Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 60

Sudah saya katakan sahabat Internet saya oke-oke semuanya. Seseorang, setelah membaca seri yang kemarin, langsung menyurati saya per japri menjelaskan sejarahnya atau mengapa psikonya mahasiswa/i yang murni alias bukan pendemo bayaran seperti kelompok Biologi UI itu enggan mengenakan jaket kuning mereka. Pada intinya, hal ini disebabkan mudahnya pihak yang punya uang dan kuasa untuk melangsirkan demo, apa saja terhadap siapapun, dimana sering berakhir dengan perilaku anarkis atau membawa kesusahan kepada rakyat banyak seperti pemblokiran jalan-jalan termasuk jalan tol. Kalau Anda tinggal di kota macet abadi Betawi ini, apalagi pernah mengalami kemacetan total karena adanya demo, so pasti Anda pun akan hilang simpatimu kepada mereka yang "berjaket kuning". "Masuk di akal," kata saya kepada si Mas informan mengapa tak ada satupun mahasiswa/i Biologi UI itu yang mengenakan jaket, malah mayoritas ceweknya berjilbab, busana yang sangat oke untuk dikenakan di Indo jaman kini. Suatu artikel di Kompas hari ini berjudul 'Aktivis Mahasiswa ke Golkar Karena Tak Punya Konsep' semakin membenarkan sinyalemen pren saya bahwa para demowan/wati itu memang tidak punya konsep yang jelas di dalam berdemo. Sama seperti saya ikut-ikutan si Cosmas, Bian Koen. Fahmi dan Gafur ketika dulu berdemo begitu juga rupanya mayoritas mahasiswa pendemo. Aktivis mahasiswa yang masuk Golkar itu adalah mereka-mereka yang dulunya mengecam alias para kritikus. Kalau Anda membaca dan menyimak artikel itu, intinya adalah 'survival of the fittest' alias ideologi boleh penting tetapi perut harus diisi dulu rek.

"Berapa PK motor mesin kapal ini Pak?," tanya saya kepada Pak Hidayat sang nakoda ketika kami mengarungi Laut Jawa selama berjam-jam kemarin. GPS saya soalnya memberikan data kecepatan rata-rata kapal hanya sekitar 14 km per jam padahal jarak yang kami harus tempuh 45-an km. "Sekitar 50-an PK Pak," jawab beliauw. Pantesan jalannya alon-alon asal kelakon, kataku dalam hati. Tinggal di Indo ini atau pergi kemana-mana cocok sekali untuk kita para pensiunan. Dibutuhkan banyak kesabaran dan tinggalkan filsafat 'time is money' di kampung ente alias jangan dibawa ke Indo kalau Anda tinggal di luar batang. Waktu itu tidaklah berharga untuk orang Indonesia, tidak percaya lihat saja jutaan manusia yang s e t i a p harinya berada di dalam kemacetan lalulintas Jakarta en toh mereka hepi-hepi wae :-). Ga pa pa harus berangkat kerja jam 5 jam 6 pagi dan pulang nanti di malam hari ketika lalin sudah sepian. Bensin pun demikian pula, Indonesia negeri OPEC kaya raya akan sumber minyak sehingga sejuta kendaraan menyia-nyiakan puluhan liter bensin seharinya, EGP lach yauw. Taruh kata bensin habis yang menurut ramalan Encim Wong Kamper akan terjadi di tahun 2010, Kanada pasti mau menjualnya, 10 dollar seliternya :-). Masih mengenai alon-alon, topnya filsafat asal kelakon itu terjadi terhadap saya di Yogya di dua episode. Pertama adalah ketika mengalami kecepatan jalannya lift yang model kereta api uap bumel di Hotel Apartemen Sejahtera yang disewa oleh Oom Gun SSSS. Tidak pernah saya naik lift selambat itu, sekitar 10 detik per lantainya ketika Oom Gun menghitungnya. Ditambah dengan 'slow poke'nya pembukaan dan penutupan pintu, ketika saya pertama mau turun dari tingkat 8 ke lantai dasar, baru 10 menit kemudian saya sampai di tujuan. Tak salah lagi lift itu assembling Malioboro :-). Dibuktikan oleh episode kedua soalnya yang terjadi di restoran bakmi disitu yang letaknya di sebelah toko Batik Keris. Setelah kami duduk setengah jam menunggu pesanan, semangkok pun bakmi belum ada yang keluar dan barulah ditambah setengah jam lagi, mie bakso yang kami pesan nongol. Akan halnya mie goreng pesanan Oom Gun, ia membatalkan pesanannya serta cabut dari sang restoran ketika kata pelayan mie-nya belum dibuat sama sekali. Yang istimewa adalah, kami menganjurkan kepada sedikitnya dua keluarga calon pembeli untuk hengkang saja dari sang restoran dan tentu mereka nurut. Itulah yang namanya 'bad referencing' dan di Yogya sih oke-oke saja, kalau di Betawi mungkin kami sudah digebukkin preman dekingan restoran.

