Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 64

Saya memang sudah mempunyai firasat bahwa keputusan saya untuk pensiun dini adalah sesuatu yang salah, terlalu lambat alias mestinya dari dulu-dulu. Baru kemarin saya tahu persis saya terlambat 8 tahun. Begini ceritanya. Saking kesengsemnya isteri saya dengan pemandangan di bawah air di sekitar Gili Air, Lombok, ketika kutawarkan apakah ia mau belajar scuba-diving, ia manggut. Kusamperi 'dive shop' di hotel Holiday Inn tempat kami menginap selama 3 malam terakhir ini. Instrukturnya konon dari PADI, suatu asosiasi guru diving internasional, sebab tarifnya juga meyakinkan. Seratus tujuh puluh lima US dollar untuk kursus bersertifikat dengan 2 kali diving trip. "Bagaimana kalau ternyata isteri saya tidak bisa 'clearing' Mas?," suatu prosedur para penyelam untuk menyesuaikan tekanan air di gendang telinga. "Oh, kami bisa memberikan pelajaran perkenalan secara cuma-cuma Pak," kata si Mas yang rupanya mengendus bahwa saya orangnya hemat :-). "Oke kalu begitu," kata saya membuat janji dengannya. "Berapa umur isteri Bapak?," tanyanya. Dari tanya-jawab selanjutnya saya jadi sadar bahwa Cecilia sudah ketuaan 8 tahun untuk jadi penyelam tidak berisiko. Kalau saja saya tidak dengan mantepnya ngibul bahwa ia baru berusia 45 tahun, ia harus menanda-tangani cem-macem formulir dimana ia suwer tidak mengidap berbagai penyakit aneh aneh, buat orang muda tentunya. Ya, ABG mana yang sudah rematikan atau mengidap darah tinggi? Alhasil, bojoku sekarang sudah bisa berscuba-diving, sayangnya cuma atau baru di kolam renang.

Nah prens sadayana, saya mengawali kisah lanjutan serial ini setelah sori banget tertunda 10 hari lantaran saya ke Bali, dengan cerita yang paling menarik hati kami berdua sebagai pencinta alam, Lombok yang masih asri. Meskipun sedikit sedih, sekali lagi sudah ketuaan sehingga tidak akan mampu mendaki G. Rinjani, yang konon sekitar 3700 meteran alias gunung tertinggi di Indo (diluar Papua tentunya), kami sungguh bersyukur kepada Oom Han akan anugerahNya bagi kami di trip ke Bali, terutama yang ke Lombok. Pemandangan lautnya luar biasa, jenis ikannya bukan main banyaknya. Masih ditambah dengan adanya kura-kura yang ikut menyelam bersama kami dan satu dua ular laut plus mooray eel. Kalau saja saya belum membayar lunas ongkos 3 malam di hotel, tentulah kami sudah boyongan nginap di Gili Air saja supaya bisa terus menerus turun lagi ke laut. Anda prenku senegara saat ini, Kanada yang tak kalah indahnya dengan Indonesia, apakah pernah ke pulau Cape Breton di Nova Scotia dan menjalani apa yang namanya Cabot Trail? Bagus ya pemandangannya. Perjalanan atau pemandangan dari pantai Senggigi menyusuri lamping perbukitan ke arah Gili Air, tepatnya menuju Teluk Nare, tidak kalah mencekamnya. Mirip dengan kalau bermobil dari Vancouver ke Whistler hanya ongkosnya seperseratusnya :-). Saya belum pernah melihat pemandangan sebagus itu di Bali, yang paling oke saat ini mungkin hanyalah di sekitar Kintamani tapi tidak se'breath-taking' di daerah Mangsit itu, sampai-sampai, konon, Hilton akan mendirikan hotel di daerah tersebut. Sayangnya isteri saya kembali sudah ketuaan sehingga ketika kemarin kami bersepeda berdua, kami hanya mampu untuk pergi ke arah selatan menuju pusat kota Senggigi dan tidak ke daerah perbukitan itu.

Satu hal yang tidak bisa terlewatkan untuk ditulis mengenai Lombok maupun Bali adalah jelas dan nyatanya dampak terorisme terhadap dunia turisme di Indo, maupun terhadap rakyat yang sumber nafkahnya dari bisnis tersebut. Semua orang yang kami tanyai, dari mulai karyawan/wati hotel sampai ke tour guide sampai ke pelayan pemilik restoran mencanangkan bahwa sumber malapetaka mereka, lesunya turisme, adalah bom Bali ditambah dengan WTC sebelumnya, dan khusus untuk Lombok kerusuhan a la Ambon (baca: penghancuran gereja dan pembakaran rumah) di kota Mataram di tahun 2000. Tamu di hotel Holiday Inn dapat kami hitung dengan jari tangan, paling banter 20 kamar diinapi kata orang hotel. Mobil yang menjemput kami maupun tour guide kami, eksklusif bagi kami berdua doang, padahal tour operator-nya yang terbesar di Lombok, Bidy Tour. Yang mengenaskan sekaligus menjengkelkan tentunya para penjaja segala macam barang yang ngotot minta kami beli sehingga mengikuti kami terus sebagai bayangan saja layaknya. Sangat dimengerti sehingga isteriku yang hatinya tidak setegar saya, sering jadi syoping hanya untuk bisa membantu kelompok yang terpuruk karena kegilaan sementara manusia. Itulah sisi yang kelam dari dunia turisme di Indo saat ini, ditambah kebegoannya dengan cem-macem "kebijaksanaan" pemerintah sebagai salah satu pengacau dunia turisme.

Keuntungan kami menjadi turis di tanah air serba murmer ini adalah karena penghasilan maupun referensi kami yang ada dalam dollar (euro ketika kami terakhir jadi turis di Eropa). Ambil satu contoh, makan malam kami berupa pasta oke punya di resto hotel. Dengan minuman dan appetizer-nya, total rekening kami cuma Cdn $ 20-an per orang alias itu mah seporsi pasta doang di salah satu resto pasta favorit kami, Hot House di downtown Toronto dekat St. Lawrence Market. Referensi biaya snorkeling kami adalah US $ 80 per orang ke pulau St. Lucia di Caribbean Islands padahal trip kami ke Gili Air tidak sampai Rp 200 ribu per orangnya atau kurang dari US $ 25 plus makan siang. Total ongkos tour ke Lombok pun serba murmer. Karcis kapal terbang Denpasar - Mataram pp naik Merpati Fokker F27 kuno tapi engga pake jato, plus 3 malam di Holiday Inn bintang 4, plus makan pagi sakenyangnya, ditambah trip diving snorkeling ke Gili Air, tidak sampai 1,2 juta rupiah. Bila dikurs ke dalam US dollar, tidak sampai 150-an padahal terakhir bulan Agustus lalu saya nginap di Sheraton LaGuardia di NYC, hampir 200 $ semalamnya. Letak hotel itu di Flushing di subway station terujung dan bintangnya kalah banyak dibanding si Holiday Inn. Tidak salah memang pilihan Bang Jeha Anda untuk membelanjakan gaji pensiunannya di tanah airnya yang serba murmer :-). Sampai dongengan berikutnya, bai bai lam lekom, wish I am still in Lombok though.

Home Next Previous