Anda di beberapa milis dengan warga yang tinggal di Jakarta mungkin masih ingat bahwa empat hari yang lalu saya mengajak Anda untuk jalan-jalan di sekitar daerah Passer Baroe, konon mal berbelanja pertama di Indonesia. Tadi pagi selama sekitar 2 jam saya dan nyonya berjalan kaki di kampung tempat Bang Jeha lahir dan dibesarkan, ya daerah Pasar Baru. Kepada seorang Tionghoa yang dijadikan konselor merangkap asisten pemandu, David Tjoa, saya memperkenalkan diri saya dan bertanya apakah ia masih keluarga dengan pemilik toko bunga Tjoa (Liang Han) di Jl. Pasar Baru Selatan. "Bukan," katanya tetapi ia tahu sedikit sejarah keluarga Tio (dimana nyonya Tjoa Liang Han dari keluarga Tio) karena itulah 'highlight' ataupun inti dongengan yang diceritakan si Ade Permana, sang pemandu kami sekaligus merangkap paknitia. Saya katakan bahwa kebetulan saya dari keluarga Tio juga dimana dua tokoh yang dimasukkan ke dalam program, Tio Tek Ho dan Tio Tek Hong saya tahu silsilah keluarganya. Berjalanlah ceritanya kami setelah disuguhi film buatan Belanda mengenai Jakarta tempo doeloe di dalam Kantor Pos yang ikut menjadi sponsor. Tujuan pertama adalah Gedung Kesenian yang sudah saya ceritakan di serial kunjungan saya kali ini. Lalu kami menyeberang memasuki daerah Pasar Baru dan mulai mendengarkan dongeng tentang apotik Kimia Farma, dahulu Raathkampf. Diseberang toko tersebut melenceng sedikit, terletak satu bangunan bersejarah yang sudah sangat tua sebab dari era akhir abad ke 19. Sekarang namanya Toko Kompak dan ketika saya masih bocah, Sin Tjiong Bouw. Itulah rumah Major van de Chineezen Tio Tek Ho yang didongengkan panjang lebar oleh si Adi dan David. Weleh weleh, mereka lalu ingat ke si saya dan tampillah Bang Jeha Anda ketika diminta untuk mensyer apa yang diketahuinya mengenai daerah Pasar Baru, terlebih silsilah keluarga Tio yang sudah sekitar 8 generasi (saya yang keenam) imigran RRT di Indonesia dari propinsi Hokkian. Kebetulan lagi, group kami ceritanya group berbahasa Inggris sebab ada beberapa bulenya sehingga mereka dapat mendengarkan Inggris aksen Betawi Pasar Baru seperti apa :-). Toko Kompak itu memang sekitar 100 tahun lalu menjadi rumah sekaligus toko keluarga Tio, Gebroeders Tio. Belakangan, kedua anak lainnya, Tio Tek Hong dan Tek Tjoe membuka toko di Jalan Pintu Air V sekarang, di seberang toko Populer di lahan toko buku Gramedia. Memang, semakin tua seseorang, semakin ia akan senang rupanya dengan sejarah sebab melaluinya ia dapat bernostalgila.
Satu hal lain yang istimewa dan mungkin hanya ada di Indonesia atau saya tak pernah tahu ada negeri sehebat negeri Anda adalah kesempatan bikin perangko sah, legal bisa dipakai, dimana fotomu bersama si bojo merupakan gambar perangko itu. Aje gile banget. Setelah saya dan Cecilia dipotret dengan kamera digital, diedit oleh sang petugas kantor pos bagian filateli supaya selain foto kami berdua ada foto burung jalak Bali yang setiap pagi kulihat di Ubud, jadilah selembar sheet perangko. Isinya ada 20 kali Rp 1500 dan ongkosnya cuma Rp 15 ribu doang. Karuan banyak ibu dan bapak dan anak ikut antri membuat perangko dimana PD bisa ditingkatkan dikit. George Bush Jr maupun si Paul Martin PM Kanada azha belon sampe dijadiin gambar perangko :-). Hanya, buat apa ya saya perangko senilai 30 ribu itu?. Baru teringat, si Mote prenku yang tinggal di India sudah kehabisan indomie goreng lagi katanya. Selama ini setiap kali mengirim indomie atau paket makanan kepada dia, ia maupun saya suka senteres karena kuatir isinya digarap orang India. Sekarang, melihat siapa yang ada di perangko kiriman kami nanti, kuyakin tidak ada satupun petugas kantor pos India yang berani kuwalat untuk mengembat indomie goreng kiriman kami :-). Indonesia memang hebat dalam memanfaatkan kemajuan (digital) teknologi dan tak heran bila sebentar lagi, ketika produksi minyak bumi negeri ini habis, kita bisa naik busway bertenaga hidrogen, Kota - Blok M gratisss selama-lamanya. Wong bis busway pake solar saja sekarang ini bisa ditumpak gratis, apalagi yang pakai H2O :-).
