Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 66

Di salah satu serial yang lalu, saya mensyer kekagetan saya ketika melihat dengan mata kepala saya sendiri para mahasiswa/i Fak. Biologi UI membersihkan masker, kacamata renang mereka dengan shampoo. Masih mending lach yauw sebab yang mereka polusikan adalah laut yang luas ataupun paling-paling plankton di sekitar tempat diving mereka "rambutnya jadi pada mengkilap" :-). Nah, di tepi Danau Batur yang tidak terlalu luas, yang konon masih ada ikannya untuk dipancing (dan menafkahi penduduk), yang letaknya tidak begitu jauh dari kantor PPA yang saya lihat ngejogrok, saya syok melihat ibuk-ibuk mencuci baju mereka memakai detergent, langsung di pinggir danau. Alamak. Itulah contoh berskala mikro dari perusakan alam yang sedang terjadi di tanah air kita bersama. Penduduk yang ratusan juta dan tidak bisa untuk dididik maupun mendidik diri sendiri. Kalau saya bangun pagi-pagi di villa di Ubud tersebut, saya memakai waktu setengah, satu jam untuk mengeker berjenis burung yang berseliweran ataupun menclok di pohon-pohon di villa. Yang paling banyak adalah sejenis gelatik sawah, sori beta tak tahu namanya. Kemudian burung kuning hijau seperti kolibri, paruhnya panjang. Sesekali burung sebesar 'blue jay' tetapi kehijau-hijauan juga. Masih banyak lagi jenis burung lainnya yang lalu-lalang. Walah, suatu ketika saya melihat anak-anak kampung beriringan, yang paling depan membawa bedil dan keneknya menenteng serenceng burung. Semoga tidak ada satupun burung langka yang sudah dibedil si entong, syukur-syukur kalau burung yang mereka tembak mereka makan alias bukan dijadikan suatu "cabang olahraga" doang.

Anda pembaca setia dongengan saya tahu bahwa belum lama ini saya sempat mampir ke bekas lahan WTC di New York yang sebetulnya cuma seceplikan luasnya. Saking tingginya sang gedung, maka ribuan orang yang tewas ketika teroris menabrakkan Boeing 737 ke masing-masing gedung. Saya sengaja lewat Legian, Kuta untuk melihat situs bekas bom di night club Paddy disitu. Saya baru sadar bahwa jalanan di depannya sempit alias bukan jalan raya tetapi jalan a la di kampung. Tidak heran dampak dari bom mobil di jalanan itu luar biasa. Ketika saya tawarkan ke isteriku apakah ia mau turun untuk melihat bekas sang lahan yang kini ditutup, ia ogah. Memang susah sekali untuk parkir mobil dan juga tak cocok tempat sebising seramai itu untuk dipakai merenung. Kedua aksi teroris itu, sampai hari ini masih berdampak ke Bali maupun Lombok dan saya percaya tempat-tempat turis lainnya di Indonesia. Anda hanya dapat menyelaminya bila Anda pergi sendiri kesana sebab apa yang saya dapat tuangkan di dalam tulisan, jauh sekali dari penderitaan yang harus dialami rakyat yang tidak bersalah. Bisnis turisme rentan sekali dengan ketidak-stabilan. Orang gila mana yang mau datang ke suatu tempat, betapapun indahnya, kalau hatinya tidak tenang atau kuatiran. Kurang lakunya Lombok terbukti banget ketika saya sepagian mencari paket ke Senggigi berikut snorkeling/diving di salah satu gilinya. Saya kunjungi semua biro perjalanan yang sudah mempunyai nama di Jl. Ngurah Ray Bypass dan kebetulan semuanya berdekatan. Dari mulai Vaya Tour sampai ke Smailing sampai ke Pacto dan satu dua biro tak ternama lainnya, rata-rata saya harus menunggu sekitar 30 menit per kantor untuk petugas mereka mencari-cari dokumen-dokumen yang berisikan informasi tour di Lombok dan lalu memperhitungkan harganya. Karena punya referensi data nunggu pesanan makanan sejam di Malioboro, Yogya, maka saya menjadi sabar sekali :-). Pokoke alon-alon asal kelakon dan 'time is not money anymore for me anyway'. Namun demikian, tidak lucu juga kalau waktu sehari di Denpasar harus saya korbankan hanya untuk mencari paket ke Lombok. Saya terkesan akan pelayanan Stephen dari Vijaya Tour di jalanan yang sama. Ia hanya meminta 'requirement' saya, yang sangat sederhana. Meminta nomor hape saya dan berjanji akan menghubungi saya secepatnya. Menjelang makan siang, ketika saya masih jalan-jalan di museum Le Mayeur di Sanur, kami berkomunikasi per SMS dan saya putuskan untuk memakai jasa Vijaya Tour. Sekarang saya sudah bisa bersaing dengan biro perjalanan yang mana saja di atas untuk mencari sendiri tiket ke Lombok, naik kapal laut Bounty atau montor mabur. Tahu dimana harus menginapnya dan berapa biaya-biaya rincinya. Jeha Outfitter mulai menerima pendaftaran untuk diving snorkeling trip ke Lombok termasuk pelajaran scuba diving bersertifikat asalkan umur Anda masih dibawah 45 tahun seperti isteri saya :-). Baidewe, seorang eks tokoh Paroki-Net yang japrian dengan saya sudah melamar mau jadi supir saya katanya. Entah kebayar engga gaji supir berdasi kaya die ya :-).

