmi dan kwetiauw goreng restoran sekitar situ. Memang lumayan pilihannya Mas Noordin sebab selain cukup enak, harganya juga 'not too bad' alias Rp.3000 saja dan dijamin kenyang. Supaya tidak melanggar kesopanan maka saya beli untuk dibawa pulang dan saya nikmati sendirian di rumah mertua saya di Mangga Besar :-). Jadi tidak ada yang bisa mengatakan mertua lewat tidak ditegur kan. "Lho kog tidak beli buat mertua sih," kata sementara warga Net ini yang sayang kepada mertuanya. "Terbalik Mas, Mbak, di Jakarta ini mertuaku yang membelikanku macam-macam makanan." Sayang Cecilia sudah tidak mempunyai adik yang masih 'available' ya, kalau tidak saya yakin banyak yang mau menjadi ipar saya deh. Nah sekian dulu dongengan saya hari ini yang memang saya tulis dari rumah mertuaku. Wasalam lekom.