Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 70

"Selamat jalan." "Selamat tinggal, sampai bertemu lagi," itulah dua kalimat umum yang sekarang hampir setiap hari kami ucapkan kepada para prens dan sedulur yang tahu sebentar lagi Bang Jeha akan cabut pulang ke kampungnya buat ngadem, masih -20C kata anak ogut di email kemarin. Lumayan sebulanan di mesin pengawet alami akan membuat keriput-keriput kami karena terbakar matahari Indonesia, hilang lenyap. Ya, sampai bulan Maret bisa diharapkan suhu masih akan dingin dan 1 April, HUT bojoku semoga tidak +30C seperti di Jakarta ini sehingga ia bisa kupeluk tanpa hamba diusirnya :-). Seperti sudah banyak saya syer di dalam puluhan tayangan sejak saya tiba awal Desember lalu, keramah-tamahan anak Indo tak ada duanya. Bergaul cukup erat dengan anak-anak Kanada, bule atau non-Indo, saya tahu mereka engga akan menang melawan keramahan Anda. Kalau anak Kanada pas se-inconvenience bila mereka menjamu membantu kita, anak di Indo bisa se-sacrifice level. Itulah salah satu faktor utama yang membuat kami betah 2 bulan di negeri ini, selain keasrian alam di Lombok :-). Jadi kesedihan kami di dalam mengucapkan kalimat di atas memang bukan karena sebentar lagi saya harus mengisi bensin di dalam dollar, setangki bisa 40-50 $ padahal di Jakarta cuma Rp 90 ribu maksimum, tetapi karena akan berpisah dengan anak-anak bae kaya ente semua.

Anda yang sudah lama jadi anak Indo alias bukan ABG mestinya pernah mendengar nama Harry Tjan Silalahi. Mendiang isterinya dan isteri saya seduluran karena sama-sama anak Pekalongan. Kemarin saya bertandang 'kulo nuwun' ke Ko Harry (saya panggil dia demikian) untuk mengkonfirmasikan siapa presiden RI yang akan datang. Ya, Anda kan tahu ia masih berkantor di CSIS, Tanah Abang III, Centre for Strategic and International Studies. "Ko, analisis para pengamat mengatakan Megawati masih tetap akan jadi presiden, setuju engga?," tanyaku. Sambil sedikit menghela napas mengakses data-data yang disimpan di memorynya ia mengiyakan membenarkan. Masalahnya, katanya, banyak kandidat atau calon yang lebih oke dari Ibu Mega Anda tetapi mereka engga punya "kendaraan" yang mampu membuat mereka jadi presiden. Artinya, di dalam bahasa awam, kaga punya massa kaya Mbak Ega dengan PDIP-nya. WNI yang ingin menjadi presiden harus dicalonkan oleh partai yang dalam bulan April nanti mendapat 3% dari seluruh total electoral vote. Selain itu, ketentuan pemilu 2004 dimana calon presiden harus memperoleh 51% popular vote rakyat pemilih plus 20% suara dari 16 atau setengah propinsi seluruh Indonesia, akan membuat kandidat yang mana saja, bergelimpangan lach yauw. Kita lihat apakah salah satu guru politik Bang Jeha Anda di atas, maupun pengamat lainnya benar. Sekali lagi, tetap simpanlah gambar Bu Mega yang Anda miliki. Baidewe, ramalan Ko Harry juga, pemilihan di gelombang pertama tanggal 5 Juli nanti tidak akan menghasilkan presiden tetapi akan terjadi di gelombang kedua ketika dua calon yang mendapat suara terbanyak diadu "ayam" pada tanggal 20 September. Jadi artinya lagi, Anda-anda yang mau mantuan atau kawin kaya si Diana dan Lilik, gih cepetan sebelon "pesta pemilu" melanda negeri ini. Ko Harry tidak bisa memberikan jaminan bahwa kampanye akan berlangsung aman damai soalnya. Disamping itu dapat saya laporkan, di dalam internal partai saja saat ini sudah terjadi bunuh-bunuhan demi sebuah jabatan di dalam partai (belum kursi di DPR).

