"Tanpa mengurangi rasa hormat, kami akan lebih berbahagia jika kenang-kenangan yang diberikan tidak dalam bentuk karangan bunga/souvenir. Seluruh sumbangan akan diserahkan kepada Lembaga Bantuan Pendidikan Paroki-Net." :-) :-) Ya, begitulah saya jumpai dari waktu ke waktu bunyi surat undangan yang saya lihat di Jakarta ini. Mas Nursalim pasti senang sekali membaca surat undangan versi itu deh :-). Soalnya jualan kartu Natal cuma cukup untuk membiayai seperseratusjuta anak yang membutuhkan pendidikan di tanah air ini katanya. Memang orang Indonesia sering lebih maju daya pikir praktisnya. Kalau saya mendapat kartu undangan seperti itu, saya akan jawab, "Terima kasih banyak atas kesempatan untuk menghemat waktu saya mencari karangan bunga/souvenir dan dalam kebahagiaan yang sama di dalam sampul ini Anda akan menjumpai uang sumbangan untuk LBP Paroki-Net." Yang cemberut membaca surat undangan seperti itu cuma toko bunga ya, tetapi kan mereka mendapat banyak pesanan karangan bunga yang ukurannya bermeter-meter bila ada peresmian toko atau perusahaan. Karangan bunga seperti itu hampir tidak pernah saya lihat di Toronto, maklum bunga mahalnya bukan main karena sebagian besar harus diimpor.
Siapa di antara Anda yang pernah melamar? Pasti hanya sedikit atau mungkin tidak ada karena mayoritas warga P-Net adalah anak-anak muda yang dalam keadaan ingin dilamar atau dilamarkan :-). Saya melamar beberapa hari lalu. Sungguhan deh. Bukan untuk diri saya dong atau anak kami tetapi untuk seorang keponakan saya yang keluarganya sudah "amburadul" alias ayah ibu bercerai. Calon besan konon dari keluarga kerajaan Ngayogyakarta; ini bohong :-). Ia dari paroki Bintara, Yogya, katanya. Itu keluarga ibu, keluarga ayah wong Salatiga. Anak yang kami lamar (Cecilia ikut menemani) matanya bulat, rambut- nya tidak tergerai sebahu, kulitnya tidak kuning langsat namum coklat, namanya bukan Anita :-). Seriusan lagi. Ya, keluarga calon besan kami pribumi asli Jawa dan senang makan sengsu katanya. "Upeti" lamaran, ini yang ingin saya singgung, sederhana sekali. Hanya sekeranjang buah yang dirangkai ahli perancang dari Toronto bernama mpok Cecile dan sebuah kue coklat boleh pesan. Tidak pakai emas-emasan atau berlian-berlianan (memang tidak punya :-)). Jadi kembali, masyarakat Indonesia sudah bersifat praktis. Yang penting kan bukan apa yang diserahkan pada saat lamaran, tetapi dasar hubungan mereka berdua dan iman Kristiani yang menjadi panduan kehidupan pasutri kelak.
Di tayangan serial yang lalu saya menyinggung suatu kaset yang saya beli karena termakan iklan TV yang canggih :-). Salah satu lagu mengatakan, "Tiada uang tapi senang". Saya katakan, bohong bila tinggalnya di Jakarta. Soalnya saya belum menjumpai orang yang tiada uang dan senang tuh di kota ini. Yang sering saya jumpai orang yang tidak beruang dan tidak senang, sebagian besar tentu keluarga kami sendiri. Itu salah satu "beban" kami tinggal di Jakarta. Melihat demikian banyaknya orang yang membutuhkan bantuan, namun menyadari kecil atau terbatasnya kemampuan kami untuk membantu. Satu contohnya kami jumpai kemarin pagi di jalanan. Di tengah jalan menuju kolam renang, kami berjumpa dengan seorang penarik kereta sampah. Jalanan mendaki dan kelihatan berat muatannya. Dengan susah payah dan perlahan ia menarik keretanya. Ingin rasanya keluar dari mobil dan membantu mendorongnya. Namun kalau itu saya lakukan saya akan dibilang "goblok" atau diklakson oleh supir-supir di belakang mobil kami. Ini yang saya rasa kecil toleransi supir di Jakarta dibandingkan dengan toleransi menghadapi yang nyodok. Setelah melewatinya, Cecilia menoleh dan berkata, "Aduh kasihan lu, udah tua bapak itu. Ah, engga betah deh lama-lama di Jakarta." Ya, itulah yang membuat kami tidak betah lagi lama-lama di Jakarta atau di tanah air. Melihat sedemikian menyoloknya perbedaan antara yang kaya dan yang miskin; kesenjangan sosial istilah kini.