Anda masih ingat hitung-hitungan terkaan saya bahwa sedikitnya 1% dari populasi wong Indo menderita schizo? Eh eh eh sehari sesudahnya, Kompas memuat berita dari 500 caleg (calon anggota legislatif) di Boyolali yang sudah ditest kesehatannya, 7 orang menderita schizo alias tidak waras. Bayangin ada orang gila yang akan menjadi wakil DPR Anda-anda para WNI. Hasil test sepikolog RS Boyolali itu juga memberikan informasi bahwa mereka bukan saja terkena schizo tetapi juga antisocial (personality disorder). Tak heran lach yauw kalau di hari ini Anda membaca Kompas, ada berita bahwa anggota DPR DKI saat ini tengah meminta agar mobil dinas mereka nanti dihibahkan saja kalau mereka sudah lengser. Mungkin sudah terjalin ikatan batin yang kuat antara sang bo'il dan si peminjam berhubung siang malam ada di dalamnya di tengah kemacetan kota yang rakyatnya mereka wakili. Permintaan mobil (bekas) itu masih ditambah dengan pengajuan "uang pesangon" (dalam tanda kutip karena tidak lazim) sebesar Rp 25 juta per anggota. Untuk Anda yang memiliki kompi dan berInternet-ria, jumlah sebesar itu mungkin kwaci tetapi berapa persen dari rakyat yang mereka wakili pernah melihat atau memiliki uang sebesar itu? Tak heran kalau lalu berita utama hari ini, dari 8871 caleg, baru 1611 atau sekitar 20% doang yang memenuhi syarat. Padahal, tgl 19 Januari proses perbaikan persyaratan akan ditutup. Partai-partai dan para calegnya berlomba-lomba mencantumkan diri "pilihlah saya" karena yakin akan mendapat mobil yang masih gres baru berhubung yang lama akan diwariskan kepada para lengseran.

Bosen ngedongengin politik, apalagi tak ada seorangpun pren saya rasanya yang menjadi caleg di partai manapun, saya mensyer sedikit lagi kesyokan saya ketika diving kemarin ini. Sudah lama saya tahu bahwa tidaklah oke untuk mandi-mandi di danau pakai shampoo dan segala macam jenis sabun buatan manusia, termasuk yang biodegradable. Anda yang sudah lama membaca dongengan saya mungkin ingat ketika saya masih di Paroki-Net dan mensyer caranya membersihkan kaca displei atau monitor kompi Anda. Benar, diludahin saja asal jangan dilakukan pagi-pagi pas Anda bangun tidur ketika masih banyak warga negara asing penghuni kapling di mulut Anda. Hal itu sering sekali saya lakukan, tentunya ketika tidak ada kolega saya yang ngejogrok di kamar saya. Cuih ... cuih ... sret sret sret pakai tissue, mengkilap lagi layar displeiku. Ilmu itu saya peroleh dari ketika saya masih suka diving ke Kep. Seribu di tahun 60-an. Walah, ketika saya diving bersama-sama anak Biologi kemarin, ternyata hanya satu dua yang tahu teknik meludah dan mayoritas memakai s h a m p o o untuk membersihkan masker mereka. Alamak, tak heran lautnya semakin terpolusi, terumbu karang di negeri ini semakin amblas. Kalau anak Biologi UI saja pakai shampoo, tayangan ANTV semalam yang disponsori National Geography mengenai pencemaran dan perusakan karang yang dilakukan rakyat Indo yang tidak teredukasi menjadi lumrah. Yang paling mengenaskan, mirip seperti pemandangan sepanjang jalan ketika saya mendaki lereng Pangrango menuju (air terjun) Cibeureum dari Cibodas, tumpukan sampah yang berserakan di pantai Pulau Pramuka. Kata Pak Jack bos PPA disitu yang dikenalkan Nana ke saya, itulah sampah ente-ente yang tinggal di Jakarta dan dibawa arus laut sampai puluhan kilometer jauhnya mencemari pantai-pantai Kepulauan Seribu. Duh memang, bukan saja keadaan poleksos negeri ini sedang terpuruk, juga perusakan alamnya berjalan terus entah sampai abad ke berapa. Untungnya saya, sebelum hal itu terjadi ataupun ketika keadaan alam seperti di Carita dan Pangumbahan dan Kuta serta Sanur masih asri, saya sempat kemping di pantai-pantainya. Jadi meskipun saya tidak dapat mobil atau pesangon ketika lengser dari kumpeniku, saya terus menghitung-hitung rahmat Oom Han bagi si saya, istilah bulenya, I count my blessings forever. Bai bai lam lekom, sampai nanti.

Home Next Previous