Menyinggung mengenai memory di atas, hari-hari ini saya jadi bego (lagi) dalam menyetir. Begini soalnya. Di Ubud seminggu, saya dipinjamkan mobil yang meski relatif masih baru, tetapi persnelling manual yang untuk saya mah oke azha. Beberapa menit di jalanan udah dapet feeling yang mana gigi 3, 2 atau 4 dan kemana gigi 5. Asyik sebetulnya nyetir manual sebab kaki dan tangan akan sibuk. Demikian pula ketika baru balik dari Bali Lombok saya dipinjamkan mobil oleh adik saya yang juga manual. Walah, kemarin dulu saya dapat mobil otomatis lagi dan 'procedure memory' saya yang buat nyetir mobil berpersneling otomatis belum berkuasa. Tangan saya masih mau memindahkan persnelling dan kaki mencari kopling :-). Itu sebabnya saya yakin ada dua unit penyimpanan cara berboil di otak saya tetapi sekarang mereka lagi saling ngadu kekuatan. Tidak lama lagi saya juga membutuhkan 'procedure memory' untuk nyetir di lalulintas yang benar, the right way (and left hand drive). Semoga unit memory itu tidak bersaingan dengan yang sekarang sedang kupakai.

Seperti Anda tahu, setiap pagi saya berenang dan pulang pergi melewati kompleks apartemen mewah Taman Pasadena di Pulo Mas. Ironisnya apartemen semewah itu, semilyar rupiah sedikitnya satu unit, di bawahnya ada pelbak atau bak sampah segunung. Lebih lagi gilanya, sampah disitu dibakar dari waktu ke waktu dan asapnya membubung ke atas mengasapi udara di apartemen. Kalau Anda pernah ikut camping ke interior-nya Ontario atau masuk hutan bersama saya, Anda tahu bahwa semua sampah mesti kita angkut keluar dan tak boleh kita bakar kecuali yang biodegradable seperti kulit pisang atau pasta yang tidak habis dimakan Bang Herry :-). Kita semua akan saling menegur kalau sampai ada yang berani membakar katakan sehelai plastikpun. Salah satu guru canoeing saya, Silvana eks warga milis Paroki-Net paling jutek kalau melihat ada yang berani membakar, katakan plastik maupun 'aluminium foil'. Namun, kalau ia tidak melihat :-), sesekali sachet bekas kopi 'three in one' yang berlapiskan aluminium suka saya lempar ke api unggun terlebih kalau semua makanan dan tas sampah sudah kami kerek ke atas pohon. Siapa tahu ada beruang yang demen Indocafe, kan berabe :-). Nah, perasaan berdosa saya di dalam berperilaku seperti itu saya silih atau suara-hatiku kubujuk dengan insiden seperti di Taman Pasadena atau 1000 tempat pembakaran sampah lainnya di Jakarta, sejuta lainnya di Indonesia sebab di Bali dan Lombok pun saya melihat orang membakar sampah plastik dan cem-macem benda tabu lainnya. Itulah salah satu lagi penerapan teori psiko 'downward social comparison' yang bisa membuat kita menjadi hepi kembali meski telah berdosa :-).

Bicara mengenai dosa, belum lama ini ketika habis menonton pertunjukan komedi di Gedung Kesenian, saya katakan dosa Bang Yos sehubungan dengan busway mulai saya maapin karena bagusnya pemugaran sang gedung. Satu pren saya sudah membantah bahwa itu mah bukan hasil kerja Sutiyoso tetapi orang lain. Nah, hari ini saya bergumul bersama kendaraan lainnya sepanjang Jl. Sudirman karena ,,, tak lain adalah busway. Gila banget, sedemikian macetnya sehingga koran Kompas selesai saya baca sambil bermobil. Permaafan saya bersama ini saya tarik kembali, tiada maaf bagimu Sutiyoso, ente bikin sengsara doang. Untung saja tujuan saya bermacet-macetan itu tercapai dengan hesbat. Bagaimana tidak? Kalau selama ini saya mengeluarkan uang bagi pak polisi, hari ini Bang Jeha dan empoknya ditraktir makan-makan oleh polisi berseragam dan saya tidak suwer :-). Bukan itu saja, saya juga disupiri oleh pak perwira polisi dan adjudannya keluar dari Mabes Polri. Saya yakin seumur hidupmu tidak akan dikau mengalami hal itu kecuali menantu atau anakmu ya polisi yang nyangkul di Jl. Trunojoyo. Terima kasih sekali lagi kepada pak polisi pren kami, es juice jagung di restoran tersebut uenak sekhalei. Sekian dulu dongengan hari ini, saya mau melempangkan badan habis keluyuran seharian, sampai berjumpa di kisah berikutnya, bai bai lam lekom.

Home Next Previous