Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 62

Dua puluh tiga tahun tinggal di Toronto, Kanada, semacam refleks sudah terbentuk di diri saya. Yakni bila melihat 'zebra cross', apalagi ada orang yang mau menyeberang, otomatis pedal gas mobil saya lepas dan rem saja injak. Refleks seperti itu berbahaya sekhalei untuk tetap dimiliki di Jakarta ini. Di hari-hari pertama saya mulai menyupir, itulah yang paling susah meredam atau mematikannya. Soal setir mobil di kanan maupun lalulintas di kiri dalam sehari teratasi sebab rupanya 'procedure memory' saya untuk urusan ini ada 2 bagian, tinggal diceklek dipindahin. Salah satu kiat untuk mematikan refleks itu adalah menegarkan hati, kasarnya jadi "bengis" seperti pengemudi mobil lainnya di Jakarta ini. Ada yang mau nyebrang, sikat terus dan kalu elo tetep goblok nyebrang juga gue tubruk, elo yang bego. Tentunya kiat itu tidak akan cocok di diri Anda para sohibku yang budimanwati. Jadi cara lain adalah membina refleks baru, ada zebra cross atau orang mau nyeberang, langsung lihat kaca spion dan bila tidak ada mobil lain di belakang kita yang bisa nyeruduk, kita stop. Hanya ... Anda perlu memahami psiko penyeberang jalan di Melayu terutama kalau Anda sudah lama tinggal di luar batang. Mereka tidak tahu sama sekali bahwa adalah haknya, it is a right and not a privilege, untuk memakai zebra cross itu dan semua kendaraan harus berhenti memberikan prioritas ke mereka. Akibatnya, sering banget-banget kalau saya berhenti mempersilahkan orang yang nyebrang, akan terjadi suatu stagnasi beberapa detik, si calon penyeberang bingung mengapa ada sopir tolol goblok berhenti mempersilahkan dia menyeberang (suka saya beri lambaian tangan, monggo). Episode yang paling menarik adalah ketika saya menunggu selesainya Misa di Paroki Kotabaru Yogya dimana Misa berikutnya masih setengah jam lebih. Kami berhenti pas di dekat zebra cross di muka gereja dengan akibat saya memperhatikan perilaku para penyeberang jalan, mayoritas mereka yang baru keluar dari gereja dan mestinya engga takut mati lagi :-). En toh, semuanya menunggu lalulintas yang tidak pernah atau akan sepi, boro-boro stop, sampai ada seorang pendekar (sesekali pendekir) yang melangkahkan kakinya ke zebra cross, mengacungkan tangannya tinggi-tinggi ke atas sambil melihat kepada para pengemudi kendaraan yang masih mau terus jalan. Itulah yang terjadi sepanjang saat, perlu ada pemimpin pelopor yang nyalinya gedean dibandingkan rakyat penyeberang pada umumnya.

"You look like a kid," kata si nyonya bule yang semeja dengan Cecilia di cruise kami terakhir ke Alaska. Rupanya bukan saja bule yang memang suka ngawur kalau menebak umur orang Asia, tetapi ibu seorang pren Internet saya yang menjamu kami kemarin, ada 10 kali terheran-heran tidak percaya Cecilia sudah berusia senenek-nenek :-). "Kog awet muda banget sih, engga seperti berumur 53 tapi 35," kata dia ke bojoku yang hepi. Tentu saja doi lalu mensyer bahwa tinggal di negeri freezer, kita menjadi lebih awet termasuk kulit dan wajah yang tidak cepat keriput seperti nenek-nenek Indo. Ya, mencek suhu di koran Toronto Star kemarin, memang kota tempat tinggal kami itu sedang dilanda dingin, sekitar -30C dengan windchill. Seorang prenku anak Kanada yang menulis membalasi suratku yang menceritakan kegerahan Bang Jeha di Jakarta memakai 'f-word' menyebut 'this f- - - - ing country'. Karena ia anak yang sopan, tulisnya di kalimat berikutnya: "count the dashes, I spelt freez." Jadi kalau umurmu sudah 63 dan mau kelihatan seperti 36, ikutlah saya nanti pulang ke Toronto :-).

