"Bang Jeha, bisa engga ente minta balik duit nyang buat bayar visa entu?," demikian kira-kira tanya seorang prenku anak Betawi sambil mengirimkan saya berita dari detikcom berjudul 'RI Berlakukan Lagi Visa Bebas Kunjungan Singkat'. Di dalam berita tersebut, menimbang melorotnya wisman (wisatawan manca negara) ke Indonesia dalam tahun 2003, maka Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika mencanangkan kebijaksanaan terbaru tersebut. Sama seperti halnya persiapan busway dimana kita bisa melihat foto Bang Yos (Gubernur Sutiyoso) bergelantungan di dalam bus kaya penghuni Baun Pusuk, Menkeh HAM Yusril Ihza Mahendra pun sudah mengecek langsung persiapan di lapangan, baik itu berupa peralatan maupun sarana lainnya, terutama dari titik-titik pintu masuk laut dan udara, sehingga program bebas visa (lagi) yang akan berlaku mulai 1 Pebruari 2004 dapat menelorkan 5 juta turis sesuai target kebijaksanaan pemerintah ini. Makdirabit bener emang pren :-). Ooops, cuma urusan duit US$ 100 sahaya kog jadi terbuai esmotsi ye. Sori rek. Begitulah ulah atau perilaku pemerintah RI saat ini, kaga 'credible' banget sehingga menjadi bahan tertawaan maupun gunjingan sedunia. Kepada para prenku di Toronto yang minggu depan akan ke Ottawa untuk memberikan masukan bagi Deplu Kanada mengenai situasi di Indo, saya menggaungkan apa yang banyak disetujui para pengamat politik di tanah air kita, bahwa Pemilu 2004 tidak akan membawa perubahan apa-apa sebab "aktornya" yang itu-itu juga. Kalau Anda mempunyai gambar Megawati di rumah, jangan cepat-cepat dijual dulu ke tukang loak sebab ada kemungkinan masih laku sehabis pemilu :-). Yang lebih pasti adalah, rakyat yang sengsara akan tetap saja demikian, yang tinggal di kolong jembatan sewaktu-waktu bisa digusur bila ada investor yang mau buka toko disitu sebab mana ada toko di kolong jembatan Amrik dan Kanada.
"Saya dari Kompas Pak, boleh saya minta keterangan lagi?," tanya seorang perempuan muda menghampiri saya di depan Toko Kompak sehabis Bang Jeha Anda ngecap kemarin. "Oh, oke," tentu kata saya yang umumnya tidak bisa menolak permintaan perempuan. Lalu ia sedikit mewawancara saya dengan akibat nama penulis Anda masuk di Kompas edisi cetak hari ini di bagian Metropolitan. Hanya, mungkin ia gugup tak pernah mewawancarai anak Kanada, meskipun sudah saya jelaskan hubungan antara Tio Tek Hong dan saya, isi beritanya perlu dikoreksi. Saya bukan keturunan langsung kongco Tek Hong tetapi buyut dari kokonya yang bernama Tio Tek San. Juga ia salah, saya pindah ke Kanada mah bukan tahun 1978 tetapi dua tahun kemudian sebab baru tahun 1980 setelah saya mengajukan permohonan jadi penduduk Kanada, saya diterima. Tahun 1978 itu saya 'look and see' dikirim eks cangkulanku ke Toronto dan saya jatuh hati akan kebersihan dan kenyamanan kota tersebut, yang seperti Betawi di tahun 1950-an :-). Mungkin wartawati tersebut yang kodenya Ko8 lahir di tahun 1978. Itu doang sih koreksinya sebab yang lainnya yang ia tulis di dalam artikel berjudul 'Plesiran Tempo Doeloe Kian Diminati' lumayan bagus singkat padat untuk ditulis seorang wartawati muda seperti dia.