"Bang Jeha, kalau mau lihat atau beli majalah jangan di Gramedia tetapi di Gunung Agung," kata si Marsel prenku kutubukuis. Baidewe, kurasa si Marsel lah kolektor buku karangan Pramoedya terlengkap dimana setiap bukunya sudah ditandatangani oleh Pak Pram sendiri. Kutidak ngibul sebab suatu ketika pada saat saya bertandang ke rumah Pak Pram, saya ajak si Marsel yang lalu mengajak sekoper buku-buku Pramoedyanya, entah darimana saja dibelinya sebab beberapa dari buku itu stensilan alias cetakan "bawah tanah" :-). Nah, tentu saja saya menghormati kiat atau petuah si Marsel dan pergilah sahaya dan nyonya, siapa lagi gandenganku kalau bukan dia, ke (eks taman hiburan ) Lokasari dahulu Princen Park. "Tahu engga kamu, dulu kalau mau masuk Princen kita mesti beli karcis," tanya saya kepadanya. "Ah, mana pernah masuk ke Park doang mesti beli karcis," katanya yakin banget. Ya, jelas, ia masih terlalu muda usianya alias mungkin juga belum 45 tahun sebab tidak pernah mengalami harus beli karcis masuk ke Lokasari. Disitu memang terletak toko buku yang namanya juga beken alias antik, Gunung Agung sebab pada masa saya masih bersekolah di Indo, kesitulah seringnya saya rileks dan beristirahat, tepatnya yang di cabang Gunung Sahari di sebelah Martaco di depan Jl. Gunung Sari VI. Tak salah lach yauw si Marsel, puluhan ratusan jenis majalah yang bisa dibeli di Gunung Agung, dari mulai impor ke lokal, dari yang umum seperti Tempo atau Gatra ke yang khas-khas seperti Snorkeling dan Diving :-). Setengah dari majalah lokal, terutama yang bersifat tabloid, memperlihatkan setengah keindahan ciptaan-Nya alias kaum perempuan, dalam berbagai pose dan ukuran. Satu dua sudah menjurus ke pornografi dan tidak heran kalau suatu ketika toko buku Gunung Agung bisa didemo karena ikutan maksiat :-). Baidewe Sel, ketika saya minta ijin isteriku membeli satu majalah yang seru itu, dengan sangat menyesal saya dapat melaporkan, ijin tidak turun :-). Jadi kalau ada di antara Anda yang mau memberikan saya oleh-oleh, itulah yang masih mau saya terima sebab saat ini, sudah segudang titipan warga Melayu untuk sedulur dan prens mereka di Kanada yang mereka kasihi yang dititipkan ke saya.
Ya, liburan dua bulanan saya di Indonesya sebentar lagi berakhir dan saya mulai sedih ... memikirkan belanja saya kembali akan di dalam dollar :-). Di dalam kesedihan itu, saya semakin sibuk sebab permintaan-permintaan prens saya untuk bertemu, semakin banyak dan sukar ditampik didalihkan. Setiap hari ada yang mau mengajak saya makan hanya untunglah, timbangan saya cuma naik sekitar 1 kg sejak di Indo karena saya banyak berjalan kesana-kemari termasuk bersepeda di Senggigi Beach :-). Namun, satu tawaran pertemuan tidak dapat dan tidak mau saya tampik, undangan berolahraga di Casablanca Club, Kelapa Gading dimana saya bisa memilih jenisnya. Sudah saya terima undangannya, Selasa sore/malam nanti dimana kami akan bermain badminton dilanjutkan dengan berenang. Karena yang mengundang orbek maka bila Anda mau ikut bermain badminton bersama saya, hubungi saya per japri, dengan syarat Anda bukan juara kelurahan kecamatan apalagi tingkat kabupaten :-). Itu yang saya herankan dari para prens saya, termasuk sedulur di negeri ini. Mereka hanya tahu makan doang :-) dan entah bagaimana atau apa rahasianya sehingga satu dua dari mereka perutnya tidak buncit padahal makan uenak mulu. Ataukah berada di kemacetan jalan raya di Jakarta itu bagus untuk membuat tubuh langsing? Mungkin juga bila mobil Anda persnelingnya manual seperti kemarin ini saya dipinjamkan mobil demikian. Dari pagi sampai sore sampai malam saya nyetir, kalau saja saya bukan eks atlit (kampung), gemporlah kaki dan betis saya seperti si Justine ketika saya ajak bersepeda di Toronto. Baidewe, Anda yang kuatir Justine diciduk preman Atma Jaya, sahaya mendapat laporan ia sudah menikah dengan bule dan tinggal di Chicago serta namanya tentu sudah bukan Woen lagi, mungkin Wayne atau Whitman :-). Sekian dulu, sampai dongengan mendatang, bai bai lam lekom.