Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 69

Dua tiga prens saya di Jakarta, kota penuh penipu ini mensyer di japri pengalaman mereka dikerjain orang yang memancing dengan umpan belas kasihan ketika saya mensyer bahwa bapak dengan puteri cacat di airport Cengkareng hampir saja berhasil ngelabuin si Empok Jeha. Seperti sudah saya katakan, di dalam kasus contoh 'infant ticket' tersebut, kalau saya mau menolong saya akan membelikan dia tiket infant non-refundable alias bukan uang yang bisa langsung dikantongin. Tidak begitu bermanfaat kalau ia kongkalikong dengan agen di Garuda ticket counter misalnya. Sebagai variasi tulisan ini, terpicu oleh seorang yang mengundang saya ke Batam kemarin untuk melihat eks kamp pengungsi Vietnam di Pulau Galang, saya mau mensyer kasus hampir mirip tetapi penipunya orang Toronto.

Suatu ketika dalam kehidupan saya di tahun 2000 di Toronto, ketika saya baru pulang dari rumah sakit bezoek mertua, hape saya berbunyi. Pastor paroki saya menelepon minta saya datang saat itu juga. Pastilah penting sekali. "Ada seorang Indonesia yang ingin diperkenalkannya kepada kita," kata Cecilia yang menerima telepon hape itu. Kesan kami, ada orang Indo sedang kesulitan dan butuh bantuan. Melayu di kota di Scarborough yang meminta bantuan Father Vito mestinya kami kenal, jadi karena pasti ia tak kenal Bang Jeha, ini pertemuan yang akan menarik, kata hatiku. Tidak salah dugaan saya. Begitu kami masuk melalui pintu kantor paroki, saya melihat seorang bertampang Asia sedang melongok keluar. Kami lewati dia dan Cecilia berkata, "Barangkali dia tuh, anak Indonesia." Saya diam dan ia pun diam. Kami masuk ke dalam kantor Fr. Vito dan anak tersebut dipanggil oleh Fr. Vito. Usianya masih muda, kutaksir sekitar 30-an tahun, agak semampai dan mirip-mirip si Rudy Reindeer warga P-Net :-). Sebelum saya tegur dia, ia sudah berkata dalam bahasa Inggris, "I lived for several years in Indonesia in a camp, I can't speak Indonesian." "Were you a refugee from Vietnam?", tanyaku. Ia mengangguk. "In which island was your camp?" "I forgot, it's been a long time," katanya sambil berpikir. "Oh yes Batam." Saya diam meski berkata lagi dalam hati, mana ada pengungsi Vietnam di Batam dan bagaimana orang bisa lupa nama pulau kamp pengungsiannya.

Fr. Vito lalu menjelaskan, si John ini (itu katanya namanya) isterinya meninggal ditabrak mobil tadi siang di St. John, Newfoundland. Bayi yang dikandungnya ikut mati. Tampang si John memelas sekhalei dan setengah nangis. Ia butuh ongkos untuk tiket kapal terbang. Tapi Fr. Vito sudah langsung menelepon sohibnya yang bekerja di biro perjalanan. Ticket untuk John ke St. John sudah siap dan ia bisa berangkat jam 9 nanti malam, asal, asalkan ia bisa memperlihatkan ID-nya atau kartu pengenal apa saja. Dengan menangis tapi air mata tidak keluar, John bercerita bahwa ID-nya ia gadaikan 50$ dan kalau Fr. Vito atau ogut mau memberikan 50$ ia akan tebus ID-nya itu. "Hmmm, anak Betawi mau dikadalin," kataku dalam hati. "You have to trust me Father," kata John menangis lagi memelas sampai kulihat Cecilia sudah mau mengeluarkan dompetnya. "I trust you John and I am going to help you. You can fly tonight to St. John, if you can just show me any identification." John semakin kuat menangisnya dan berlutut di muka Fr. Vito, "I don't have any ID." "Where do you live?", tanyaku. "Pharmacy Ave," katanya menunjuk sembarangan. "Can the hospital or people in St. John call us?", tanyaku mulai mengendus baunya si John ini.