Anjuran itu secara prinsipil akan dituruti oleh beberapa puluh WNI yang hari Minggu nanti akan bertemu dengan kami. Ya, sudah sejak dahulu kala, ketika sadar bahwa keadaan di Indo kog tidak membaik-baik juga, banyak warga kota ini yang setiap kali saya datang menanggap saya. Bukan kaya nanggap topeng monyet alias saya menghibur mereka, sebab saya tidak mensyer yang bagus-bagus doang tinggal atau pindah ke Kanada, tetapi juga yang bego-begonya seperti susahnya mencari pekerjaan di jaman sekarang, aksen Inggris kita yang sukar dimengerti orang, sampai ke suhu yang memang mengerikan kalau kita rematik. Satu pengamatan yang menarik melihat daftar nama peserta adalah sudah beraneka ragamnya etnis-etnis yang berminat hijrah. Kalau tempo doeloe namanya cuma Teng Beng Sin misalnya, di saat kini sudah ada nama seperti Binar, Tambunan, Napitupulu deeste. Suwer saya tidak bohong atau mau ngeledekin prenku si Agam. Banyak sekali dari para wan-wan-sib kawan senasib saya imigran Kanada dari Indo yang sebetulnya sudah hidup leha-leha di Melayu tapi mesti banting tulang lagi ketika pindah ke Toronto. Mayoritas merelakan hal itu demi ... masa depan anak-anak mereka. Ya, cinta bapak sepanjang jalan, cinta ortu imigran sepanjang badan. Kaya pasutri yang mengajak kami ke restoran Nelayan kemarin dulu, mereka termasuk pengorban demi masa depan anak sebab dengan duit sebakul sekeranjang yang mereka miliki, bukan saja mereka disalut satpam setiap paginya tapi juga dimangguti dihormati Pak Ogah sampai ke Bu Pramuwati di restoran. Di Kanada mereka menjadi 'one in a million' alias rakyat jelata siapa-sih-elo. Itulah sebetulnya yang paling berat menjadi imigran, hilangnya banyak power atau kenikmatan karena memiliki power hidup di Indo ini. Bila Anda membaca tayangan ini dan datang ke pertemuan hari Minggu nanti, kalau masih tidak jelas, silahkan bertanya dan akan saya beri contoh-contoh lainnya.

Masih ingat sinyalemen saya bahwa perumahan seperti villa di Cibubur itu pas banget untuk dipakai menaruh WIL? Dindin prenku mengkonfirmasikan feelingku bahwa rumahnya di Lippo Karawaci sarang WIL. Bagaimana tidak sebab di seberang rumahnya ada dua, yang satu piaraan orang Korea, yang lainnya piaraan orang China. Di belakang rumahnya juga ada satu, piaraan orang Amrik. Di belakang belakangnya, juga WIL entah piaraan siapa katanya. Lantaran penduduk disitu bersifat "elu elu gue gue", maklum dong ya, Dindin belum periksa apakah di kiri-kanannya juga WIL :-). Yang saya sangat pasti, ia sendiri WIL dimana huruf L adalah nama suaminya bo. Jadi sekali lagi, kalau Anda isteri wong Indo, semangatilah suamimu untuk ikut Bang Jeha pindah ke Kanada agar ia tidak mengalami nasib seperti Sofian Bong yang masuk Kompas hari ini. Dengan judul berita 'Di Depan Hakim, Istri Pukul Kepala Suami' artikel tersebut mengisahkan keTHPan seorang isteri yang mendapati suaminya punya WIL dan sudah beranak satu. Pengadilannya adalah seputar kasus perceraian mereka, jelas akibat atau dampak adanya WIL. Singkat cerita si isteri yang nasping di dalam sidang menggetok kepala suaminya dengan botol beling, mungkin botol kecap Cap Bango yang tebal, hingga bor-boran darah dan perlu dibawa ke rumah sakit. Sofian ... coba elo pindah ke Kanada ngikutin gue :-). Memang ada saja berita menarik dari koran di Indo ya, dan hesbatnya isi berita sering sejalan dengan dongengan serba-serbi saya. Sampai berita koran esok hari di seri berikutnya, bai bai lam lekom.

Home Next Previous