Dari waktu ke waktu bila mengunjungi Jakarta, saya menyempatkan menjenguk seorang sahabatku. Dahulu saya panggil ia romo, sekarang 'brother'. Ya, ia pernah "sudah jatuh tertimpa tangga", yakni waktu ia keluar dari imamatnya. Saya tidak akan menyinggung mengapa "sumurnya menjadi kering" sebab ceritanya selain panjang dan kompleks juga tentu sangat pribadi. Karena saya cukup kenal dengan dia, seorang yang tinggi kadar compassionnya, maka saya menjadi maklum mengapa ia "menyerah". Waktu ia baru mulai kehidupan rumah tangganya, menjadi romo benaran :-), ia mengatakan hidupnya bak di api pencucian karena tiada uang dan tiada senang. Contohnya, dari tempat tinggalnya, ia harus ganti bis 3 kali ditambah naik ojek dengan total waktu sekitar 2 jam untuk mencapai kantor tempatnya bekerja. Pulangnya demikian pula, jadi waktunya habis di jalan. Kata sementara orang yang mengenalnya, "He deserves it." Itu yang maksud saya "ditimpa tangga". Umat Indonesia menurut saya sukar menerima seorang imam yang keluar dari imamatnya (meski sebenarnya sekali imam tetap imam alias sakramen Imamatnya abadi sifatnya). Jadi kalau Anda masih imam di Net ini :-), pikir-pikir 10 kali ya sebelum mengikuti jejak sahabatku di atas. Saya tidak mempunyai waktu nanti menjenguk Anda semua :-). Sahabatku di atas sekarang sudah oke. Di kartu namanya ia pancangkan Drs dan STH-nya, gaya ya :-). Ia juga sudah mendapatkan perumahan dari kantor tempatnya bekerja yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor. Yang lebih hebat lagi, ia baru saja membantu membuat statistik bangsa Indonesia mendekati 200 juta manusia karena pada tanggal 1 Januari puterinya yang kedua lahir. Saya katakan, "Keep up the good job (to be productive)," namun serta merta ia dan isterinya "menampik pujian" itu. Kita lihat saja berapa banyak 'brother' saya ini anaknya nanti :-).
Salah satu yang tidak bisa tidak dilewati atau dialami orang yang berkunjung atau tinggal di Jakarta adalah kemacetan lalulintasnya. Namun di koran hari- hari ini banyak berita mengenai akan selesainya jalan layang ini, jalan layang itu dan yang terpenting akan segera dimulainya proyek pembuatan kereta bawah tanah atau 'subway' trayek Blok M Kebayoran sampai Kota. Konon trayek ini direncanakan selesai di tahun 2001 dan menurut teman saya, ia sudah melihat penggalian di Senayan dan Sawah Besar untuk mesin-mesin bornya. Meski masih 4 tahun tetapi para supir di kota Jakarta ini dapat mulai tersenyum belum dikulum memikirkan suatu ketika dapat naik subway dari Blok M ke Kota sebab sekarang ini, apalagi kalau hujan, jarang ada supir taksi yang mau "diajak" ke Kota.
Seperti halnya melamar di atas, banyak pengalaman pertama kali seumur hidup saya alami di kunjungan kali ini. Pengalaman lainnya adalah mengikuti refleksi AREK yang sudah terkenal ke seantero jagat :-) di Landmark Tower B alias gedung Arco. Mengetahui ada pasutri dari Toronto yang kesenangan hidupnya "mencari susah", maka "yang punya" Arco memutuskan untuk mengunci ruang pertemuan di lantai 21 yang biasanya dipakai rakyat AREK. Alhasil setelah menunggu lebih dari satu jam, terlunta-lunta :-) namun tidak disia-siakan kami dapat berkumpul a la padepokan di lantai dasar yang dapat menampung 500 orang. Apa isi refleksi, 'off the record' atau Anda harus datang untuk mengalaminya sendiri karena memang lain dari yang lain. Sesuai dengan tradisi (kata Mas Pras) maka seusai refleksi, sudah menunggu hidangan istimewa "nazgorpizha" alias nazi goreng pinggir zhalan yang ternyata memang sedap :-) ditambah sate ayam tiada duanya. Mengapa sate ayamnya istimewa? Sebab rasanya bukan seperti ayam biasa namun seperti ayam blasteran dengan kambing :-). Kalau tidak percaya dan Anda tinggal di Jakarta, silahkan datang sendiri, setiap Rabu sore jam 5:30 plus minus 2 jam :-) atau datang sangat terlambatpun oke oke sazha :-). Dasar saya dan Cecilia memang membawa keberuntungan, pintu ruang pertemuan yang dikunci belum apa-apa sebab pada saat baru memulai menikmati kedua hidangan istimewa di atas, hujan lebat turun alias "atap skydome nan canggih" restoran pizha terpaksa dibentangkan. Untuk Anda yang pernah mengunjungi atau tinggal di Toronto, lapangan baseball kota kami bernama Skydome dan mempunyai atap yang dapat dibuka tutup. Konon untuk menutup atap ini dibutuhkan waktu beberapa jam dan tenaga listrik yang cukup untuk sekota Tasik selama semalam. Namun "skydome" restoran pizha cukup dibentangkan oleh dua orang dan selesai dalam waktu dua menit! Siapa bilang Indonesia tidak canggih :-). Datanglah sendiri berkunjung dan Anda akan manggut-manggut menirukan kambingnya Oom Pasikom. Sekian tayangan 'Kisah Kunjungan' saya, sampai berjumpa di tayangan lainnya, salam dari kota penuh dengan emas bernama Betawi :-).