John tidak punya akal lain selain menangis tanpa air mata dan mengucapkan litani "you have to trust me". Akhirnya ia menurunkan taripnya jadi 2 $. Father Vito mencari-cari uang recehan 2$-an tapi tidak ada. Bang Jeha sudah hilang sabarnya. "John, we don't have any money for you and if you don't leave now, I will call the police," kataku sambil mengeluarkan cellphone-ku. "I am sure you can tell your story to the police," kataku lagi. Rupanya anak Vietnam sama dengan anak Indo, takut kepada polisi dan tanpa banyak cingcong si John yang ngaku anak Indonesia, ngeloyor keluar. "What an interesting life you have Father," kataku kepada Fr. Vito yang langsung menelepon travel agent sohibnya untuk membatalkan tiket ke St. John buat si John. Itulah prens sadayana, salah satu akalan dari manusia yang mau memanfaatkan pastor atau mereka yang rasa kasihnya dapat dimanipulasi, di dalam syering ini kebetulan kejadiannya di kota metropolitan Toronto. Kuyakin, melihat betapa profesionilnya si John main lenong, ia mempunyai banyak sekali bakat, lebih hesbat lagi dari si bapak di airport Cengkareng kemarin ini.

"Mas, ada CO detector engga?," tanya saya kepada pegawai Ace Hardware di Kelapa Gading tadi siang. Mereka setengah melongo engga ngerti atau d.p.l. ya engga ada. "Smoke detector ada kali ya," dan mereka mengangguk. Saya tanya ada di lantai berapa sang detektor yang jenis itu sebab siapa tahu ada yang buat CO dan si Mas engga ngertos. Ketika saya naik ke lantai III, memang yang ada cuma smoke detector. Saya sedang mencari detector yang untuk rumah-rumah di Toruntung sudah menjadi standard karena seringnya kasus-kasus keracunan CO. Yang paling sering adalah orang yang memasukkan mobilnya ke garasi, menutup pintunya dan lupa mematikan boilnya. End of story bagi doi. Kemarin dulu saya dibuat membelalak ketika saya diceritakan bahwa beberapa minggu lalu cucu keponakan kami pingsan karena bokap nyokapnya tidak ngerti bahwa knalpot genset mengandung muatan racun carbon monoxide, CO. Demi menghormati tetangga agar supaya tidak ribut, genset pinjaman yang tentunya tidak ada tulisan warning-nya mereka taruh di dalam kamar mandi di dalam rumah yang tertutup semua pintu dan jendelanya karena sudah malam dan mati lampu. Hampir saja terjadi malapetaka kalau saja listrik tidak kemudian menyala dan genset sempat dimatikan sebelum mereka keluar rumah. Namun, kadar CO yang tertinggal sudah membuat kedua anak mereka dan semua pembantunya pingsan. Untungnya ada satu pembantu yang keburu menelepon abangnya Cecile sebelum doi pingsan. Sang abang sedang pergi dan baru ketika pulang ke rumah, diberitahu oleh pembantunya ada telepon dari PRT keponakannya dengan laporan pada mual dan pusing serumah. Untunglah abangnya Cecile sigap dan langsung menduga pasti keracunan CO ketika ia menerima kabar itu sehingga ia bisa bergegas pergi ke rumah keponakan kami. Singkat cerita, ke empat pembantu dan dua anak yang pingsan selamat setelah dikeluarkan dari rumah dan diberikan oksigen. Saya syer berita atau kejadian ini kepada Anda semua agar Anda, terutama yang tinggal di Indonesia tidak sampai mengulangi kesalahan yang sama. Generator listrik, motor-motor bensin maupun solar tidak untuk dinyalakan di dalam rumah yang tertutup. Kasus malapetaka lain yang sering menimpa anak Kanada adalah gas heater di rumah yang cerobong asapnya tertutup, biasanya oleh burung yang menyarang di musim panas. Jadi kalau Anda tinggal di Jakarta dan tahu dimana saya bisa membeli CO detector, mohon pencerahannya. Trims berat. Sekian dulu, it's been a long day tapi perut saya masih kekenyangan sebab setiap hari ada traktiran makan. Bai bai lam lekom.

Home Next Previous