Seperti Anda tahu, dibekali peta digital Amerika Utara buatan Mikrosop bernama 'Streets & Trips' serta alat bernama GPS yang dihubungkan ke laptopku, sekarang ini Bang Jeha atau keneknya muantep sekhalei berboil kemana-mana baik di Amrik terutama di Kanada. Dari waktu ke waktu kami tahu persis kami sedang berada dimana dan harus kemana untuk mencapai tujuan. Tidak demikian halnya ketika kami di Bali (maupun selama ini bermobilan di Jakarta). Belum ada satupun pembuat peta digital kota-kota di Indonesia namun kami menemukan satu peta Bali buatan Periplus yang karena harganya oke, Rp 165 ribu, mutunya boljug. Berkat jasa peta itu, kepiawaian kenekku di dalam mencari jalan dan fungsi kompas GPS yang tetap kami pakai, kami tidak sampai nyasar di dalam bermobil di Bali. Trayek tersulit yang kami tempuh adalah lewat jalan kecil di Ubud untuk 'cross' mencari jalan ke jalan utama Denpasar-Bedugul, tanpa perlu balik ke Denpasar. Kami tetap harus bertanya di beberapa persimpangan atau pertigaan, terkadang untuk mengkonfirmasi peta, supaya frekwensi kami bertengkar kalau nyasar, maklum pengantin tuwek, berkurang atau menjadi tiada. Disitulah terasa manfaatnya kemampuan berbahasa Indonesia yang kami miliki maupun asyiknya berliburan di tanah air sendiri. Karena baru saja diajak kelilingan ke Jateng dan Jabar oleh pren saya Oom Gun SSSS, sahaya dapat melaporkan bahwa mutu jalan raya di Bali jauh lebih bagus dari di Jawa, apalagi katimbang route parah Yogya-Bandung. Tidak ada lubang sebesar kubangan kerbau dan kalaupun ada lubang, yang jarang kami temukan sebetulnya, barulah terasa kalau Anda bersepeda melaluinya. Rupanya pencatutan mutu jalanan oleh para kontraktor tidak terjadi di Pulau Bali atau mungkin juga karena tidak banyak truk sebesar alaihim yang menjadi pemakai jalan sehari-hari disana.

Satu hal terakhir yang mengasyikkan untuk dilakukan di Bali ataupun Lombok, tentu sukar bila kita menginap di Denpasar atau Mataram alias di kota besar, adalah melihat pemandangan bintang-gemintang. Satu kendala saya dan nyonya di dalam mengeceng bintang di Tanah Melayu ini, kami tidak terbiasa dengan peta langit bumi bagian selatan. Memang kami tahu beberapa konstelasi bisa dilihat baik di Kanada maupun di Indo, yang so pasti adalah Orion yang indah. Terakhir kami menonton tari Bali, ketika tarian favoritku Oleg Tambulilingan sedang diperagakan, karena di depan pura di udara terbuka, ketika kulihat ke atas langit, bintang Orion sedang manyala dengan gemilang dan lengkaplah keindahan suasana saat itu. Nah, salah satu rutinitas kami, baik di Senggigi dan terutama di Ubud adalah duduk di luar di udara terbuka pada saat langit tidak tertutup awan. Selain Orion yang dapat kami identifikasikan adalah bintang terterang Sirius di rasi Canis Major yang di Indo terletak di atas ubun-ubun atau di titik zenith. Mercier object M45 atau Pleiades di rasi Taurus juga tampak jelas di langit Ubud. Yang paling indah dari semuanya itu tentulah konstelasi Gemini yang tak jauh letaknya dari Orion dan Taurus. Kalau saja saya bisa tinggal 2 bulan di Ubud :-), niscaya akan lebih banyak lagi bintang ciptaan-Nya yang dapat kami kenali. Sementara ini, cukuplah melihat lagi langit kota Jakarta yang lebih sering kelabu terkena polusi. Sekian ketiga dongeng Bang Jeha terakhir mengenai Bali dan Lombok, sampai dongengan berikutnya dari kota Betawi lagi, bai bai lam lekom.

Home Next Previous