Kebetulan membaca Kompas bagian Metropolitan, terbaca satu bukti lagi yang orang di Indo ini banyak yang sakit psiko. Ketika pada suatu malam Jum'at pren saya di milis Psikologi, Mas D. menelepon saya, ia sudah mencerahkan saya bahwa psikonya wong Melayu saat ini banyak dipengaruhi dunia gaib, ilmu klenik dan segala hal yang supranatural. Isi berita berjudul 'Kolor Ijo Cuma Isu' dan Anda semua yang sekota-Jakarta saat ini dengan saya, tahu isu apa itu. Bagi Anda yang di luar batang, konon ada pemerkosa siluman sebab bisa masuk ke dalam rumah yang hanya memakai kolor ijo dan eksyen memperkosa perempuan yang disatroninya, agar ia menjadi semakin sakti. Walah walah, kata koran atau polisi, dua wanita si Rosadah dan Saripah yang sama-sama tinggal di Ciputat cuma mau jadi orbek azha, mungkin terpengaruh segala macam klenik Jum'at Kliwon. Mereka sudah mengarang dongengan yang tersebar ke semua media massa di Jakarta ini, termasuk menggores sendiri bahu, paha dan perut mereka. Si Ipah udah ngaku ngibul, si Sadah belum tetapi barang bukti berupa kutang dan kaus yang dikatakannya sebagai dicakar siluman pemerkosa, tidak meyakinkan bagi mata polisi yang kelihatannya jeli. Itulah satu contoh psiko wong Indo yang dibebani segala macam stressors sehingga atau ia terkena penyakit psiko atau ia berperilaku seperti demikian.
Masih ingat lagi syering saya terakhir ini dimana isteri saya engga tega banget ketika melihat seorang bapak yang menggendong anaknya yang cacat dan tidak punya duit buat bayarin 'infant ticket' ke Surabaya dari Cengkareng? Memang terjadi pergumulan batin saya meskipun ada beberapa hal yang engga pas. Pertama-tama, kalau benar ia ke Jakarta mencari pengobatan, mengapa yang memberikannya tiket tidak memasukkan anaknya ataupun memberi dia uang sangu sama sekali? Kedua, infant ticket setahu saya 10% dan bukan 20% seperti yang di-quote-nya. Ketiga, kalau memang ia 'stranded' seperti itu, mengapa ia mendekati kami di bagian penumpang yang sudah masuk gate dan siap terbang, bukannya malah menghubungi sponsornya di Jakarta, Yayasan Tiberias katanya? Baru hari ini saya tahu, trims kepada Mas Andang pren saya di Sanbima yang ternyata pernah bertemu bapak dengan deskripsi saya dan kena dikadalin. Orang itu sungguh profesionil performance atau show-nya. Anak itu memelaskan banget dah, tidak ada lagi yang bisa membuat hati kita trenyuh melihat kondisi fisik sang anak, dengan latar belakang riwayat hidupnya yang disyer si bapak (yang kesannya adalah seorang malaikat). Selain show dia menina-bobokan si anak yang terkadang rewel dan merengek (jangan-jangan anak itu juga sebetulnya kolega pemain sandiwara gila itu) ia juga tampak blingsatan tidak punya makanan untuk anak itu, yang katanya hanya bisa makan mie pop. Disamperinya satu kiosk penjual makanan dan dilaporkannya kepada kami bahwa mereka tidak menjual mie pop. Satu hal lagi yang pro banget, sama sekali ia tidak minta uang atau mengemukakan p e r l u dibantu. Jadi metodenya intelektuil, sudah dipikirkan secara psikologis atau sangat mempermainkan perasaan, hati-nurani dan rasa belas kasihan kita manusia. Saya sungguh tak heran Mas Andang bisa kejeblos, itu sebabnya saya tulis lagi di serial ini. Demikianlah prens dinamika hidup di kota Betawi yang keras ini, penuh dengan segala macam ujian kemanusiaan dan kali ini saya bisa bersenang hati telah tidak lulus (di Cengkareng itu) sebab ternyata saya memang menghadapi penipu ulung. Duh :-(. Semoga Anda tidak terpengaruh oleh ketegaran hati saya alias bila sampai melakukan "kesalahan" seperti Mas Andang, 'it is good to err on the softside of our heart'. Sekian dulu tayangan seri ini, sampai berjumpa esok hari dimana kalau pren saya tidak ngibul, ia mau mempertemukan saya dengan capres Susilo Yudhoyono katanya, maklum kampanye Pemilu sudah dimulai sebenarnya.